Langsung ke konten utama

Masjid Angke Al-Anwar (1761)

Ketika bahu membahu membantu pasukan Pangeran Fatahillah menggempur VOC di Pelabuhan Sunda Kelapa, sama halnya dengan orang-orang Mataram sebelumnya, orang dari Kasultanan Banten juga memilih menetap di Batavia. Salah seorang yang tidak bisa lepas dari peristiwa itu adalah Tubagus Angke.

Tubagus Angke adalah bangsawan Banten bergelar pangeran yang kemudian wafat di Batavia. Keberadaan masjid yang dulu disebut Masjid Angke ini juga tak lepas dari keberadaan Tubagus Angke.

Walaupun berukuran kecil--15x15 m2 berdiri di atas lahan 200 m2--masjid ini adalah salah satu masjid bersejarah yang dilindungi oleh UU Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) No 238 Tahun 1931, bahkan diperkuat oleh SK Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10 Januari 1972. Bangunannya cukup menarik karena memperlihatkan perpaduan dari berbagai gaya dan arsitektur. Ada gaya Banten kuno dan Cina juga pengaruh Hindu.

Atapnya berbentuk cungkup bersusun dua model arsitektur khas Cina, dengan ujung cungkup (nok) berbentuk kuncup melati--tertempel bekas horn sirine kecil. Bentuk jurai/sopi-sopi di masing atapnya membengkok di bagian ujung bawah. Dan di keempat ujung jurainya bercuping seperti bunga terompet. Bentuk list-plang kayunya bermotif ombak dengan bonggol kuncup melati terbalik di setiap sudut. Model kusen pintu berdaun dua, seperti lumpang terbalik bermotif ukir-ukiran di bagian bawah dan atas pintu.

Di halaman belakang masjid ini terdapat beberapa makam. Di antaranya adalah makam dengan nisan bertuliskan Syekh Ja'far--tidak diketahui asal-usulnya. Di sebelahnya terletak juga tiga buah cungkup dengan nisan bertuliskan huruf Cina. Tapi ada satu makam yang cukup jelas menunjukkan seorang yang dikuburkan di situ. Makam itu milik almarhum Syekh Syarif Hamid Al Qadri (di timur masjid), yang dikenal sebagai pangeran dari Kesultanan Pontianak,, Kalimantan Barat. Tahun 1800-an, dia ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Batavia hingga kemudian wafat di Batavia. Tertulis pada nisannya, "Meninggal dalam usia 64 tahun 35 hari pada tahun 1274 H atau 1854 Masehi."

Seorang ahli sejarah berkebangsaan Belanda yang mengadakan penelitian tentang masjid ini, Dr F Dehaan, dalam bukunya "Oud Batavia" menuliskan bahwa Masjid Angke Al Anwar didirikan pada hari Kamis 26 Sya'ban 1174 atau 2 April 1761. Dehaan juga menulis bahwa masjid ini didirikan oleh seorang wanita Cina dari suku Tarta yang menikah dengan seorang pria Banten. Kisah itu didapatkan oleh Dehaan melalui cerita dari mulut ke mulut penduduk sekitar Angke.

Seperti halnya masjid-masjid yang didirikan pada masa perjuangan, masjid ini juga dijadikan basis perjuangan masyarakat sekitar masjid setelah proklamasi kemerdekaan. Aksi perjuangan itu terutama dipelopori oleh para ulama Angke yang mengobarkan semangat kepada para pemuda Angke. Rapat-rapat rahasia yang sering dilakukan di masjid itu tak pernah tercium oleh pihak Belanda. Dalam perkembangannya, bangunan Masjid Angke Al Anwar ini bahkan tidak sedikit pun tergores oleh peluru Belanda.

Tapi, sayang, barangkali karena lebih mengutamakan fungsinya, penambahan-penambahan sarana di pelataran masjid membuat tempat ibadah ini tampak kumuh. Bagian dalam pun demikian, jauh dari kesan bersih. Banyak tukang air yang bertiduran di dalam masjid--di luar pagar adalah hidran PAM untuk umum. Keberadaannya di sekeliling pemukiman padat model MHT, menguatkan kesan seperti tersembunyi di balik hiruk-pikuk aktivitas masyarakat sekitar.

Masjid Angke Al Anwar persisnya terletak di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid I RT 001/05, Kelurahan Angke. Dari Terminal Bus Grogol ada beberapa angkutan yang bisa mengantar ke lokasi. Carilah angkutan ke arah Pluit atau Jembatan Tiga. Lalu turun di Fly-Over Jembatan Dua, Jalan Dr Laumeten. Lebih dekat lagi jika menggunakan KA Jabotabek, turun di Stasiun Angke.

(pesantren.net/M-1)

 

Sumber: Tidak diketahui, Tanpa tanggal 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...