Langsung ke konten utama

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

SEBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar.

Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa.

Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir Kerajaan Majapahit dan mulainya berdiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa pada tahun 1475 atau akhir-akhir abad ke-15.

Di Cirebon, di antara jejak kasim Muslim Cheng Ho ialah berdirinya mercusuar di Amparan Jati di atas bukit Gunung Jati, bangunan Kelenteng Talang yang namanya berasal dari kata Tao Lang (berarti orang besar, merujuk pada sosok Cheng Ho).

Menurut filolog Cirebon, Dr Opan Raffan Hasyim, selain tinggalan berupa benda (tangible), Laksamana Cheng Ho juga meninggalkan budaya tak benda (intangible), di antaranya ialah teknik penangkapan ikan, pembuatan keramik, pengelolaan administrasi pelabuhan, dan banyak lagi yang sangat memengaruhi pola birokrasi dan tata kelola administrasi pemerintahan Cirebon sesudahnya.

"Di Cirebon, Laksamana Cheng Ho sempat singgah. Berlabuh di Pelabuhan Muara Jati. Rombongan ekspedisi yang jumlahnya mencapai hampir 30.000 orang itu banyak yang berinteraksi dengan penduduk setempat sehingga terjadi akulturasi budaya," tuturnya.

Kunjungan diplomatik

Ekspedisi laut Cheng Ho membawa misi diplomatik dengan kerajaan-kerajaan yang disinggahinya, termasuk yang berada di nusantara. Pelayaran damai itu membuat kehadiran Cheng Ho disambut dengan keramahan, termasuk oleh para petinggi kerajaan di nusantara.

Kehadiran kapal-kapal dagang dan diplomatik Cheng Ho, memperkuat perkembangan agama Islam yang ketika itu mulai kuat pengaruhnya di Cirebon dan wilayah timur Jawa. Di wilayah timur, kehadiran Cheng Ho dikaitkan juga dengan berdirinya Kesultanan Islam Demak yang berbarengan dengan ufuk senja keruntuhan kerajaan Hindu Majapahit.

Sementara itu, di Cirebon, jika dilihat kedatangan kapal-kapal Cheng Ho pada tahun 1415, itu seusia dengan rintisan awal berdirinya Kesultanan Cirebon. Cheng Ho bahkan sempat memberi cendera mata berupa piring keramik bertuliskan ayat Qursi yang sampai sekarang masih tersimpan di Keraton Kasepuhan. Di masa berikutnya, Sunan Gunung Djati lantas mendirikan Kesultanan Cirebon pada tahun 1479.

Dalam persinggahan di Cirebon, Cheng Ho memerintahkan Haji Kung Wu Ping, panglima angkatan bersenjata armada laut Tiongkok itu untuk membangun mercusuar, masjid, dan membuka permukiman Tionghoa di daerah Talang, termasuk mendirikan bangunan yang kini menjadi Kelenteng Talang. Kerja sama saling menguntungkan itu dilakukan atas persetujuan Ki Gedeng Tapa, petinggi Kerajaan SIng Apura (letaknya diperkirakan di daerah Celancang sekarang), kerajaan kecil bawahan Padjadjaran sebelum Kerajaan Islam atau Kesultanan Cirebon berdiri.

"Dari situlah, akulturasi terjadi. Saat itu pengaruh Islam di Cirebon makin membesar. Tidak sedikit anak buah Cheng Ho yang kawin dengan wanita lokal dan memilih menetap di Cirebon. Mereka adalah kakek buyut warga keturunan Tionghoa Cirebon," tutur Opan.

Tiga dugaan

Lalu apa hubungan antara Cheng Ho dan keberadaan jangkar raksasa di Vihara Dewi Welas Asih? Sampai sekarang, Opan sendiri mengaku tidak yakin jangkar raksasa itu terkait kapal-kapal Cheng Ho di awal abad ke-15. Apalagi sejauh ini, memang belum ada bukti yang kuat secara arkeologis, filologis, maupun historiografis menyangkut hubungan di antara keduanya itu.

"Sampai sekarang belum ada bukti arkeologis, filologis, dan historiografis. Saya masih ragu kalau jangkar raksasa itu tinggalan kapal-kapal Cheng Ho. Hanya memang ada fakta bahwa kapal-kapal Cheng Ho pernah berlabuh di Cirebon. Bahkan, daerah seputar Kelenteng Talang dan Vihara Welas Asih merupakan pecinan yang dirintis anak buah Cheng Ho untuk keperluan dok, pasokan kayu jati bahan baku kapal serta tempat pemasok barang kebutuhan logistik armada laut Cheng Ho," tuturnya.

Hal senada juga diungkapkan R Chaidir Susilaningrat, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cirebon yang juga sejarawan dari Kaeraton Kasepuhan. Sejauh ini, kata dia, terkait keberadaan jangkar raksasa di Vihara Dewi Welas Asih yang muncul hanya dugaan-dugaan sejarah.

Kata dia, setidaknya ada tiga teori di balik temuan jangkar raksasa itu. Pertama, ialah seperti yang selama ini masyarakat umum meyakininya bahwa jangkar itu berasal dari kapal-kapal Tiongkok yang menjadi bagian armada penjelajahan samudra Laksamana Cheng Ho.

"Realitasnya, dalam perjalanan ke arah Semarang, Cheng Ho sempat berlabuh dan singgah. Bahkan yang sekarang menjadi Kelenteng Talang, itu juga dibangun atas perintah Cheng Go. Daerah Talang dan sekitarnya, termasuk Vihara Welas Asih tempat ditemukannya jangkar, merupakan pecinan ramai untuk pusat perbengkelan dan logistik kapal-kapal Cheng Ho," tuturnya.

Dugaan kedua, mengingat bentuknya yang berbeda dengan jangkar kapal Cheng Ho yang berada di Kelenteng Sam Po Kong Semarang, muncul bantahan bahwa jangkar itu tinggalan armada kapal Cheng Ho, tetapi dari saudagar-saudagar kapal lainnya. Pelabuhan Muara Jati dan sekitarnya, sejak beberapa abad lampau, merupakan kota pesisir yang ramai dan menjadi pusat perniagaan berbagai bangsa.

Dugaan ketiga, jangkar raksasa itu merupakan peninggalan kapal-kapal pada periode yang lebih lama lagi, yakni pada era Majapahit atau juga bahkan Sriwijaya dan Padjadjaran. Teori ketiga ini juga cukup masuk akal mengingat di Cirebon sebelum memasuki era Kesultanan Islam Cirebon, berdiri kerajaan kecil bawahan Padjadjaran, bernama Sing Apura.

"Sebenarnya jejak arkeologisnya banyak. Tidak hanya di daerat, tetapi juga di tengah perairan. Perairan Cirebon itu menyimpan misteri sejarah yang luar biasa, sampai sekarang masih banyak terdapat bangkai kapal-kapal tinggalan berbagai era sejarah. Penemuan keramik-keramik Tiongkok beberapa tahun lalu membuktikan timbunan fakta sejarah yang masih tenggelam di dasar laut," tutur Chaidir.

Para sejarawan sepakat bahwa misteri itu mesti disingkap. Perlu ada penelitian yang luas dan menyeluruh untuk membuka tabir masa lalu yang diyakini sebaga era kejayaan Cirebon sebagai pusat kebudayaan maritim dan perniagaan di Pulau Jawa. (Agung Nugroho/"PR")***



Sumber: Pikiran Rakyat, 6 Januari 2020 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

RUNTUHNYA HINDIA BELANDA: Menyerahnya Gubernur Jendral AWL TJARDA dan Letnan Jendral TER POORTEN kepada Letnan Jendral IMMAMURA Panglima Perang Jepang 8 Maret 1942

Generasi kita sekarang, mungkin tidak banyak yang mengetahui terjadinya peristiwa penting di tanah air kita 35 tahun yang lalu, yaitu menyerahnya Gubernur Jenderal dan Panglima Perang Hindia Belanda "Tanpa Syarat" kepada Panglima Perang Jepang yang terjadi di Kalijati Bandung pada tanggal 8 Maret 1942. Peristiwa yang mengandung sejarah di Tanah Air kita ini telah ditulis oleh Tuan S. Miyosi seperti di bawah ini: Pada tanggal 8 Maret 1942 ketika fajar kurang lebih jam 07.00 pagi, kami sedang minum kopi sambil menggosok mata, karena kami baru saja memasuki kota Jakarta, dan malamnya banyak diadakan permusyawaratan. Pada waktu itu datanglah seorang utusan dari Markas Besar Balatentara Jepang untuk menyampaikan berita supaya kami secepat mungkin datang, walaupun tidak berpakaian lengkap sekalipun. Kami bertanya kepada utusan itu, apa sebabnya maka kami disuruh tergesa-gesa? Rupa-rupanya balatentara Hindia Belanda memberi tanda-tanda bahwa peperangan hendak dihentikan! Akan ...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Pemuda Penjuru Bangsa

"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". (Ir Soekarno) JAKARTA, KOMPAS -- Pernyataan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, itu menggambarkan betapa pemuda merupakan potensi yang luar biasa, tidak hanya untuk pembangunan bangsa, tetapi juga untuk mengguncangkan dunia. Dalam perkembangan bangsa ini, kaum muda banyak mewarnai sejarah Indonesia. Tidak hanya dimulai dengan digelarnya Kongres Pemuda II tahun 1928, yang menegaskan "bertanah air dan berbangsa yang satu, bangsa Indonesia serta berbahasa persatuan, bahasa Indonesia", tetapi peristiwa pembentukan negeri ini, misalnya lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908, pun digagas pemuda. Bahkan, organisasi kebangsaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, tidak bisa dipisahkan dari peranan kaum muda. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang diakui sebagai pemuda adalah warga negara yang m...