Langsung ke konten utama

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

INDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang".

Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara.

PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang.

Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot, yang memimpin pasukan itu tewas dalam keadaan tangannya masih menggenggam pistol. Bersama dia ikut gugur Lettu Soebianto (adik kandung Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo), Lettu Soetopo dan 34 taruna lainnya. 

Menurut Mayjen TNI (Purn) RH Achmad Saleh, taruna MA Tangerang sangat muda belia. Usia mereka terbanyak antara 16 dan 20 tahun dan hanya seorang yang tertua, berusia 25 tahun.

Mereka juga belum sampai 3 bulan dibina. Bahkan mereka belum sempat diberi latihan menembak, karena tidak ada persediaan mesiu. 

Ketika mereka bertugas melucuti senjata Jepang, mereka hanya membawa senjata berupa karabin "Terni" kaliber 6,5 mm buatan Italia, peninggalan tentara Belanda sebelum Perang Dunia II. "Pelurunya hanya lima, sedang menembakkannya harus dikokang dulu," kata RHA Saleh yang juga alumni MA Tangerang, di Deppen, Kamis lalu.

Tidak Menyangka

Para taruna MA Tangerang yang berjumlah 70 orang itu sama sekali tidak menyangka akan diserang mendadak oleh pasukan Jepang yang sebanyak 1 kompi dan dipimpin oleh Kapten Abe. "Mereka menguasai medan, dan punya persenjataan lengkap," kata RHA Saleh. "Tapi taruna kita tetap bertempur penuh herdik," lanjutnya.

Pelucutan senjata Jepang oleh TKR dilakukan sesuai hasil perundingan pemerintah RI (diwakili Wakil Menlu H Agoes Salim) dengan pihak Sekutu (diwakili Kepala Staf Tentara Inggris di Indonesia Brigadir Lauder) pada akhir November 1945.

Hasil perundingan itu menetapkan bahwa Indonesia yang akan melucuti/memulangkan 35 ribu orang tentara Jepang dan mengungsikan 28 ribu orang APWI (tawanan dan interniran sekutu). Tugas ini dikenal dengan operasi POPDA (Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang dan APWI). 

Taruna MA Tangerang memasuki kamp Jepang di Lengkong dengan mengikutsertakan 8 orang serdadu Inggris berkebangsaan India (Pakistan). "Jepang itu sebagai yang kalah perang telah melanggar," kata J. Bolang, bekas instruktur para taruna itu. Upacara pemakaman korban PPL itu dipimpin langsung oleh PM Sjahrir.

Sekjen Deppen Mayjen (Purn) Drs H Abdul Kadir menambahkan, adik Prof Dr Sumitro yang gugur tidak hanya Lettu Soebijanto, tapi juga Soejono Djojohadikusumo yang masih taruna. Temannya yang ikut tewas termasuk Sjoket Salim, putra H Agoes Salim sendiri.

Jadi Penjara

Kampus MA Tangerang sudah tiada, kini berubah menjadi tempat orang-orang hukuman. "Penjara untuk anak dan wanita Tangerang," kata RHA Saleh. 

MA Tangerang berdiri 18 November 1945 dan berakhir setelah 150 tarunanya dilantik menjadi "Vaandrig" TRI. 22 Maret 1946 Akmil perintis di Tanahair itu ditutup karena daerah Tangerang diserbu dan diduduki Belanda.

Para taruna akmil itu banyak berhasil dalam tugas yang diberikan TKR. Misalnya dalam tugas mengantarkan perbekalan buat interniran Sekutu. Kemudian ikut menghancurkan gerombolan pengacau kiri yang bernama "Dewan Soviet Tangerang" atau pasukan "Ubelubel" dan "Hitam".

Mereka juga mengamankan pameran lukisan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 27 Desember 1945 yang disaksikan Presiden Soekarno dan Panglima Sekutu di Indonesia Letjen Sir Philip Christon. Taruna MA Tangerang tampil di pameran itu untuk membuktikan bahwa tentara Indonesia punya intelektual, kemampuan dan terlatih. 

MA Tangerang lahir dari gagasan para perwira Resimen IV Tangerang, seperti Mayor Daan Mogot, Mayor Kemal Idris (kini Letjen Purn), Kapten J Bolang, Kapten Tommy dan Kapten Endjon. Para perwira itu merasakan kurangnya kader perwira terutama di resimennya, setelah peleburan BKR (Badan Keamanan Rakyat) menjadi TKR, 5 Oktober 1945.

Semua alumni MA Tangerang ini sudah pensiun dalam jajaran ABRI. RHA Saleh adalah pensiunan terakhir, yaitu 1984. Dalam pemerintahan mereka masih ada beberapa seperti dr Soegeng Sapari (Deputi di BKKBN) dan Imam Abikusno (dubes RI di Ethiopia). "Kami dulu ada yang masih duduk kelas III SMP, berusia 16 tahun, tapi ngakunya lulus SMP. Yang setingkat sekolah kedokteran tinggi juga ada," kata RHA Saleh mengenang. (usman yatim).



Sumber: Suara Karya, 25 Januari 1986



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Dokter Soetomo Selalu Memperjuangkan Nasib Wong Cilik

NGANJUK : Cah bocah, ngger, pada mrenea rungokna kandaku ini Sik cilik tak kudang-kudang Ing tembe kena tak sawang. Dadio wong kang wama santosa, nastiti tresna Kang tresna sapada-pada ojo lali labuh negara. Sepotong kidung ajaran kakeknya, yang selalu didendangkan Soetomo kecil, yang semula bernama Soebroto, di saat berkumpul bersama menggembala kambing dengan teman-teman di desa kelahirannya, ternyata sangat mewarnai betul jiwa kepahlawanan Dr Soetomo, kelak kemudian hari. Tepat 78 tahun lalu, yakni 20 Mei 1908, atau 8 tahun dari saat kidung itu sering dikumandangkan, dr Soetomo membuktikan dengan pembentukan perkumpulan Boedi Oetomo, yang ternyata merupakan percikan api Kebangkitan Nasional, bangsa Indonesia. Perkumpulan itulah, yang kemudian memberikan jiwa dan semangat meraih cita-cita kemerdekaan bangsa. Dokter Soetomo, yang lahir di desa Ngepeh, Nganjuk, Jatim, Minggu legi 30 Juli 1888, sejak kecil diasuh kakeknya, R Ng Singowidjojo yang menjabat Palang  (Kapala Desa) Ngepeh. Ke

Masjid Jami Matraman Pegangsaan (1837)

S udah jadi kebiasaan masyarakat Melayu tempo dulu di Batavia, memplesetkan kata-kata yang sekiranya dianggap sulit untuk diucapkan. Banyak contoh nama-nama daerah di Betawi yang penyebutannya digampangkan sedemikian rupa. Misalnya daerah Mester di kawasan Jatinegara. Kata Mester, kala itu sebenarnya terucap untuk menyebutkan sebuah tempat di mana seorang pejabat Belanda tinggal di daerah itu--tanahnya membentang dari Salemba sampai daerah Jatinegara. Orang itu biasa dipanggil Meester Cornelis. Maka orang-orang Betawi yang ingin bepergian ke tempat itu menyebutkan Mester. Satu lagi yang juga masih berdekatan dengan wilayah Mester adalah daerah Matraman. Konon daerah ini merupakan pusat komunitas mantan prajurit-prajurit Kerajaan Mataram, Yogyakarta. Banyak dari sebagian prajurit yang diutus Sultan Agung untuk menyerang VOC pimpinan Jan Pietersen Coen di Batavia, memilih tetap tinggal di Batavia setelah gagal merebut pusat pemerintahan kolonial itu. Diduga prajurit-prajurit itu bukan te

Masuknya Islam di Jawa Kikis Kebesaran Majapahit

Berkibarnya bendera Islam di sepanjang pesisir Selat Malaka menjadi faktor yang mendorong masyarakat di daerah itu, termasuk di Jawa, berbondong memeluk Islam. Bahkan kerajaan Hindu-Majapahit pun tak kuasa membendung proses Islamisasi yang terus merasuk dalam setiap celah kehidupan masyarakat ini, terutama di pesisir pantai Jatim. C erita, hikayat, maupun folklore-folklore seputar hubungan kerajaan di Jawa--terutama Majapahit--dengan pusat penyebaran Islam di daerah itu sebenarnya banyak tersirat pada berbagai tulisan seputar peran Pasai dan Malaka dalam proses Islamisasi di Nusantara. Namun beberapa petikan saja mungkin sudah cukup menjadi petunjuk guna memahami masuknya Islam ke setiap jengkal tanah Jawa yang subur. Mengenai hubungan Jawa dengan Samudra Pasai misalnya, banyak hikayat yang menggambarkan bahwa soal itu terutama bertaut dengan perniagaan. Bahwa para pedagang Jawa harus mampir ke Malaka dan Pasai sebelum melanjutkan perjalanan, itu sudah pasti. Namun soal penyerangan

Sekilas Perjalanan Militer Jepang Menguasai Asia

D ORONGAN klasik bagi suatu invasi biasanya masalah ekonomi. Begitu pula dengan Jepang. Menurut Asiatic Land Battles: Japanese Ambitions in the Pacific  yang ditulis oleh Trevor Nevitt Dupuy, seorang kolonel angkatan bersenjata AS, meskipun Jepang menjadi negara industri modern, namun negara ini kekurangan sumber bahan baku dan bahan mentah. Karena itu, Jepang tidak bisa menghasilkan cukup banyak makanan buat memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya sebanyak 70 juta orang waktu itu. Untuk itu para pemimpin Jepang kemudian mulai melirik apa yang disebut "Kawasan Sumber Daya bagian Selatan" dari Asia Tenggara, yang berlimpah cadangan beras, dan bahan tambang seperti nikel, besi, emas, minyak, timah, serta sumber daya alam lainnya. Namun kawasan ini kala (tahun 1940) itu masih diduduki sejumlah negara Barat. Inggris menduduki Myanmar, Malaysia, dan sebagian Kalimantan. Hindia Timur (Indonesia) dikuasai Belanda, Indocina oleh Perancis, dan Amerika Serikat memiliki Filipina.

Grebeg Demak, Tradisi Peninggalan Wali

D emak, salah satu ibu kota kabupaten yang berada di Propinsi Jawa Tengah menurut sejarah merupakan pusat penyiaran agama Islam oleh Wali Sanga di tanah Jawa. Karena itu Demak mendapat predikat sebagai 'Kota Wali'. Salah satu bukti adalah masjid agung yang menghadap Alun-alun Simpang Lima. Masjid ini menyimpan banyak barang peninggalan para wali. Di kota ini terdapat pula makam seorang wali, Sunan Kalijaga, di Kadilangu, sekitar 2 km dari masjid agung. Setiap bulan Dzulhijjah menjelang hari raya Idul Adha, Demak dibanjiri wisatawan ziarah. Dan, puncak kedatangan arus wisatawan terjadi pada perayaan tradisional berupa 'Grebeg Besar' yang diselenggarakan sejak tanggal 1 hingga 10 Dzulhijjah. Untuk tahun ini, Grebeg Besar dipusatkan di Dukuh Tembiring, Desa Jogoloyo, Kecamatan Wonosalam, dan dibuka oleh Bupati H Djoko Widji Suwito SIP, 19 Maret 1999 lalu. Grebeg Besar berasal dari dua kata, yakni grebeg yang artinya datang beramai-ramai, dan besar karena perayaan tradision