Langsung ke konten utama

Syekh Siti Jenar: Satu Cermin Banyak Gambar

APAKAH Syekh Siti Jenar itu seorang mukmin? Kalau jawabannya "ya", kenapa ia akhirnya "diadili" oleh dewan wali (Wali Songo) atas tuduhan menyebarkan agama sesat? Kalau jawabannya "tidak", kenapa ia disejajarkan kedudukannya dengan Wali Songo dan disebut syekh atau wali?

Berbagai pertanyaan tersebut selama ini menghinggapi benak masyarakat. Namun, jika Anda mengajukan pertanyaan tersebut pada buku Syekh Siti Jenar (Pergumulan Islam Jawa), semua akan terjawab tuntas.

Bagi pengarang buku ini, Syekh Siti Jenar adalah sosok penganut Islam yang "aneh". Lewat ajarannya wihdatul wujud (manunggaling kawula Gusti), ajarannya dianggap menyesatkan banyak orang. Karena Tuhan diyakini menyatu dalam diri Syekh Siti Jenar yang juga dipanggil Lemah Abang tersebut. Tuhan adalah dia, dan dia adalah Tuhan.

Ditinjau dari segi syari'ah, hal demikian sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bagaimana mungkin Tuhan yang berbeda ruang dan waktu disamakan dengan manusia? Namun statemen tersebut buru-buru harus direvisi manakala dikaitkan dengan ajaran lain, misalnya tasawuf.

Sejak dahulu hingga kini, pergulatan "memaknai" adanya Yang Maha Gaib" memang berbeda-beda. Antara kelompok satu dengan kelompok lain berbeda dalam cara, pemahaman, dan penghayatannya.

Orang yang telah mencapai ma'rifat tentu berlainan dengan orang yang baru mencapai taraf syari'at dalam memahami Tuhan. Masyarakat yang berada dalam arus umum syari'ah akan menganggap aneh, janggal, tak masuk akal, bila memandang mereka yang banyak bergulat dalam pemikiran ma'rifat.

Dan keanehan itu semua melekat pada diri Syekh Siti Jenar. Dalam pergulatan mencari permaknaan akan Tuhan, wali yang nyleneh tersebut memakai kaca mata tasawuf (taraf ma'rifat). Sedang mainstream yang berkembang pada waktu itu adalah syari'at.

Tentunya, kalau ajaran seperti ini diperuntukkan pada masyarakat awam, akan menimbulkan kekacauan dan ketumpangtindihan ajaran. Ini misalnya, ia menganggap bahwa hidup ini ibarat mati. Maka daripada mati di dunia, mendingan mati "beneran". Maka pada waktu itu (karena dampak ajaran Siti Jenar) banyak orang yang berusaha bunuh diri (ingin bertemu dengan Tuhan, sebab terpengaruh ajaran wihdatul wujud tadi).

Tindakan ini jelas mengundang perdebatan sengit. Wali Songo sebenarnya bisa memahami ajaran Syekh Siti Jenar. Namun, apakah masyarakat bisa memahami dan tidak salah arah? Oleh karena itu, ada dua pilihan: membiarkan ajaran tersebut yang berakibat mudharat lebih besar, atau "membunuh" ajaran itu dengan risiko sekecil mungkin. Akhirnya Wali Songo memilih jalan yang kedua.

Demikianlah singkatnya isi buku tersebut.

***

PENULIS buku ini sangat jeli membidik permasalahan yang dikaji. Lewat pengalamannya menulis buku Bisnis Sufi (1998), Mulkhan meyakinkan bahwa Syekh Siti Jenar multi-interpretasi, bak "satu cermin banyak wajah". Penulis tidak menggurui pembaca, tetapi cukup menunjukkan benang merah dalam kasus Syekh Siti Jenar.

Pertama, pemberontakan pada penguasa (pusat) oleh kalangan minoritas (pinggiran). Tanpa bisa dipungkiri, saat itu kedudukan Raden Patah Demak sudah sedemikian kuatnya vis a vis pendukung Majapahit yang tersingkir. Raja Demak ini didukung oleh Wali Songo. Di sini ada hegemoni kekuasaan raja yang disahkan oleh para wali. Sebaliknya, para wali menghendaki wilayah penyebaran Islam yang lebih luas, dan ini dipenuhi oleh raja.

Munculnya tindakan "subversif" (meminjam istilah Mohamad Sobary dalam kata pengantarnya) Syekh Siti Jenar dengan jumlah pengikut yang makin besar, sungguh akan mengancam hegemoni dan merusak kemapanan mereka.

Kedua, melawan hegemoni keagamaan Wali Songo (dewan wali). Saat itu, konsep pemahaman keagamaan banyak dibangun atas dasar syari'ah di atas sendi-sendi yang sudah digariskan, paling tidak oleh dewan wali. Menurut Siti Jenar, pemahaman Ketuhanan tidak harus sesuai dengan mainstream. Ia punya cara sendiri yang untuk saat sekarang hampir menyerupai tasawuf.

Ketiga, politik dibungkus keagamaan. Apa yang dilakukan Syekh Siti Jenar sebenarnya sesuai ajaran Islam. Dengan kebenarannya itu, ia berani melawan hegemoni kekuasaan antara lain dengan tak bersedia menghadap Raja Demak, bahkan para wali. Alasannya, manusia sama saja, tidak harus tunduk pada orang lain (hlm. 163).

Untuk mewujudkan keinginannya, ia bekerja sama dengan Ki Ageng Pengging (keturunan Raja Brawijaya Majapahit penganut ajaran Budi dan Karsa Tunggal). Keduanya punya kesepakatan bahwa hakikat kepercayaannya sama walaupun dengan agama berbeda (hlm 97). Ki Ageng Pengging akhirnya menjadi murid Syekh Siti Jenar, maka bertambahlah pengikutnya.

***

SAYANG, buku ini perlu dibaca dengan "agak" serius. Sebab, tidak secara eksplisit buku tersebut mengatakan apakah Syekh SIti Jenar itu penganut sufi atau bukan. Termasuk pula, apakah ia orang mukmin atau kafir.

Akan tetapi, bau harum semerbak seperti bunga yang dirasakan oleh dewan wali serta mengeluarkan cahaya terang benderang bagaikana bulan purnama disertai pelangi yang melingkar memenuhi seluruh ruangan dalam masjid, mengalahkan penerangan lampu (hlm 179), saat jenazah Syekh "yang malang itu" dibaringkan di Masjid Demak, membuktikan bahwa tidak sepantasnya ia dituduh yang "tidak-tidak". Dasar kepercayaannya harus sama tetapi cara boleh berbeda.

Membaca buku ini mungkin akan menambah terang penglihatan terhadap syekh yang semula masih tidak jelas itu. Dan rasanya baru ini yang coba mengungkap secara akademis, lepas dari emosi dan sentimen teka-teki Syekh Siti Jenar.

(Nurudin, staf pengajar FISIP Universitas Muhammadiyah Malang dan Direktur LSM CESPUR)



Syekh Siti Jenar (Pergumulan Islam-Jawa), Abdul Munir Mulkhan (pengantar: Mohamad Sobary), Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta: November 1999, 353 halaman + vi



Sumber: Kompas, 2 Januari 2000



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...