Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2005

Membangkitkan Kembali Semangat Generasi '28

OLEH: MUHAMMADUN AS SUMPAH PEMUDA yang dikobarkan 77 tahun silam, 28 Oktober 1928, merupakan titik awal kekuatan bangsa menuju kemerdekaannya. Tiga elemen penting yakni Satu Bangsa, Satu Tanah Air, dan Satu Bahasa yang diikrarkan telah merajut dan menyatukan kekuatan bangsa dalam satu gerakan dan satu tujuan. Dengan antusias, semua elemen bangsa ketika itu bangkit melawan kekuatan imperialisme dan kolonialisme, sehingga akhirnya mereka menemukan momentum sangat berharga untuk memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945. Dalam titik ini, Sumpah Pemuda merupakan entry point  kebangkitan bangsa dalam menemukan jati diri yang sesungguhnya. Sebuah bangsa yang memiliki harkat dan martabat yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bangsa yang selalu mengedepankan akhlak luhur untuk membentuk peradabannya, bangsa yang selalu ramah dan suka menolong sesama. Dan bangsa yang selalu menjaga dan melestarikan budaya ketimuran, yang diakui dunia sebagai budaya moralis. Dalam konteks

Zaman Jepang dan Murid Sekolah

Oleh H. DJOKO WIDODO Perang Dunia II pecah pada tahun 1939. Hampir seluruh negara di dunia ini terlibat di dalamnya. Tak terkecuali negara-negara jajahan seperti di Hindia Belanda ini. Tak ayal lagi, Hindia Belanda menjadi sasaran empuk penyerangan tentara Jepang. D ALAM   beberapa bulan saja tentara Jepang sudah menguasai seluruh daerah Hindia Belanda. Singkat kata, pemerintah Hindia Belanda kalah dan menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Itu terjadi pada bulan Maret 1942. Sejak pemerintahan Hindia Belanda ambruk dan bubar maka sejak saat itu dimulailah babak baru dalam hal jajah-menjajah. Kalau sebelumnya negeri kita ini sudah dijajah dan diisap oleh Belanda selama kurang lebih 350 tahun, maka sejak tahun 1942 itu Indonesia beralih dijajah dan dicengkeram oleh pemerintah militer Jepang. Begitu Jepang masuk, segala sesuatunya berubah dengan cepat sekali. Saat peralihan ini merupakan suatu proses perubahan yang sangat drastis dan tragis. Karena perubahannya bukan menuju ke

Mengenang Armada Laksamana Cheng Ho

Oleh ALEX ACHLISH P ADA bulan Juli 600 tahun yang silam, armada raksasa Dinasti Ming meninggalkan Ibu Kota Nanjing, untuk melakukan pelayaran pertama dari tujuh pelayaran besar yang mencapai kawasan terjauh termasuk Jawa dan Sumatra dan beberapa tempat persinggahan. Pelayaran besar-besaran ini dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho. Dia bukanlah seorang Cina melainkan Muslim dari Asia Tengah yang lahir dengan nama Ma He. Peristiwa ini tentu saja merupakan peristiwa besar dan oleh sebab itu akan dirayakan secara besar-besaran pula di berbagai negara. Di Indonesia, perayaan dipusatkan di Kota Semarang pada 2-8 Agustus 2005 dengan berbagai acara yang denyutnya sudah mulai terasa mulai awal bulan Juli. Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip dalam keterangannya seusai meresmikan ribuan lampion di Kelenteng Tay Kak Sie Semarang Minggu lalu (25/7) mengharapkan warga Semarang bisa menjadi tuan rumah yang baik pada acara yang menyedot wisatawan mancanegara. Karena peringatan 600 tahun pendaratan Laksaman

Membayangkan Lautan Api di Bandung

Oleh BAMBANG SUBARNAS MEMBAYANGKAN peristiwa Bandung Lautan Api (BLA) untuk sampai pada penghayatan heroik bagi para generasi muda, tentulah bukan hal yang mudah. Sebab, di samping keadaan zaman dan lingkungan sekitar yang sudah berubah, media untuk sampai pada penghayatan seperti itu tidak ada di kota ini. Para pelaku sejarahnya satu-persatu pergi, benda-benda saksi sejarah satu-persatu melapuk dan menghilang. Dan pengalaman heroik itu secara perlahan berubah menjadi fiksi-fiksi sejarah yang terdengar lamat-lamat. Bukan karena lupa (berkaitan dengan memori), tetapi akhirnya tidak diketahui. Tidak ada kata yang dapat menggambarkan, tidak ada wujud atau bentuk yang dapat merangsang imajinasi, tidak ada suara yang dapat membangun ingatan, apalagi suasana yang memungkinkan seseorang dapat menghayati semangat tersebut. Monumen Bandung Lautan Api yang berdiri kokoh di kawasan Tegallega masih menyisakan citra yang kusam, remang, dan tidak terurus. Sementara Monumen Perjuangan Rakyat Ja

Revitalisasi Peristiwa BLA

Oleh REIZA D. DIENAPUTRA PERNYATAAN kemerdekaan yang dikumandangkan Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak lantas menghentikan arogansi kekuasaan asing di Indonesia. Jepang yang baru saja bertekuk lutut di tangan Sekutu tampak memperlihatkan sikap yang ragu-ragu, untuk tidak mengatakan cenderung merapat kepada keinginan Sekutu. Akibatnya, timbul berbagai reaksi ketidakpuasan rakyat atas sikap Jepang tersebut. Konflik bersenjata dengan Jepang pun pada akhirnya tanpa dapat dihindari pecah di mana-mana. Di sisi lain, kemenangan Sekutu atas Jepang semakin mengusik kembali mental-mental penindas yang ada dalam diri orang-orang Belanda. Hal ini tampak dari berbagai upaya yang dilakukan Belanda untuk bisa kembali berkuasa di Indonesia. Keinginan kuat Belanda untuk bisa kembali ke Indonesia seakan tinggal menunggu waktu saja manakala Inggris sebagai bagian utama dari kekuatan Sekutu sebelumnya telah terikat oleh Belanda lewat kesepakatan yang dibuat pada tanggal 24 Agustus
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...