Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2001

Masjid Jami Al-Islam Petamburan (1770)

D aerah Tanah Abang zaman baheula dan sekarang tak jauh beda. Dilihat dari komposisi penduduk mau pun aktivitas perekonomiannya sama sekali tak berubah jauh. Sejak awal abad ke-17 hingga kini, di Tanah Abang berkumpul masyarakat dari berbagai macam suku dan bangsa. Ada Arab, Cina, India, Jawa, dan pendatang dari Borneo, serta Sumatra.  Di tempat inilah kemudian terjadi kawin campur dan akulturasi serta interaksi sosial dengan segala plus-minusnya. Sedang dari segi aktivitas ekonomi, juga tak ada perubahan. Cap sebagai pusat perdagangan tetap melekat sampai sekarang. Alkisah pada akhir abad ke-18 masehi, datanglah seorang bangsawan ulama dari Minangkabau, Sumbar. Ia bergelar Sultan Raja Burhanuddin Syekh Al-Masri. Kedatangannya ke daerah Tanah Abang bermaksud untuk sekadar melongok pusat perdagangan di Batavia yang kesohor hingga ke Minang itu. Sultan Raja Burhanuddin ingin menyaksikan sendiri, mengapa pasar itu mampu menyedot minat pedagang-pedagang dari kampungnya. Sultan Raja Burhanu

Sumpah Pemuda

Oleh: Alwi Shahab M emasuki sebuah gedung di Jl Kramat Raya 106, Kelurahan Kwitang, Jakarta Pusat kita dapat menyelami kembali peristiwa bersejarah 73 tahun lalu. Saat para pemuda dari berbagai Nusantara mengikrarkan Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Di gedung yang kini dilestarikan menjadi Museum Sumpah Pemuda itu, dapat ditemui berbagai koleksi yang berkaitan dengan peristiwa itu, pada Minggu malam 28 Oktober 1928. Di antaranya koleksi biola milik komponis Wage Rudolf Soepratman, yang dipakai untuk pertama kalinya memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia sesaat sebelum Sumpah Pemuda dibacakan. Gesekan biolanya kadang diselingi suaranya yang agak parau, mendapatkan sambutan antusias dari para pemuda yang berjumlah sekitar 300 orang, rata-rata berusia 20-an tahun. Pemuda Soepratman, yang berbadan kurus menerima ucapan selamat dan pelukan hadirin dengan mata berkaca-kaca. Tampilnya generasi muda dalam pergerakan nasional saat itu merupakan salah satu dampak diberl

Sumpah Pemuda, Untuk Siapa?

Kata persatuan menegaskan adanya pengakuan bahwa bahasa daerah juga tidak kalah pentingnya. B udayawan Ajip Rosidi sempat gusar terhadap bunyi sumpah pemuda. Terutama yang menyangkut soal bahasa. "Ada penghilangan suku kata pada bunyi sumpah pemuda yang beredar saat ini dari teks asli sumpah pemuda. Itu jelas tindakan korupsi," ujar Ajip yang kini banyak bermukim di Jepang ini. Menurut Ajip, bunyi salah satu bagian sumpah pemuda yang terkait dengan soal bahasa bukan, "... berbahasa satu, bahasa Indonesia". Namun, ... berbahasa satu, bahasa persatuan Indonesia. Penghilangan kata 'persatuan' itu menurut Ajip memiliki implikasi yang besar. "Kata persatuan itu menegaskan adanya pengakuan bahwa selain bahasa Indonesia ada bahasa daerah yang juga tidak kalah pentingnya," ujar Ajip. Dalam kacamata budayawan yang giat memelihara pengembangan bahasa Sunda ini, penghilangan kata 'persatuan' sebagai cerminan untuk membawa paham sentralistik dalam masy

Kontroversi di Sekitar G30S/PKI

Oleh Sulastomo S ETELAH 36 tahun berlalu dan Pak Harto telah jatuh, kini banyak beredar berbagai teori dari kalangan kita sendiri tentang peristiwa G30S/PKI. Teori yang beredar kini tentu tidak sesuai teori yang selama ini kita kenal. Bila teori selama ini mengatakan, G30S/PKI adalah sebuah kudeta oleh PKI, maka teori yang kini beredar beraneka ragam. Dari peran CIA sampai ke peran TNI, dan Pak Harto. Dr Soebandrio, mantan wakil perdana menteri dan yang dikenal dekat dengan Bung Karno, kepada Astaga.com mengatakan, peristiwa itu digambarkan sebagai "rekayasa" kelompok bayangan Soeharto dalam TNI/Angkatan Darat. Cerita-cerita yang beredar selama ini, kata Pak Ban (panggilan akrab Soebandrio) adalah tidak benar. Cerita-cerita itu hanya ingin membenarkan sebuah skenario, agar PKI bergerak lebih dahulu dan dengan cara itu, ada alasan untuk memukul PKI. Bila kini ada cerita yang terbalik sama sekali dengan cerita-cerita yang selama ini beredar, dan secara khusus dilansir &qu

Mengungkap Nasionalisme "Kolonel Pembangkang"

SALAH satu sisi menarik dari kajian sejarah adalah aspek dinamis dari interpretasi sejarawan. Seorang sejarawan memiliki kebebasan untuk memperlakukan fakta berdasarkan sudut pandangnya sendiri. Di atas itu semua, kajian sejarah kontemporer umumnya ditulis dengan suatu misi yang sarat beban. Pertama, keinginan untuk menempatkan sejarah sebagai ilmu yang bebas dari kepentingan dan konflik. Itu mengacu pada objektivitas. Kedua, meluruskan sejarah dengan sumber dan interpretasi si pelaku. Ini sifatnya inward looking . Demikian halnya dengan buku ini. Sebagai sebuah biografi, ia ingin menghadirkan sejarah menurut pelakunya sendiri. Dalam penulisan sejarah Orde Baru, peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diberi stigma "pemberontakan"; sesuatu yang setidaknya hingga akhir tahun 1970-an menimbulkan perasaan traumatik dalam diri masyarakat Sumatera Barat. Perasaan rendah diri sebagai komunitas yang telah dikalahkan dan dengan sendirinya selalu dipojokk

Film yang Bertentangan dengan Sejarah Indonesia: "MaRuJiKa" Propaganda Terbesar Militer Jepang

Oleh KABOEL SUADI PADA akhir minggu ke-2 bulan Mei 2001, salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia menayangkan sebuah promosi film yang akan diperdanakan di Jepang. Film berjudul MaRuJiKa (Merdeka) itu merupakan sebuah film yang menggambarkan Balatentara Dai Nippon  melawan tentara Belanda pada tahun 1945 dalam membantu bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya. Menurut sang komentator, film yang bertentangan dengan kenyataan sejarah ini akan dipasarkan ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Film baru, nafas lama Di tengah-tengah ramainya berbagai informasi menyedihkan mengenai ekonomi, politik, dan keamanan yang merisaukan, penayangan promosi dua buah film Jepang yang baru ini, cukup mengejutkan. Dari beberapa penggalannya terlihat pengerahan heitai-san  (tentara) dengan seragam lengkap bertopi baja, senjata bersangkur serta melibatkan sejumlah kendaraan berlapis baja, dalam adegan pertempuran yang dahsyat. Di samping itu, tampak pula sejumlah penduduk Indonesia k

Masjid Agung Palembang (1738)

M asjid Agung Palembang, salah satu masjid bersejarah di Sumbagsel, kembali menjadi pusat perhatian masyarakat. Di bulan Ramadhan, masjid yang berdiri di pusat kota itu dipenuhi ribuan warga yang sengaja datang untuk melakukan i'tikaf, tadarusan, dan kegiatan keagamaan lainnya, di samping sholat lima waktu berjamaah. Menurut sejarahnya Masjid Agung dibangun pada tahun 1738 M tepatnya tanggal 1 Jumadil Akhir 1151 H dan peletakan batu pertama pendirian masjid ini dilakukan oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Bangunan Masjid ini berdiri di belakang (150 meter) dari Istana Sultan Kuto Batu yang saat itu juga baru dalam tahap pembangunan. Budayawan dan sejarahwan Palembang Djohan Hanafiah, kepada Suara Karya bercerita bahwa lokasi Masjid dan Istana Kuto Batu ini dulunya terletak di suatu "pulau". Penulis Belanda G. Bruining tahun 1822 menyebut pulau ini sebagai dier einlanden (Pulau yang sangat berharga). Pulau ini pada zamannya dulu dikelilingi oleh Sungai Musi, Sung

Masjid Angke Al-Anwar (1761)

K etika bahu membahu membantu pasukan Pangeran Fatahillah menggempur VOC di Pelabuhan Sunda Kelapa, sama halnya dengan orang-orang Mataram sebelumnya, orang dari Kasultanan Banten juga memilih menetap di Batavia. Salah seorang yang tidak bisa lepas dari peristiwa itu adalah Tubagus Angke. Tubagus Angke adalah bangsawan Banten bergelar pangeran yang kemudian wafat di Batavia. Keberadaan masjid yang dulu disebut Masjid Angke ini juga tak lepas dari keberadaan Tubagus Angke. Walaupun berukuran kecil--15x15 m2 berdiri di atas lahan 200 m2--masjid ini adalah salah satu masjid bersejarah yang dilindungi oleh UU Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) No 238 Tahun 1931, bahkan diperkuat oleh SK Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10 Januari 1972. Bangunannya cukup menarik karena memperlihatkan perpaduan dari berbagai gaya dan arsitektur. Ada gaya Banten kuno dan Cina juga pengaruh Hindu. Atapnya berbentuk cungkup bersusun dua model arsitektur khas Cina, dengan ujung cungkup (nok) berbentuk kuncup melati-

Surosowan, Istana Banten yang Dua Kali Dibakar

N ama istana ini diambil dari nama Sultan Banten pertama yaitu Maulana Hasanuddin. Sultan yang naik tahta tahun 1552 ini bergelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan. Tercatat 21 sultan Banten bertahta dan tinggal di dalamnya. Tercatat banyak renovasi yang dilakukan para sultan terhadap istana ini. Tercatat dua kali dibumihanguskan. Ya, itulah Istana Surosowan. Istana kebanggaan Kesultanan Banten (berdiri tahun 1522 dan berakhir tahun 1820). Istana ini berdiri di atas tanah seluas 4 ha. Di sekelilingnya dibangun tembok kokoh dan parit yang bersambung dengan Sungai Cibanten. Dahulu, rakyat berkegiatan di alun-alun di muka istana. Pasar, kesenian rakyat, dan segala kegiatan digelar di alun-alun. Bahkan Sultan secara rutin menjumpai rakyatnya di pekarangan istana. DIBANGUN, DIBAKAR, DIBANGUN LAGI, DIBAKAR LAGI Istana Surosowan merupakan saksi kemegahan dan kehancuran Kesultanan Banten. Tercatat dua kali istana ini dibumihanguskan. Pembumihangusan yang pertama terjadi tahun 1680. Ketik

Masjid Jami Matraman Pegangsaan (1837)

S udah jadi kebiasaan masyarakat Melayu tempo dulu di Batavia, memplesetkan kata-kata yang sekiranya dianggap sulit untuk diucapkan. Banyak contoh nama-nama daerah di Betawi yang penyebutannya digampangkan sedemikian rupa. Misalnya daerah Mester di kawasan Jatinegara. Kata Mester, kala itu sebenarnya terucap untuk menyebutkan sebuah tempat di mana seorang pejabat Belanda tinggal di daerah itu--tanahnya membentang dari Salemba sampai daerah Jatinegara. Orang itu biasa dipanggil Meester Cornelis. Maka orang-orang Betawi yang ingin bepergian ke tempat itu menyebutkan Mester. Satu lagi yang juga masih berdekatan dengan wilayah Mester adalah daerah Matraman. Konon daerah ini merupakan pusat komunitas mantan prajurit-prajurit Kerajaan Mataram, Yogyakarta. Banyak dari sebagian prajurit yang diutus Sultan Agung untuk menyerang VOC pimpinan Jan Pietersen Coen di Batavia, memilih tetap tinggal di Batavia setelah gagal merebut pusat pemerintahan kolonial itu. Diduga prajurit-prajurit itu bukan te

Masjid Al-Makmur Cikini (1840)

M asjid Al Makmur yang terletak di jalan Raden Saleh No. 30 Jakarta Pusat, dan didirikan tahun 1840 ini diduga kuat dibangun atas andil almarhum Raden Saleh yang ketika itu tengah membangun rumah di daerah Cikini. Lokasi rumah dan tanah masjid itu kini adalah areal kompleks RS Cikini, yang dahulu disebut Koningen Emma Hospital, milik Koningen Emma Stichting (Yayasan Ratu Emma). Kisahnya, usai berkeliling Eropa memperdalam ilmu lukisnya, pria berkumis melintang bernama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman itu kembali ke Hindia Belanda. Raden Saleh kemudian membeli sebidang tanah yang luas di daerah Cikini. Mulai dari pinggir Kali Ciliwung hingga ke barat. Di tanah itu dibangunlah sebuah rumah dengan beberapa paviliun. Syahdan setelah mempersunting seorang gadis asal Bogor, Raden Saleh hijrah ke kota hujan itu. Namun sebelum pindah Raden Saleh mewakafkan sebidang tanahnya untuk dibangun masjid dan menjual rumah termasuk seluruh tanah miliknya--tidak termasuk tanah masjid yang ada di belak

Masjid Katangka, Gowa (1603)

B agi masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) khususnya di Kabupaten Gowa, Masjid Katangka bukan hanya masjid tertua di daerah itu, tapi masjid yang dibangun pada tahun 1603 itu juga memiliki makna tersendiri. Bagaimana tidak, di saat jaman penjajahan Belanda, masjid itu dijadikan benteng pertahanan terakhir Kerajaan Gowa. Masjid yang terletak di perbatasan Kota Makassar dan Sungguminsa, ibukota Kabupaten Gowa Sulsel itu, juga menjadi saksi sejarah awal mula masuknya agama Islam di Sulsel. Pasalnya, penyebaran Islam di Sulsel, khususnya di Kerajaan Gowa, ditandai dengan pembangunan Masjid Katangka. Penyebaran Islam di Kerajaan Gowa diawali setelah Malaka jatuh ke Portugis. Saat itu, banyak orang Malaka mengungsi ke Timur, termasuk ke Kerajaan Gowa. Karaeng Katangka yang saat itu sebagai Raja Gowa IV, menyambut kehadiran orang-orang Malaka dengan baik, bahkan menyiapkan satu perkampungan yang kemudian disebut Kampung Melayu. Dalam pelariannya, orang-orang Malaka itu dipimpin Sultan Ternate
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...