Langsung ke konten utama

Misteri Jangkar Raksasa Laksamana Cheng Ho: Kabut Sejarah di Perairan Cirebon

TINGGINYA menjulang sekitar 4,5 sampai 5 meter. Bentuknya sebagaimana jangkar sebuah kapal, terbuat dari besi baja yang padat dan kokoh. Bagian tengahnya lurus serta di bawahnya berupa busur dengan kedua ujung yang lancip.

JANGKAR kapal berukuran besar itu sampai kini diletakkan di ruangan sebelah utara dari balairung utama Vihara Dewi Welas Asih. Dengan berat yang mencapai lebih dari tiga ton, benda bersejarah itu disimpan dalam posisi berdiri dan disandarkan di tembok pembatas serambi utara dengan balairung utama yang menjadi pusat pemujaan terhadap Dewi Kwan Im, dewi kasih sayang. 

Tempat peribadatan warga keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha ini terletak di areal kota tua di pesisir utara Kota Cirebon. Bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2011 ini didirikan pada awal pertengahan abad ke-16, tepatnya tahun 1559 Masehi.

Letaknya berada di pesisir pantai, persis bersebelahan dengan Pelabuhan Kota Cirebon. Kelenteng ini berada di antara gedung-gedung tua megah bergaya arsitektur art-deco peninggalan kolonial Belanda yang kini menjadi kompleks perkantoran.

Sepintas vihara ini sama dengan tempat peribadatan sejenis pada umumnya, layaknya kelenteng untuk peribadatan umat Konghucu. Bangunan tempat peribadatan umat Buddha ini sama-sama bergaya khas oriental, lengkap dengan ornamen-ornamen, beragam pernik dan warna merah darah sebagai penanda. Pembedanya dengan kelenteng ialah pada simbol-simbol Buddha yang lebih menonjol.

Untuk daerah Cirebon, vihara ini bukanlah yang tertua. Sebab, tak jauh dari sana tepatnya di sebelah selatan, terdapat Kelenteng Talang. Tempat peribadatan umat Konghucu itu usianya lebih tua, dibangun tahun 1415 Masehi. Pembangunan Kelenteng Talang bertepatan dengan tahun singgahnya kapal-kapal Cheng Ho di pesisir Cirebon.

Menurut Ketua Majelis Agama Kong Hu Cu (Makin) Cirebon, Teddy Setiawan, bangunan yang sejak tahun 1950-an resmi dijadikan kelenteng itu merupakan peninggalan langsung dari aktivitas Cheng Ho  saat singgah di Cirebon.

Hampir dua abad setelah Kelenteng Talang, baru berdiri Vihara Dewi Welas Asih. Meski bukan didirikan oleh Cheng Ho, tetapi vihara berusia 425 tahun ini menyimpan misteri sejarah yang menjadikannya unik. Ialah keberadaan jangkar raksasa setinggi 4,5 sampai 5 meter tadi.

Data akademis

Sampai hari ini, orang Cirebon meyakini bahwa jangkar itu merupakan peninggalan salah satu armada kapal rombongan Laksamana Cheng Ho. Namun, belum ada penelitian sejarah yang secara akademik membuktikan hubungan jangkar dengan pelayaran Cheng Ho, ekspedisi laut terbesar di Asia Timur yang berkekuatan lebih dari 300 kapal besar dengan rombongan mencapai 27.000 orang lebih..

Salah seorang pengelola Vihara Welas Asih, Ferry Hartadi, juga tidak berani memastikan bahwa jangkar raksasa itu merupakan peninggalan kapal-kapal rombongan ekspedisi Cheng Ho. Kalau dari bentuknya, kata dia, lebih menyerupai jangkar kapal Portugis atau kapal bangsa Eropa. Hanya, pria asal Bandung penunggu vihara itu juga mengaku ragu sebab tidak ditemukan catatan sejarah bahwa kapal-kapal Portugis singgah di Cirebon.

"Portugis masuk ke nusantara itu awal abad ke-16, itu pun di Malaka, sekarang bagian dari Malaysia. Sementara itu, vihara ini dibangun lebih dahulu pada akhir abad ke-15. Sebelum abad ke-15 tidak ada catatan sejarah pendaratan kapal Portugis, tidak saja di Cirebon tetapi juga di nusantara," tuturnya.

Jika dihubungkan dengan Laksamana Cheng Ho, diakui lebih masuk akal. Sebab, menurut catatan sejarah, bersama sedikitnya 300 kapal besar dan hampir 30 rombongan, kasim Muslim Cheng Ho melakukan ekspedisi laut ke nusantara itu pada awal abad ke-15, antara tahun 1405 hingga 1433 Masehi.

Vihara Dewi Welas Asih memiliki koleksi patung Toa Pe Kong terlengkap di Cirebon dan selalu dikunjungi ribuan orang saat perayaan Cap Go Meh dan dibangun tahun 1559 atau pertengahan abad ke-16. Ada rentang waktu selama 144 tahun atau hampir satu setengah abad antara pendaratan kapal Cheng Ho di Cirebon dengan pembangunan vihara umat Buddha itu.

"Laksamana Cheng Ho ke Cirebon sekitar tahun 1415. Berarti ada rentang waktu hampir satu setengah abad. Cukup masuk akal jika jangkar itu ada hubungan dengan Cheng Ho. Namun, pendapat ini juga belum kuat, apalagi jika dibandingkan dengan tinggalan jangkar kapal Cheng Ho yang disimpan di Kelenteng Sam Po Kong Semarang, itu bentuknya berbeda," tutur Ferry.

Tertimbun tanah

Jangkar raksasa yang oleh masyarakat Cirebon diyakini sebagai tinggal kapal Cheng Ho ditemukan saat pembangunan awal Vihara Dewi Welas Asih di akhir abad ke-16. Keberadaannya pun tertimbun campuran tanah dan pasir laut sedalam dua meter.

Para penggali sempat heran saat menemukan ada benda keras terkubur di tanah. Setelah digali lebih dalam, ternyata berupa jangkar besi raksasa seukuran 4,5 sampai 5 meter.

"Jangkar ini ditemukan oleh penggali tanah saat perluasan bangunan vihara. Oleh pengelola, lalu diletakkan di tembok serambi utara. Sampai sekarang tidak pernah dipindah karena memang sangat berat," tutur Ferry.

Jangkar raksasa yang terkubur itu memperkuat nilai arkeologis dan kesejarahan benda itu. Jika dihubungkan dengan pelayaran Cheng Ho, cukup rasional, sebab antara masa persinggahan Cheng Go terpaut hampir dua abad dari pembangunan vihara dan penemuan jangkar raksasa itu.

"Kalau pantura itu ada proses pendangkalan ketika pantai meluas ke wilayah perairan. Bisa jadi, jangkar itu dulunya di laut tapi karena sedimentasi akhirnya terkubur. Dua abad itu cukup masuk akal bila sedimentasi mengubur jangkar itu di kedalaman dua meter di bawah tanah," tuturnya.

Merasa jangkar itu sebagai benda bersejarah, sampai sekarang pengelola Vihara Dewi Welas Asih terus memelihara dan mempertahankan keasliannya. Bahkan, di depan jangkar, dijadikan rupang (tempat peribadatan). "Kita siapkan rupang. Di sini ada 18 rupang, salah satunya yang di depan jangkar raksasa itu," tutur Ferry.

Dengan cara dijadikan tempat peribadatan, keberadaan jangkar tetap terpelihara. Pengelola memanfaatkan sisa minyak goreng yang dijadikan sarana persembahyangan untuk dilumurkan ke jangkar raksasa tersebut untuk mencegah korosi (karat) pada besi itu.

Ferry berharap ada penelitian akademis untuk mengungkap tabir misteri masa lalu di balik keberadaan jangkar raksasa tersebut. Sejauh ini, banyak orang datang mengaku sebagai peneliti, tetapi fokusnya pada keberadaan vihara, sedangkan jangkar raksasanya hanya dilihat sambil lalu.

Dia berharap, jika ada penelitian, akan terbuka kabut sejarah yang selama ini kabur, bahkan gelap dan hanya sebagai misteri. Siapa tahu, di balik jangkar raksasa itu terdapat konstruksi sejarah Cirebon dari masa lalu yang bisa dijadikan cermin untuk perkembangan kekinian dan masa depan.

Bagaimanapun, jangkar raksasa itu menegaskan ada sejarah maritim yang panjang dari keberadaan Cirebon hari ini. Siapa tahu, jika ada penelitian, Cirebon era masa lampau itu bisa terungkap lebih terbuka dan menambah kekayaan pengetahuan sejarah. Sebagaimana Vihara Dewi Welas Asih selalu menerapkan kata-kata bijak Tio Kak Sie atau Chao Jue Sie yang secara sederhana diartikan bahwa perlunya setiap saat kita menambah nilai-nilai pencerahan. (Agung Nugroho/"PR") ***



Sumber: Pikiran Rakyat, 6 Januari 2020



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Makam Imam Al-Bukhori

Menarik membaca tulisan Arbain Rambey berjudul "Uzbekistan di Pusaran Sejarah" ( Kompas , 20 Oktober 2019).  Berdasarkan kisah dari pemandu wisata di Tashkent, diceritakan peran Presiden Soekarno memperkenalkan Makam Imam Al-Bukhori di Samarkand yang nyaris terlupakan dalam sejarah. Kisah Soekarno dimulai ketika dalam kunjungan ke Moskwa minta diantar ke makam Imam Al-Bukhori. Menurut buku The Uncensored of Bung Karno, Misteri Kehidupan Sang Presiden  tulisan Abraham Panumbangan (2016, halaman 190-193), "Pada tahun 1961 pemimpin tertinggi partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khruschev mengundang Bung Karno ke Moskwa. Sebenarnya Kruschev ingin memperlihatkan pada Amerika bahwa Indonesia adalah negara di belakang Uni Soviet".  Karena sudah lama ingin berziarah ke makam Imam Al-Bukhori, Bung Karno mensyaratkan itu sebelum berangkat ke Soviet. Pontang-pantinglah pasukan elite Kruschev mencari makam Imam Al-Bukhori yang lah...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...