"Ente cari rumah si Ali? Itu dia, shebe (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika yang bertanya kepadanya.
Baodeh (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah, memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui.
Dalam buku Kampung Tua di Jakarta terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka.
Kata-kata ane (saya), ente (kamu), fulus (uang), tafran (miskin), zein (bagus), sawak (benar), dan ratusan kata Arab "prokem" lainnya sudah akrab di telinga ketiga etnis penduduk. Sama akrabnya dengan kata-kata yang berasal dari khasanah bahasa Cina seperti: cepek (seratus rupiah), seceng (seribu rupiah), kamsia (terima kasih), enci, engko, dan sebagainya.
Dibanding keturunan Cina, masyarakat Betawi lebih akrab dengan bahasa Arab prokem. Alasannya, "Enak didengar dan gampang diucapkan."
Di Ibukota, bukan hanya di Krukut dan Pekojan, bahasa Arab prokem akrab dengan masyarakat yang penduduknya banyak keturunan Arab. Seperti di Tanah Abang, Sawah Besar dan Jatinegara khususnya di kawasan yang banyak dihuni keturunan Arab.
Sebagai misal, ungkapan "Ane mafi fulus" (Saya tidak punya uang) adalah ungkapan sehari-hari dalam percakapan di Krukut dan Pekojan. Tidak hanya di kalangan masyarakat Arab, tapi juga etnis lainnya.
Ungkapan berbau Arab lain yang juga sering terdengar adalah "Harim ente khali" (pacar kamu cantik), "Tu rizal magrum" (laki-laki itu gila), "Ane lagi marid" (saya laki sakit), "Ane dzu nih" (saya lapar nih), atau "Orang itu tadzir (kaya)."
Tapi bukan bahasa saja yang mewarnai pembauran di perkampungan Arab. Beberapa bentuk kesenian dan budaya Betawi tradisional juga sedikit banyak terpengaruh kesenian Arab. Misalnya, sambra, rebana, gambus, kasidah, dan masih banyak lagi.
Dalam acara samar yang diiringi orkes gambus dengan lagu Irama Padang Pasir yang dipentaskan pada acara-acara perkawinan, yang terjun untuk ber-zapin bukan hanya terbatas pada keturunan Arab, tapi juga etnis lainnya.
Tampaknya budayawan Umar Kayam benar ketika ia mengatakan bahwa sebelum Banten muncul sebagai imperium yang jaya, Sunda Kelapa dan Jayakarta sudah lebih dulu merupakan permukiman besar yang dihuni berbagai etnik dan ras, termasuk Arab. Mereka berbaur, bergesekan, berdialog, dan suatu proses pembangunan sosok budaya yang kemudian disebut Budaya Betawi.
[] alwi shahab
Sumber: Republika, Tanpa tanggal
Komentar
Posting Komentar