Di mata rakyat Jepang, nama Paul Warfield Tibbet Jr menyisakan kenangan pedih. Dialah orang yang meluluhlantakkan Kota Hiroshima dalam sekejap pada 6 Agustus 1945 lalu. Yang lebih pedih lagi, Tibbets, seperti juga pemerintah Amerika Serikat, tidak pernah mau meminta maaf atas perbuatannya itu.
Akibat bom atom 'Little Boy' berbobot 9.000 pon (4 ton lebih) yang dijatuhkan dari pesawat pengebom B-29 bernama Enola Gay, 140 ribu warga Hiroshima harus meregang nyawa seketika dan 80 ribu lainnya menyusul kemudian dengan penderitaan luar biasa. Sebuah kejadian yang menjadi catatan tersendiri dalam sejarah perang yang pernah ada di muka bumi.
Hingga kini seluruh rakyat Jepang masih menanti kata 'maaf' dari pemerintah AS atas perbuatan mereka 62 tahun silam itu. Paling tidak, Tibbets secara pribadi mau menyampaikan penyesalannya.
"Tapi ia tidak pernah meminta maaf. Seperti juga pemerintah AS, ia justru beralasan bom itu telah menyelamatkan jutaan orang Amerika dan Jepang karena setelah kejadian itu perang langsung berakhir," tutur Nori Tohei, 79, yang berusia 17 tahun tiga hari ketika bom tersebut dijatuhkan.
"Tapi saya berharap ia sempat datang ke Hiroshima dan menyaksikan langsung hasil perbuatannya," lanjut Tohei yang memimpin Konfederasi Organisasi Penderita Bom A dan H Jepang dan kini tinggal di Tokyo. Tohei juga maklum Tibbets hanyalah seorang prajurit yang harus menuruti perintah.
Namun, ia mengharap, paling tidak, sang pilot mengakui menjatuhkan bom nuklir itu merupakan kekeliruan dan meminta maaf atas hilangnya nyawa ratusan ribu orang dan ribuan lainnya yang menjadi cacat.
Namun, harapan Nohei dan ribuan korban bom nuklir Hiroshima lainnya yang masih hidup tersebut harus dikubur dalam-dalam. Pada Kamis (1/11) malam lalu, Tibbets mengembuskan napasnya yang terakhir di rumahnya di Kota Columbus, Ohio, karena serangan jantung.
Pemerintah AS menggelar upacara resmi untuk melepas kepergiannya. Bagi AS, kepergian Tibbets berarti kehilangan salah satu putra terbaik mereka.
Berdasarkan catatan karier militernya, Tibbets bukan hanya seorang pilot. Ia juga instrumentalis yang mampu merancang ulang dan menguji pesawat yang akan digunakan membawa bom raksasa tersebut dan mengorganisasi serta melatih pilot yang akan membawanya.
Mengenai sikapnya yang kukuh tidak mau meminta maaf, Tibbets mengungkapkan alasannya kepada surat kabar The Columbus Dispatch pada 2003. "Itulah yang dibutuhkan untuk menghentikan perang. Saya melakukannya untuk menghentikan pembunuhan akibat perang," ujarnya.
"Siapa pun yang bersama kami di dalam pesawat itu pasti ketakutan. Kota Hiroshima yang beberapa menit sebelumnya sangat terang tiba-tiba lenyap diselimuti asap dan api," tutur pria kelahiran Illinois, 23 Februari 1915 itu. Setelah Jepang menyerah, Tibbets bertahan di Angkatan Udara AS sampai meraih pangkat brigadir jenderal dan pensiun pada 1966.
Selepas dari militer, pria yang sempat sekolah kedokteran itu menerbangkan pesawat-pesawat swasta di Eropa dan Ohio. (Heryadi Sarodji /I-2)
Sumber: Media Indonesia, 3 November 2007
Akibat bom atom 'Little Boy' berbobot 9.000 pon (4 ton lebih) yang dijatuhkan dari pesawat pengebom B-29 bernama Enola Gay, 140 ribu warga Hiroshima harus meregang nyawa seketika dan 80 ribu lainnya menyusul kemudian dengan penderitaan luar biasa. Sebuah kejadian yang menjadi catatan tersendiri dalam sejarah perang yang pernah ada di muka bumi.
Hingga kini seluruh rakyat Jepang masih menanti kata 'maaf' dari pemerintah AS atas perbuatan mereka 62 tahun silam itu. Paling tidak, Tibbets secara pribadi mau menyampaikan penyesalannya.
"Tapi ia tidak pernah meminta maaf. Seperti juga pemerintah AS, ia justru beralasan bom itu telah menyelamatkan jutaan orang Amerika dan Jepang karena setelah kejadian itu perang langsung berakhir," tutur Nori Tohei, 79, yang berusia 17 tahun tiga hari ketika bom tersebut dijatuhkan.
"Tapi saya berharap ia sempat datang ke Hiroshima dan menyaksikan langsung hasil perbuatannya," lanjut Tohei yang memimpin Konfederasi Organisasi Penderita Bom A dan H Jepang dan kini tinggal di Tokyo. Tohei juga maklum Tibbets hanyalah seorang prajurit yang harus menuruti perintah.
Namun, ia mengharap, paling tidak, sang pilot mengakui menjatuhkan bom nuklir itu merupakan kekeliruan dan meminta maaf atas hilangnya nyawa ratusan ribu orang dan ribuan lainnya yang menjadi cacat.
Namun, harapan Nohei dan ribuan korban bom nuklir Hiroshima lainnya yang masih hidup tersebut harus dikubur dalam-dalam. Pada Kamis (1/11) malam lalu, Tibbets mengembuskan napasnya yang terakhir di rumahnya di Kota Columbus, Ohio, karena serangan jantung.
Pemerintah AS menggelar upacara resmi untuk melepas kepergiannya. Bagi AS, kepergian Tibbets berarti kehilangan salah satu putra terbaik mereka.
Berdasarkan catatan karier militernya, Tibbets bukan hanya seorang pilot. Ia juga instrumentalis yang mampu merancang ulang dan menguji pesawat yang akan digunakan membawa bom raksasa tersebut dan mengorganisasi serta melatih pilot yang akan membawanya.
Mengenai sikapnya yang kukuh tidak mau meminta maaf, Tibbets mengungkapkan alasannya kepada surat kabar The Columbus Dispatch pada 2003. "Itulah yang dibutuhkan untuk menghentikan perang. Saya melakukannya untuk menghentikan pembunuhan akibat perang," ujarnya.
"Siapa pun yang bersama kami di dalam pesawat itu pasti ketakutan. Kota Hiroshima yang beberapa menit sebelumnya sangat terang tiba-tiba lenyap diselimuti asap dan api," tutur pria kelahiran Illinois, 23 Februari 1915 itu. Setelah Jepang menyerah, Tibbets bertahan di Angkatan Udara AS sampai meraih pangkat brigadir jenderal dan pensiun pada 1966.
Selepas dari militer, pria yang sempat sekolah kedokteran itu menerbangkan pesawat-pesawat swasta di Eropa dan Ohio. (Heryadi Sarodji /I-2)
Sumber: Media Indonesia, 3 November 2007
Komentar
Posting Komentar