JAKARTA, KOMPAS -- Beberapa nenek berusia 80 hingga 90 tahun berjabat tangan lalu bertegur sapa dengan Duta Besar Kerajaan Belanda Jonkheer Tjeerd de Swan, Jumat (9/12), di depan kompleks pemakaman para suami mereka di Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang. Suami mereka dibantai militer Belanda tahun 1947. Dalam pidatonya, Jonkheer de Swan secara terbuka di depan ratusan orang warga dan pejabat Indonesia meminta maaf kekejaman tentara Belanda yang tidak bisa dibenarkan dengan dasar apa pun.
Itulah akhir penantian 64 tahun para keluarga tragedi pembantaian 400 warga Rawagede yang mendapat permintaan maaf. Para korban pun mengaku dengan ikhlas memaafkan pihak Belanda. "Tos teu aya ganjalan. Tos teu aya masalah. (Sudah tidak ada yang mengganjal, sudah tidak ada masalah)," kata Ani (90), istri seorang korban pembantaian Rawagede.
Jonkheer de Swan menjelaskan, pihaknya berharap tidak ada kata terlambat untuk permintaan maaf yang disampaikan Kerajaan Belanda secara terbuka kepada rakyat Rawagede. Tepuk tangan spontan menyambut permintaan maaf yang disampaikan dua kali di hadapan publik oleh de Swan.
Bupati Karawang Ade Swara langsung menimpali sambutan de Swan dengan menegaskan tidak ada alasan untuk tidak membuka pintu maaf atas permohonan maaf Belanda kepada warga Rawagede. "Kita juga membuka pintu maaf selebar-selebarnya," kata Ade.
Perasaan haru melanda para keluarga pejuang dan janda serta keluarga korban pembantaian Rawagede saat menabur bunga di pemakaman massal di belakang Monumen Rawagede. Dubes Belanda, Bupati Karawang, pengacara warga Liesbeth Zegveld, dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Jefri Marcel Pondaag berjalan mengelilingi makam demi makam untuk tabur bunga.
"It is relief. Now I am not ashamed anymore. (Lega, sekarang tidak malu lagi)," kata Max van der Werff, salah satu relawan KUKB asal Nijmegen. Seorang relawan lain, Casper Ebeling Koning yang pensiunan dokter, mengenang perjumpaan dengan para janda Rawagede di negerinya beberapa tahun silam. Dia selalu teringat atas ucapan seorang korban, Sa'ih bin Sakam, satu-satunya korban pria yang selamat yang meninggal pada 7 Mei 2011.
Sa'ih saat diwawancara media massa di Belanda mengatakan ingin bertemu dengan para serdadu Belanda yang membunuh warga sekampungnya. "Saya ingin mengatakan kepada mereka bahwa para serdadu itu juga adalah korban dari keadaan kala itu," kata Sa'ih berjiwa besar.
Ucapan Sa'ih itu melecut perasaan publik di Belanda. Akhirnya, Pengadilan Den Haag pun memutuskan bahwa pemerintah Kerajaan Belanda bersalah dan bertanggung jawab atas kekejaman militer mereka semasa Agresi Militer I di Rawagede. Para janda korban Rawagede mendapat santunan 20.000 euro per orang.
Babak akhir dari drama getir Rawagede pun ditutup permintaan maaf oleh Dubes Belanda. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menilai permintaan maaf pemerintah Belanda itu sebagai sebuah perkembangan penting. "Harapan kami agar semua bisa segera diselesaikan dan ahli waris mereka bisa segera merasakan apa yang diputuskan tadi (ganti kerugian)," ujar Marty di sela-sela kegiatan Forum Demokrasi Bali (BDF) IV, 8-9 Desember 2011, di Nusa Dua, Bali.
(ONG/DWA)
Sumber: Kompas, 10 Desember 2011

Komentar
Posting Komentar