Langsung ke konten utama

RATU ADIL MENYEBAR MAUT

Siapa sebenarnya berdiri di belakang gerakan APRA? Siapa membiayai Westerling untuk menangkap para pemimpin Indonesia di Pejambon, Jakarta?

MENGAPA Westerling ingin menjadi Ratu Adil, tokoh harapan yang disebut-sebut dalam ramalan Jayabaya dari zaman Kerajaan Kediri di abad ke-13?

Pemerintah Jakarta tidak beres, kata Westerling, yang kala itu sudah menanggalkan baju militernya, mendengar berdirinya Republik Indonesia Serikat. Maka, bangkit kembalilah nafsu perangnya. Desember 1949 ia membentuk yang disebut Angkatan Perang Ratu Adil atau APRA. 5 Januari 1950 ia menulis surat kepada Soekarno, agar APRA-nya diakui sebagai tentara resmi Negara Pasundan. Bila tidak, ia akan menggempur Bandung dan Jakarta. 23 Januari Gerakan APRA pertama meletus di Bandung. Sekitar 800 tentara bekas KNIL, tentara Belanda, dan anggota pasukan Para Khusus (Speciale Troepen) berbaret hijau menyapu Bandung.

Aksi itu nyaris tanpa perlawanan, karena begitu tak terduga. Juga, menurut Jenderal A. H. Nasution dalam bukunya, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, "persenjataan tentara kita cuma sisa-sisa masa gerilya yang telah usang, ditambah sedikit pemberian Belanda di zaman peralihan kekuasaan. Meriam, kendaraan lapis baja, dan pesawat udara masih di tangan Belanda."

Tambahan lagi, ada janji dari Kepala Staf Divisi Belanda di Bandung, bahwa pasukannyalah yang bertanggung jawab atas keamanan kota sampai semua persenjataan diserahkan kepada tentara Indonesia. Itu sebabnya ketika Divisi Siliwangi mendapat informasi ada gerakan militer di sekitar Bandung, sekitar 22 Januari 1950, yang dipimpin oleh dua inspektur polisi Belanda yang melakukan desersi, langkah pertama adalah meminta Kepala Staf Divisi Belanda agar pihak KNIL mengambil tindakan dan mengkonsinyir pasukan Belanda.

Pagi buta menjelang subuh, Polisi Negara di pos penjagaan Cimindi dan Cibeureum, di pinggir kota, dilucuti oleh sekelompok orang berpakaian tentara dan bersenjata. Dari arah barat laut, dari Batujajar--markas Pasukan Baret Hijau--menderu truk penuh serdadu, sepeda, motor, jip. Tampak pula beberapa orang berpakaian tentara jalan kaki.

Korban pertama jatuh--menurut buku Daska Prijadi, Gerakan Operasi Militer II, Mega Bookstore bersama Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata--di Jalan Banceuy. Ketika itu sebuah jip disetop oleh gerombolan ini. Pengendaranya ternyata seorang anggota TNI, yang lalu disuruh turun, digertak, disuruh angkat tangan, lalu ditembak.

Di Jalan Braga sebuah sedan dihentikan. Penumpang diperintahkan turun, di antaranya seorang letnan TNI. Tanda pangkat letnan itu direnggutkan, ia disuruh berdiri di pinggir jalan, dan diberondong peluru. Sebuah truk yang melaju di depan Hotel Preanger, di Jalan Asia Afrika, disikat dari belakang. Pemegang kemudi rupanya tak bisa lagi menguasai truknya, yang lalu oleng dan menabrak tiang listrik. Tak seorang pun dari tiga penumpang yang TNI itu selamat.

Di Jalan Merdeka sempat ada perlawanan. Tapi sekitar 15 menit kemudian tembak-menembak berhenti, 10 anggota TNI gugur.

Di Staf Kwartir Divisi Siliwangi di Jalan Lembong sekarang, Gerakan APRA memang sudah terdengar. Letkol Sutoko, pimpinan Staf Kwartir, ragu akan berbuat apa karena ia tahu kekuatan TNI di Bandung tak seimbang dengan musuh. Belum sempat keputusan diambil, beberapa puluh serdadu APRA menyerbu. 15 anggota jaga mencoba mempertahankan kantor stafnya mati-matian sebelum disikat habis oleh anak-anak Westerling itu. Cuma Letkol Sutoko dan dua perwira lain sempat lolos dari kepungan.

Di jalan ini korban masih jatuh juga. Letkol Lembong mendengar suara tembakan. Bergegas ia bersama ajudannya mengendarai mobil, mencari tahu yang terjadi. Di pintu gerbang ia diberondong peluru, dan tewas (dan itu sebabnya jalan tersebut kemudian dinamakan Jalan Lembong).

Waktu itu Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin sedang berada di Subang, 60 km dari Bandung, bersama Gubernur Jawa Barat Sewaka. Mendengar yang terjadi di Bandung, dua pejabat itu langsung berunding. Gubernur Sewaka kemudian berangkat ke Jakarta, menghadap Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX. Diusulkan untuk mengerahkan batalyon Siliwangi di seluruh Jawa Barat, dan kalau perlu mendatangkan bantuan dari Jawa Tengah guna menumpas Westerling dan APRA-nya. Segera saja ada pertemuan antara Gubernur dan Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel T. B. Simatupang. Segeralah disetujui sejumlah batalyon untuk menyerbu Bandung.

Tapi perang terbuka tak sampai meletus. Segera pula Kementerian Pertahanan mencabut perintahnya, karena menerima kabar dari Mayjen (KNIL) Egles, komandan Divisi Tentara Belanda di Bandung, mereka telah melumpuhkan APRA. Tapi korban telanjur jatuh: 79 anggota TNI dan 6 warga sipil.

Sementara itu, dua peleton APRA yang bergerak ke Jakarta gagal total. TNI dan Polisi Negara menyergap mereka di Cianjur. Dua jip, satu pikap, satu prahoto masuk Cianjur. Di pos penjagaan Cipeuyeum mereka mendapat perlawanan. Tak seorang pun, baik di pihak TNI maupun APRA yang jadi korban, selain dua kendaraan APRA rusak, dan APRA lolos dengan dua kendaraan sisa. 

Di sebuah jembatan gerakan APRA ini bertemu dengan kendaraan TNI yang mengangkut 10 prajurit. Mungkin tak menduga bertemu musuh, pihak TNI tenang-tenang saja. Begitu mereka akan berpapasan di sebuah jembatan, tiba-tiba mobil APRA menyorotkan lampu besar. Bersamaan dengan itu terdengar serentetan tembakan. Seorang prajurit TNI gugur, beberapa luka-luka. Dua kendaraan APRA lolos lewat jembatan. Rupanya, mereka menuju perkebunan karet di sekitar itu. Akhirnya, mereka dijebak di sebuah lembah, dan 10 orang menyerang setelah peluru habis.

Ternyata, siasat Westerling dengan menggunakan nama "Ratu Adil" tak membantu. Dalam majalah Ekspres 22 Agustus 1970, kepada Salim Said ia menyatakan bahwa APRA dibentuknya "karena diminta rakyat". Memang, dalam buku Westerling 'De Eenling' (terjemahan dari Westerling, Gerilya Story oleh Dominique Venner, seorang sejarawan militer Prancis), dipasang juga foto-foto yang konon merupakan sambutan rakyat Jawa Barat terhadap Westerling, si baret hijau.

Tapi justru tentara Westerling terjebak di sekitar kebun karet berkat informasi rakyat setempat. Memang, ada yang mendukung APRA yakni pemberontak Darul Islam. Tapi sebelum kerja sama mereka bulat, keburu APRA ditumpas. Akan halnya Westerling bisa mengumpulkan 8.000 tentara (jumlah ini diragukan, yang jelas ada 800 serdadu APRA meneror Bandung, dan sekitar 2.000 dipersiapkan menyerbu Jakarta, menurut Siliwangi dari Masa ke Masa), memang bisa dipahami dari hal-hal seperti ini. Sekitar 300 anggota Pasukan Para Khusus Baret Hijau yang ditempatkan di Batujajar rupanya enggan meninggalkan tanah bekas jajahan. Lalu, dibubarkannya KNIL membuat sejumlah serdadu yang tergabung di dalamnya kecewa. Mereka tak mau bergabung ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat. Mereka itulah yang lalu ditampung Westerling di dalam APRA. 

Siapa sebenarnya di belakang APRA yang punya persenjataan lengkap itu? Hanya seorang Westerling? "Uang saya habis untuk APRA," kata Westerling dalam wawancaranya di Ekspres 22 Agustus 1970 itu.

Ada serentetan peristiwa yang boleh jadi ada kaitannya dengan pembentukan APRA. Akhir Oktober 1948 Westerling dipecat dari Pasukan Para Khusus. Resmi ia menerima surat menjadi warga sipil pada 15 Januari 1949. Februari 1949, Westerling bertemu Jenderal Spoor, panglima tentara Belanda, dan mereka merencanakan kudeta militer di Indonesia. Tapi Jenderal Spoor keburu meninggal secara misterius pada 25 Mei 1949. Lalu, seorang sosiolog Belanda, Cornelis van Dijk, menulis disertasi yang kemudian dibukukan, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, menyebut-nyebut Nefis (Netherland Forces Intelligence Service, Dinas Intelijen Militer Belanda) yang membiayai APRA.

Spekulasi yang masuk akal seumpama ada teori begini: APRA memang dibentuk oleh pihak Belanda yang masih ingin menjajah Indonesia. Westerling terpilih menjadi komandan APRA karena ia dianggap seorang para komando jagoan--pernah bekerja untuk dinas intelijen Belanda di London (1940).

Bayangkan saja seandainya rencana Westerling dan Sultan Hamid II (menteri tanpa portofolio dalam Kabinet RIS) untuk menculik sejumlah pemimpin Indonesia dalam sidang di Pejambon, Jakarta, berhasil. Untung, rencana itu bocor, sidang ditunda, dan RIS pun selamat menjadi RI, 17 Agustus 1950.

Bambang Bujono



Sumber: Tempo, 12 Desember 1987



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ajaran Tasawuf pada Masjid Agung Demak

Oleh Wiwin Nurwinaya Peminat Sejarah dan Arsitektur Islam D asar-dasar ajaran tasawuf sudah ada sejak zaman prasejarah yang ditandai dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam dan kekuatan gaib, hal ini tercermin dari karya seni yang banyak berlatarkan religi, seperti halnya seni bangunan, bentuk menhir, punden berundak dan sebagainya. Dasar-dasar ajaran tersebut kemudian berkembang menjadi suatu konsepsi universal yang percaya terhadap kenyataan bahwa ruh manusia akan meninggalkan badan menuju ke alam makrokosmos. Dalam ajaran Islam, ajaran tasawuf merupakan suatu praktik sikap ketauhidan seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ajaran tasawuf ini dianut oleh kaum sufi  yaitu sekelompok umat yang selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi dan hidupnya senantiasa diisi dengan ibadah semata. Sufi berasal dari kata safa  yang berarti kemurnian, hal ini mengandung pengertian bahwa seorang sufi adalah orang...

Janda Menteri "Gerilya" Soepeno Terus Berjuang

Meski usianya kini sudah 72 tahun, Nyonya Tien Soepeno, istri pahlawan nasional Soepeno, masih tetap beredar di lingkungan organisasi sosial politik, kemasyarakatan, dan dunia pendidikan di Jawa Tengah. Selain masih aktif sebagai dosen Universitas Semarang, isteri mantan Menteri Pembangunan dan Pemuda ini juga memegang Ketua Yayasan Gedung Wanita Semarang dan Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBH UWK) di Semarang. Di kancah politik, dia pernah dipercaya DPD Golkar Jateng sebagai anggota komisi A (Polkam dan perundang-undangan) dan komisi B (Anggran dan Perusda) DPRD I Jawa Tengah 1982-1987. Selain itu, masih banyak kegiatannya di ormas, seperti di Perwari, Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW), Himpunan Wanita Karya, Pekerja Perempuan, Yayasan Mardi Waluyo, dan sebagai Kabid Kemasyarakatan Gerakan Pramuka Gudep IX Kwarda Jateng. Di organisasi yang terakhir ini, ia bersama 203 orang wakil dari Indonesia mengikuti jambore internasional yang diikuti ...

Menyelusuri Masjid-masjid Tua: Dari Imigran India hingga Cina

M enyelusuri kawasan kota lama di Jakarta, hingga kini banyak ditemui masjid tua yang keberadaannya hampir bersamaan dengan lahirnya kota ini. Salah satu masjid tertua itu terletak di kawasan Glodok yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari tempat penjarahan dan pembakaran bulan Mei lalu. Masjid Al-Anshor yang dibangun pada 1648 itu letaknya di belakang Pasar Pagi, salah satu pusat perdagangan dan pertokoan di Glodok. Agak sedikit terpencil dan terletak di Jalan Pengukiran II, tak jauh dari Jalan Pejagalan. Masjid yang dulunya sedikit berada di luar tembok kota Batavia, didirikan oleh para imigran India dari Malabar. Orang-orang Islam dari India ini dahulunya banyak bermukim di sini. Sebagaimana masjid-masjid tua di DKI, setelah diperbaharui, gaya lamanya telah agak hilang. Dan untungnya tiang-tiang penyangganya masih utuh. Umumnya masjid-masjid tua di Jakarta yang banyak dibangun sesudah masa itu memiliki empat tiang penyangga. Dan hebatnya, tiang penyangga itu sekalipun sudah ber...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

Akulturasi Islam dan Sunda

A DA cerita yang populer berkaitan dengan penyebaran agama Islam di Tatar Sunda: Kian Santang adalah pemuda gagah perkasa anak Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Karena kesaktiannya, sepanjang hidupnya ia belum pernah tahu warna darahnya. Ia pun terus-menerus bertanding, menguji kesaktian, tapi tak pernah menemukan lawan yang sepadan. Semua lawannya dengan mudah selalu ia kalahkan. Pada suatu waktu Kian Santang mendapat petunjuk dari seorang ahli nujum bahwa lawan yang pantas baginya adalah Baginda Ali yang tinggal di tanah Makah. Dengan menggunakan kesaktiannya, ia pergi ke tanah Makah. Sesampainya di tanah Makah, Kian Santang berusaha mencari Baginda Ali. Menurut orang tua yang kebetulan ia temui di perjalanan, Baginda Ali sedang berada di Masjidil Haram bersama Kangjeng Nabi. Orang tua itu pun bersedia mengantarnya ke Masjidil Haram. Setelah berjalan beberapa ratus langkah, si orang tua berhenti. Rupanya tongkat yang dibawanya tertinggal di tempat ketika bertemu dengan Kian Santang. I...

Semangat Pembauran "Jong Kos"

Hakikat suatu bangsa ada dalam keinginan untuk hidup bersama. Bagi bangsa Indonesia, benih keinginan untuk bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa satu ikut disemai lewat hidup bersama para penggagas Sumpah Pemuda yang menghuni rumah pemondokan yang kini beralamat di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat. S enda gurau terdengar dari rumah indekos di Jalan Kramat 106, Weltevreden, Batavia, pada suatu hari menjelang tahun 1928. Mahasiswa penghuni pemondokan milik Sie Kong Liong itu tak sedang membicarakan revolusi di belahan dunia lain atau pemikiran Mahatma Gandhi dan John Stuart Mill. Mereka melepas penat, berseloroh tentang masakan khas daerah masing-masing. "Sementara ini, enaknya gini aje dulu , Sup!" kata Adnan Kapau Gani, yang lebih sering disingkat AK Gani, pemuda asal Sumatera, kepada Jusupadi Danuhadiningrat, pemuda asli Yogyakarta.  Dari semua "jong kos" alias pemuda penghuni kos Kramat Raya 106 atau Indonesisch Clubgebouw (IC), yang masing-masing di kemud...

Revolusi Kebudayaan

Oleh YUDHISTIRA ANM MASSARDI M ari kita renungkan kembali jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang belum selesai.  Dari masa silam, kita selalu membanggakan Kerajaan Sriwijaya yang berjaya di sekitar Palembang pada 600-1400. Kita juga membanggakan Majapahit di sekitar Surabaya pada kurun 1293-1519. Kita pun membanggakan kemegahan Borobudur dan Prambanan di sekitar Yogyakarta. Terhadap tonggak-tonggak masa silam itu, kita (ingin) menyatakan diri sebagai bagian darinya: sebagai generasi pemilik dan penerus. Namun, pada saat yang sama, kita juga menyadari bahwa itu adalah hasil karya "mereka" dan tak ada hubungannya dengan "kita". Lalu, muncullah pertanyaan eksistensial itu: "Jadi, sebenarnya, siapakah kita?" "Simsalabim" Dari sejarah Indonesia modern, kita belajar tentang sekelompok priayi di "Sekolah Dokter Jawa" (STOVIA) di Jakarta yang--pada 20 Mei 1908--mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo. Para pemuda itu tercerahkan dan menyadari ba...