Judul : Westerling, Kudeta yang Gagal
Pengarang : Petrik Matanasi
Penerbit : Media Presindo, Jogjakarta
Cetakan : Juli 2007
Tebal : 126 halaman
SEHARI sebelum kudeta, pada pagi 22 Januari 1950, Westerling bercakap-cakap sambil minum-minum di Hotel Preanger, Bandung, dengan kenalannya. Malam hari, ia bersama istrinya makan malam di hotel itu juga. Hari itu, Parijs van Java tenang, tak seorang pun menduga bakal terjadi prahara.
PADA pukul 21.00, Westerling mengendarai mobil menuju Padalarang. Di sana, ia menunggu kiriman senjata yang akan dibagikan kepada anak buahnya. Sesuai rencana, pagi hari 23 Januari 1950, ia akan menyerang dua kota penting di Jawa, Bandung dan Jakarta. Strategi ini disesuaikan dengan geopolitik Bandung. Bandung adalah penyangga Jakarta, sekaligus Ibu Kota Negara Pasundan yang dipimpin Kartalegawa, sedangkan Jakarta adalah jantung kekuasaan Indonesia.
Subuh 23 Januari 1950, sebanyak 800 Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)--300 orang di antaranya merupakan tentara Belanda--bergerak menuju Kota Bandung. Mereka mengendarai truk, sepeda motor, jeep, dan ada yang jalan kaki. Sepanjang jalan, mereka melucuti polisi negara di Pos Cimindi, Cibeureum, dan Pabrik Mekaf. Sementara itu, dua peleton APRA dengan mengendarai truk menuju Jakarta.
Hari itu juga, jalan Bandung-Cimahi diblokir. Pos-pos polisi di sepanjang jalan menuju Bandung dilumpuhkan. Ketika sampai Kota Bandung, masyarakat masih tak acuh pada tentara Belanda. Pemandangan itu biasa mereka saksikan, tetapi tiba-tiba mereka terkejut. Tentara Belanda menembak membabi buta di Jalan Braga. Penduduk ketakutan. Jalanan, toko-toko, dan rumah-rumah di Bandung menjadi sepi.
Di depan apotek Ratkamp di Jalan Braga, sebuah sedan ditahan dan penumpangnya disuruh turun. Penumpang tersebut anggota TNI. Dia disuruh berdiri dan langsung ditembak, sedangkan penduduk yang tertangkap dinaikkan ke truk. Di depan Hotel Preanger, 3 anggota TNI ditembak. Di Jalan Merdeka, 10 anggota TNI tewas. Di perempatan Jalan Suniaraja-Braga, 7 anggota TNI mengalami nasib serupa. Di Kantor Staf Kwartier Divisi Siliwangi Oude Hospitelweg, 15 anggota TNI diserang tiba-tiba, beberapa tewas, sisanya lari. Akibat serangan di Kota Bandung itu, 60-79 anggota TNI dan 6 sipil tewas (hlm. 81).
Kudeta tersebut akhirnya gagal. Senjata yang ditunggu Westerling tidak datang. Tentara APRA di Jakarta yang siap menyerbu tak memegang senjata. Sedangkan Jenderal Spoor, pemimpin tertinggi tentara Belanda di Indonesia, yang sebelumnya menyetujui kudeta tiba-tiba mengurungkan niatnya. Demikian juga dengan Sultan Hamid II yang sedianya membantu ternyata juga urung. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan masyarakat Jawa Barat, yang berafiliasi padanya pun tak banyak memberi dukungan. Hasilnya kudeta yang disiapkan Westerling berantakan.
Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta berang. Hatta menuding Belanda melanggar pengakuan kedaulatan yang ditandatangani 27 Desember 1949. Untuk itu, Hatta segera memerintahkan menangkap dan menumpas gerakan Westerling. Demikian pula dengan Menteri Pertahanan RIS, Sultan Hamengkubuwono IX, yang menjadi target pembunuhan Westerling segera menginstruksikan untuk melumpuhkan APRA. Mengetahui kudetanya gagal, Westerling lari ke Singapura. Namun, sesampainya di negeri itu, ia ditangkap kepolisian Singapura.
Pemerintahan RIS meminta Westerling diekstradisi ke Indonesia dan akan diadili sesuai peradilan Indonesia, tetapi pemerintah Belanda menolak. Westerling, yang menewaskan kurang lebih 40 ribu nyawa penduduk Sulawesi Selatan dan otak kudeta itu, oleh pengadilan Belanda divonis dua tahun penjara. Ia juga bebas dari dakwaan kejahatan perang oleh Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, sampai ia mati pada 26 November 1987.
Jejak kelam Westerling ini sepantasnya dibaca masyarakat Jawa Barat dan Indonesia. Dengan membaca buku ini pula, pembaca akan terangsang untuk mengetahui lebih lanjut prahara di Parijs van Java. Apalagi Petrik Matanasi dalam karyanya ini sama sekali beum menyingkap oral history dari para pelaku dan saksi yang masih hidup. Sumber dari oral history ini penting, agar rekonstruksi sejarah prahara di Paris van Java pada 23 Januari 1950 semakin lengkap. (Agung Dwi Hartanto, Mahasiswa Sejarah UN Yogyakarta) ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 9 Agustus 2007

Komentar
Posting Komentar