Langsung ke konten utama

Daftar Isi

Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Dokter Soetomo Selalu Memperjuangkan Nasib Wong Cilik

NGANJUK : Cah bocah, ngger, pada mrenea rungokna kandaku ini Sik cilik tak kudang-kudang Ing tembe kena tak sawang. Dadio wong kang wama santosa, nastiti tresna Kang tresna sapada-pada ojo lali labuh negara. Sepotong kidung ajaran kakeknya, yang selalu didendangkan Soetomo kecil, yang semula bernama Soebroto, di saat berkumpul bersama menggembala kambing dengan teman-teman di desa kelahirannya, ternyata sangat mewarnai betul jiwa kepahlawanan Dr Soetomo, kelak kemudian hari. Tepat 78 tahun lalu, yakni 20 Mei 1908, atau 8 tahun dari saat kidung itu sering dikumandangkan, dr Soetomo membuktikan dengan pembentukan perkumpulan Boedi Oetomo, yang ternyata merupakan percikan api Kebangkitan Nasional, bangsa Indonesia. Perkumpulan itulah, yang kemudian memberikan jiwa dan semangat meraih cita-cita kemerdekaan bangsa. Dokter Soetomo, yang lahir di desa Ngepeh, Nganjuk, Jatim, Minggu legi 30 Juli 1888, sejak kecil diasuh kakeknya, R Ng Singowidjojo yang menjabat Palang  (Kapala Desa) Ngepeh. Ke

Masuknya Islam di Jawa Kikis Kebesaran Majapahit

Berkibarnya bendera Islam di sepanjang pesisir Selat Malaka menjadi faktor yang mendorong masyarakat di daerah itu, termasuk di Jawa, berbondong memeluk Islam. Bahkan kerajaan Hindu-Majapahit pun tak kuasa membendung proses Islamisasi yang terus merasuk dalam setiap celah kehidupan masyarakat ini, terutama di pesisir pantai Jatim. C erita, hikayat, maupun folklore-folklore seputar hubungan kerajaan di Jawa--terutama Majapahit--dengan pusat penyebaran Islam di daerah itu sebenarnya banyak tersirat pada berbagai tulisan seputar peran Pasai dan Malaka dalam proses Islamisasi di Nusantara. Namun beberapa petikan saja mungkin sudah cukup menjadi petunjuk guna memahami masuknya Islam ke setiap jengkal tanah Jawa yang subur. Mengenai hubungan Jawa dengan Samudra Pasai misalnya, banyak hikayat yang menggambarkan bahwa soal itu terutama bertaut dengan perniagaan. Bahwa para pedagang Jawa harus mampir ke Malaka dan Pasai sebelum melanjutkan perjalanan, itu sudah pasti. Namun soal penyerangan

Sekilas Perjalanan Militer Jepang Menguasai Asia

D ORONGAN klasik bagi suatu invasi biasanya masalah ekonomi. Begitu pula dengan Jepang. Menurut Asiatic Land Battles: Japanese Ambitions in the Pacific  yang ditulis oleh Trevor Nevitt Dupuy, seorang kolonel angkatan bersenjata AS, meskipun Jepang menjadi negara industri modern, namun negara ini kekurangan sumber bahan baku dan bahan mentah. Karena itu, Jepang tidak bisa menghasilkan cukup banyak makanan buat memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya sebanyak 70 juta orang waktu itu. Untuk itu para pemimpin Jepang kemudian mulai melirik apa yang disebut "Kawasan Sumber Daya bagian Selatan" dari Asia Tenggara, yang berlimpah cadangan beras, dan bahan tambang seperti nikel, besi, emas, minyak, timah, serta sumber daya alam lainnya. Namun kawasan ini kala (tahun 1940) itu masih diduduki sejumlah negara Barat. Inggris menduduki Myanmar, Malaysia, dan sebagian Kalimantan. Hindia Timur (Indonesia) dikuasai Belanda, Indocina oleh Perancis, dan Amerika Serikat memiliki Filipina.

Grebeg Demak, Tradisi Peninggalan Wali

D emak, salah satu ibu kota kabupaten yang berada di Propinsi Jawa Tengah menurut sejarah merupakan pusat penyiaran agama Islam oleh Wali Sanga di tanah Jawa. Karena itu Demak mendapat predikat sebagai 'Kota Wali'. Salah satu bukti adalah masjid agung yang menghadap Alun-alun Simpang Lima. Masjid ini menyimpan banyak barang peninggalan para wali. Di kota ini terdapat pula makam seorang wali, Sunan Kalijaga, di Kadilangu, sekitar 2 km dari masjid agung. Setiap bulan Dzulhijjah menjelang hari raya Idul Adha, Demak dibanjiri wisatawan ziarah. Dan, puncak kedatangan arus wisatawan terjadi pada perayaan tradisional berupa 'Grebeg Besar' yang diselenggarakan sejak tanggal 1 hingga 10 Dzulhijjah. Untuk tahun ini, Grebeg Besar dipusatkan di Dukuh Tembiring, Desa Jogoloyo, Kecamatan Wonosalam, dan dibuka oleh Bupati H Djoko Widji Suwito SIP, 19 Maret 1999 lalu. Grebeg Besar berasal dari dua kata, yakni grebeg yang artinya datang beramai-ramai, dan besar karena perayaan tradision

Rahim Pencetak Tokoh-tokoh Besar

N AMA besar Syarikat Islam (SI), atau sebelumnya Syarikat Dagang Islam (SDI), menancap kuat pada ingatan banyak orang Indonesia. Tak heran, nama organisasi yang dirintis oleh Haji Samanhudi pada 16 Oktober 1905 itu menjadi penghias buku-buku sejarah yang diajarkan di bangku sekolah. Organisasi ini banyak melahirkan tokoh besar dan memberikan napas bagi pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia. Diketahui, sebagai organisasi pergerakan tertua di Indonesia, SDI, organisasi pra SI, merupakan wadah perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Awalnya kehadiran mereka menentang masuknya pedagang asing untuk menguasai ekonomi rakyat pada masa itu dan meningkatkan jalinan ekonomi kerakyatan antarpedagang lokal dengan napas keislaman. Dikutip dari berbagai sumber, di bawah kepemimpinan Samanhudi, organisasi ini pun berkembang pesat. Sejumlah tokoh besar bergabung. Sebutlah Raden Mas Tirto Adhi Surjo yang pada 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia (Jakarta) dan setahun kemudian mendirik