Langsung ke konten utama

Masjid Agung Palembang (1738)

Masjid Agung Palembang, salah satu masjid bersejarah di Sumbagsel, kembali menjadi pusat perhatian masyarakat. Di bulan Ramadhan, masjid yang berdiri di pusat kota itu dipenuhi ribuan warga yang sengaja datang untuk melakukan i'tikaf, tadarusan, dan kegiatan keagamaan lainnya, di samping sholat lima waktu berjamaah.

Menurut sejarahnya Masjid Agung dibangun pada tahun 1738 M tepatnya tanggal 1 Jumadil Akhir 1151 H dan peletakan batu pertama pendirian masjid ini dilakukan oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Bangunan Masjid ini berdiri di belakang (150 meter) dari Istana Sultan Kuto Batu yang saat itu juga baru dalam tahap pembangunan.

Budayawan dan sejarahwan Palembang Djohan Hanafiah, kepada Suara Karya bercerita bahwa lokasi Masjid dan Istana Kuto Batu ini dulunya terletak di suatu "pulau". Penulis Belanda G. Bruining tahun 1822 menyebut pulau ini sebagai dier einlanden (Pulau yang sangat berharga). Pulau ini pada zamannya dulu dikelilingi oleh Sungai Musi, Sungai Sekanak, Sungai Tengkuruk, dan Sungai Kapuran. Masjid Agung berdiri di pinggir Sungai Tengkuruk. Waktu itu Jemaah datang ke masjid dengan menggunakan perahu yang juga disebut sampan. Mereka menambatkan sampan-sampannya berjajar di tepian Sungai Tengkuruk. Kini, Sungai Tengkuruk dan Kapuran sudah berubah menjadi jalan raya, sementara Sungai Sekanak yang dulu berkelok-kelok menyeruak di pemukiman warga, kini diubah memanjang lurus (kanal).

Pertama kali dibangun, Masjid Agung ini berukuran 30 X 36 M. Di keempat sisinya terdapat empat penampil berfungsi sebagai pintu masuk, kecuali di bagian Barat yang merupakan mihrab. Atapnya berbentuk atap tumpang tiga tingkat yang melambangkan filosofi keagamaan.

Bahan-bahan yang digunakan hampir semuanya bahan kelas satu eks impor seperti kaca dan marmer yang didatangkan dari Eropa. Diyakini arsitek masjid ini adalah orang Eropa sementara tenaga teknis di lapangan terutama pekerjaan batu batanya adalah orang-orang Cina. Pembangunan Masjid ini memakan waktu 10 tahun. Cukup lamanya waktu penyelesaian karena sulitnya mendatangkan material. Masjid Agung ini diresmikan pada 28 Jumadil Awal 116 H atau 26 Mei 1748.

Dalam sejarahnya, Masjid Agung ini terus mengalami perubahan. Menurut data yang berhasil dihimpun Suara Karya, dari catatan Assisten Residen Palembang FJB, Storm Vans Gravesande (1850) pada awalnya Masjid Agung tak memiliki menara dan menara baru didirikan setelah 13 tahun masjid berdiri. Pada mulanya perubahan secara mendasar tidak dilakukan. Bangunan utama tetap seperti pada awal dibangun. Tambahan pembangunan hanya dilakukan seadanya karena terdesak oleh kebutuhan akibat jemaah yang terus bertambah.

Seratus tahun kemudian atau pada 1848, oleh pemerintah kolonial diadakan perubahan dan perluasan. Bentuk gerbang serambi masuk diubah dari bentuk tradisional menjadi bentuk doric. Siapa yang menjadi komandan perombakan itu tidak jelas, tidak ada data yang ditemukan.

Tahun 1897 diadakan lagi perombakan, serambi yang berbentuk dorik dibongkar. Saat itu diadakan perubahan dan tambahan-tambahan seperti tambahan serambi terbuka dengan tiang-tiang beton bulat, sehingga bentuknya menyerupai pendopo atau seperti bangunan kolonial pada umumnya. Menara masjid juga mengalami perubahan, tahun 1874 bentuk menara diubah dari aslinya dan tahun 1916 menara ini kembali disempurnakan baik bentuk maupun tingginya. Tahun 1952 setelah merdeka perubahan dan perluasan dilakukan lagi. Perubahan itu tergambar pada bangunan masjid s/d tahun 2000 lalu, bentuknya tidak lagi harmonis dengan bentuk aslinya. Perubahan terus dilakukan hingga masjid ini berlantai dua. Atas bangunan Pertamina Tahun 1970 dibangun menara baru setinggi 45 meter bersegi dua belas. Menara ini diresmikan 1 Februari 1971.

Akibat tambal sulam karena terus menerus mengalami penambahan dan perubahan, Masjid Agung akhirnya memiliki berbagai gaya dan bentuk arsitektur campur aduk. Melihat tambal sulamnya masjid dengan gaya arsitektur entah dari mana, mengundang pejabat-pejabat daerah ini untuk kembali melakukan perubahan dan tambahan.

Gubernur Sumsel H. Rosihan Arsyad dan Walikota Palembang , M. Husni tampaknya sangat konsen dengan kondisi Masjid Agung ini, hingga akhirnya memutuskan untuk merombak total namun tetap mempertahankan dan menyisakan bentuk aslinya dengan melakukan renovasi dan pengembangan.

Renovasi dan pengembangan Masjid Agung saat ini sedang berjalan. Ada tiga tahapan utama dalam upaya menjadikan masjid ini bukan saja sebagai tempat syiar agama Islam tetapi juga sebagai fondamental sejarah.

Tahap pertama berupa pembebasan tanah, kedua renovasi dan ketiga pengembangan. Tiga tahapan utama itu membutuhkan dana sekitar Rp 23 miliar. Diharapkan tahun 2001 renovasi dan pengembangan Masjid Agung ini bisa diselesaikan hingga masjid yang pada awal berdirinya hanya bisa menampung beberapa ratus jemaah saja, nantinya mampu menampung 15.000 jemaah di dalam/luar masjid. 

(Jono Mugiono).


Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...