Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah.
Cornelius Eko Susanto
SEJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia.
"Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia, yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu.
Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang berorientasi ke negeri China, Belanda, dan Indonesia.
Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang berdiri pada 1932, pimpinan Liem Koen Hian, adalah organisasi politik Tionghoa yang aktif menyerukan agar orientasi kelompok pro-Belanda dan China berpindah ke Indonesia.
Liem, menurut Bondan, adalah satu dari sejumlah tokoh Tionghoa yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah badan bentukan Jepang bagi persiapan kemerdekaan Indonesia untuk mencari simpati masyarakat lokal.
"Dalam sejumlah sidang, Liem aktif menyuarakan rasa nasionalisme dan mengemukakan masyarakat Tionghoa di Jawa tidak lagi menganut budaya China," imbuhnya.
Integritas
Bukti lain bahwa masyarakat Tionghoa berperan serta pada masa revolusi disampaikan Didi Kwartanada, sejarawan dari Yayasan Nation Building.
Pada aksi militer Belanda I misalnya, terdapat banyak ditemukan usaha-usaha mobilisasi dana dan tenaga dari golongan Tionghoa di Yogyakarta demi Indonesia. Salah satu organisasi yang memobilisasi dana adalah Chung Hua Tsung Hui.
"Ada juga pengacara Mr Ko Siok Hie yang giat melakukan pembelaan terhadap aktivis prorepublik," terang Didi.
Contoh lain rumah tinggal Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok, Karawang, yang kini masih asli dulunya dipakai sebagai tempat pertemuan Soekarno-Hatta dengan kelompok pemuda untuk menyusun naskah proklamasi.
Sumbangsih Tionghoa dalam bidang militer yang spektakuler adalah upaya yang dilakukan Mayor (AL) Jhon Lie yang menyelundupkan senjata pada kaum republik.
Didi menduga minimnya informasi peran etnik Tionghoa pada buku-buku sejarah lebih disebabkan pada persoalan politik. "Kemungkinan dugaan itu ada. Semacam tekanan pemerintah pada masa itu. Mengutip pendapat Koentjaraningrat, sejarah sebagai kekuatan integratif, mestinya semua golongan bisa masuk di penulisan sejarah," lanjut Didi.
Dia berharap, penulisan sejarah mendatang lebih beragam dan berwarna. Semua golongan bisa masuk, termasuk golongan minoritas. "Sumbangsih kelompok minoritas untuk Indonesia juga harus disuarakan, agar mencerminkan keragaman atau taman sari Indonesia." (H-2)
cornelius@mediaindonesia.com
Sumber: Media Indonesia, 19 Juli 2010
Komentar
Posting Komentar