Langsung ke konten utama

Membangkitkan Kembali Semangat Generasi '28

OLEH: MUHAMMADUN AS

SUMPAH PEMUDA yang dikobarkan 77 tahun silam, 28 Oktober 1928, merupakan titik awal kekuatan bangsa menuju kemerdekaannya. Tiga elemen penting yakni Satu Bangsa, Satu Tanah Air, dan Satu Bahasa yang diikrarkan telah merajut dan menyatukan kekuatan bangsa dalam satu gerakan dan satu tujuan. Dengan antusias, semua elemen bangsa ketika itu bangkit melawan kekuatan imperialisme dan kolonialisme, sehingga akhirnya mereka menemukan momentum sangat berharga untuk memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945. Dalam titik ini, Sumpah Pemuda merupakan entry point kebangkitan bangsa dalam menemukan jati diri yang sesungguhnya. Sebuah bangsa yang memiliki harkat dan martabat yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bangsa yang selalu mengedepankan akhlak luhur untuk membentuk peradabannya, bangsa yang selalu ramah dan suka menolong sesama. Dan bangsa yang selalu menjaga dan melestarikan budaya ketimuran, yang diakui dunia sebagai budaya moralis.

Dalam konteks kegenerasian, Sumpah Pemuda merupakan kekuatan luar biasa yang mampu mengalahkan ego-ego ke'aku'an, dan melahirkan komitmen kebangsaan yang sangat tinggi. Komitmen yang dibangun ketika itu, sungguh telah mampu menjebol tatanan pemikiran kolonial, sehingga jiwa nasionalisme yang dibelenggu, serentak bangkit dan memberontak untuk mewujudkan tatanan baru yang lebih mengedepankan nilai keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Dengan jiwa kepahlawanan dan spirit kemerdekaan, generasi 1928 tampil dengan gagasan segar dan menyegarkan bangsa demi kelangsungan masa depan anak bangsa. Untuk itu, kita patut mengakui, bahwa Sumpah Pemuda telah mampu menyatukan umat yang tersebar luas dan tercerai-berai akibat politik devide et impera yang dicanangkan penjajah Belanda. Ia menjadi roh pemersatu bangsa yang mempersatukan bangsa dan melepaskan rakyat dari pendegradasian manusia sehingga mereka memiliki semangat dan tekad pantang mundur untuk membela bangsa dan tanah airnya. Ia menjadi tonggak bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh generasi bangsa. 

Kini, generasi '28 tinggal kenangan saja. Mereka telah melewati fase perjuangannya dengan gigih dan dedikasi yang tinggi. Pertanyaannya sekarang, mampukah bangsa ini mewujudkan generasi seperti generasi '28? Pertanyaan ini merupakan bahan renungan kita dalam mempertanyakan eksistensi pemuda selama ini. Hanya tangis dan kesedihan yang mendalam bila kita melihat eksistensi pemuda sekarang ini. Di mana-mana pemuda hanya menjadi 'obyek' saja, tanpa mampu memberikan kontribusi positif kebangsaan. 

Bergulirnya reformasi dengan tumbangnya rezim Soeharto, yang banyak dilakukan oleh pemuda [khususnya para mahasiswa] ternyata tidak mampu membangun kembali tatanan kebangsaan sesuai spirit founding fathers kita. Mereka terjebak dengan permainan politik elite tertentu, sehingga pasca turunnya Soeharto mereka tidak mempunyai nyali apa-apa, hanya sebagai pendengar belaka, dan bisa marah-marah saja dengan melakukan demonstrasi. Mereka selalu dikibuli tanpa diberikan kesempatan, atau bahkan tidak mampu menemukan momentum yang tepat untuk 'mencuri' bangsa ini dari elite-elite borjuis yang selalu menindas rakyat. Dalam pandangan Ruzman Gazali [2003], pemuda terjebak dalam kemandulan, di mana perannya semakin terdegradasi dan banyak ditumpangi ide pragmatisme. Di sini, eksistensi peran dan fungsi pemuda terlihat sangat rapuh untuk berhadapan dengan sistem politik negara yang rapuh. Mereka terperangkap untuk mengusung isu-isu yang tidak populer dan kemudian cenderung memperkuat sistem korup yang berlangsung. Idealisme mereka luntur dalam badai realisme dan pragmatisme. Organisasi pemuda tidak lebih sebagai jembatan politik untuk masuk dalam lingkaran sistem kekuatan kaum elite. 

Generasi sekarang hanya terjebak dalam manifestasi konsep kebangsaan yang salah niat berangkatnya [ekonomi-politik] dan sistem kesadaran yang dibakukan [ontologis-epistemologis] yang melahirkan borjuisme yang tidak ramah pada kepentingan suara yang selama ini disembunyikan [the other side of silence]. Sehingga kita juga terjebak dalam overconfidence dalam krisis kebangsaan yang dibangun oleh sekelompok elite pemegang kekuasaan [TK Fasya: 2003]. Overconfidence dalam konteks ini telah membawa kita pada hilangnya kritisisme dan selalu mandul dalam melakukan gerakan perlawanan dari berbagai penindasan yang berlangsung selama ini. Menurut Daniel Dhakidae [2001] kaum muda sebagai agen perubahan selalu dianggap sebagai pemberontak dan pembangkang yang harus dimusnahkan bila melakukan kritik pedas kepada kekuasaan. Akhirnya mereka tidak mampu mengantarkan bangsa ini sebagai bangsa yang kuat dan maju yang bahkan ditakuti dunia, seperti dilakukan generasi '28 ketika itu.

Momentum kebangkitan

Momentum Sumpah Pemuda sekarang ini harus menjadi renungan bagi seluruh elemen bangsa, khususnya para pemuda yang menghendaki perubahan. Renungan ini tidak hanya dijadikan sebagai ibroh [refleksi] saja, namun harus mampu menjadi pengilhaman bagi pergerakan pemuda, apalagi sekarang kita mempunyai pemimpin baru pilihan rakyat. 

Dengan kepemimpinan baru sekarang ini, momentum Sumpah Pemuda harus mampu menjelma generasi '28 yang selalu kritis melihat berbagai fenomena sosial kemasyarakatan yang melingkupinya. Untuk itu, ada beberapa agenda besar yang harus dilakukan guna melanjutkan cita-cita founding fathers kita.

Pertama, melakukan pemahaman secara komprehensif terhadap berbagai wacana sosial-politik, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan sosial-kemasyarakatan dalam menterjemahkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat. Komprehensivitas ini akan menjadikan pribadi pemuda yang kukuh, gigih, dan berani memperjuangkan kebenaran sesuai dengan pemahaman yang ada. Seperti tercermin dengan ikrar yang dilakukan pemuda tahun 1928 dulu yang dengan sangat berani dan percaya akan kekuatan mereka menghadapi berbagai tekanan politik kolonial ketika itu.

Dengan pemahaman yang komprehensif mereka tampil membawa nasionalisme baru untuk mengantarkan masyarakat bangsa sebagai masyarakat yang independen dan bermartabat.

Kedua, membangun kembali budaya kritisisme yang tinggi. Ketika pemahaman teori sosial telah komprehensif, maka jiwa kritis harus menjadi kekuatan tersendiri bagi para pemuda. Dengan jiwa kritis mereka akan mampu menjadi agen perubahan dan kontrol sosial kemasyarakatan yang akan selalu melakukan pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas.

Mereka akan selalu ditakuti para rezim otoriter yang selalu melanggengkan harmonisme dan kemapanan, karena gerakan mereka akan membahayakan eksistensi kekuasaan. Untuk itu, budaya kritis akan selalu ditunggu-tunggu masyarakat kecil dalam menemukan kembali jati diri bangsa yang selalu dikebiri dan dijadikan komoditas para kaum elite.

Ketiga, mengobarkan semangat nasionalisme kebangsaan. Di saat bangsa sedang dalam disintegrasi sekarang ini, di mana-mana terjadi feodalisme kedaerahan.

Sebagai contoh Aceh ingin merdeka, Papua ingin bebas, Maluku ingin berdiri sendiri, maka ancaman masa depan bangsa semakin terlihat. Dalam konteks ini, peran pemuda dalam memulihkan kembali kepercayaan masyarakat bangsa sebagai unity of live [kesatuan hidup] berbangsa menemukan momentumnya sebagaimana Sumpah Pemuda '28 dulu.

Peran krusial pemuda tersebut harus segera direalisasikan agar momentum Sumpah Pemuda sekarang ini mampu melahirkan kembali generasi yang kuat, teguh, dan berani dalam memperjuangkan masa depan bangsa, seperti halnya generasi '28. ***

Muhammadun AS, adalah warga muda bangsa, peneliti pada Pusat Agama dan Kebudayaan [Pusaka] Yogyakarta.



Sumber: Bernas Jogja, 28 Oktober 2005



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...