Adang S
Mantan Prajurit Yon 330/Kujang I Siliwangi
Pupuhu Caraka Sundanologi
EDDI Soekardi, Komandan Resimen Tentara Keamanan Rakyat Wilayah Sukabumi yang masih bujangan itu tidak mau melihat iring-iringan kendaraan tentara Sekutu yang sering melewati kampung halamannya. Ia yang baru berusia 29 tahun itu pun merasa tersinggung, bahkan merasa dikhianati karena pihak Sekutu yang unggul dalam Perang Dunia II telah melanggar janji. Oleh karena itu, pejuang yang dikenal pemberani itu merencanakan untuk menghadang sekaligus menghancurkan iring-iringan kendaraan yang jumlahnya sudah diketahui; tidak kurang dari 150 unit.
Alasan lain yang membuat sang komandan benar-benar nekat karena iring-iringan kendaraan yang bergerak dari Jakarta menuju Bandung lewat Sukabumi itu telah dimanfaatkan pihak penjajah Belanda. Meskipun di tahun 1945 dulu belum ada istilah "kesempatan dalam kesempitan", kenyataannya memang demikian. Penjajah Belanda yang ingin kembali menguasai Kota Bandung itu membonceng Sekutu agar tidak diketahui para pejuang.
"Tentara Sekutu itu harus diberi pelajaran," kata Eddie Soekardi saat memimpin rapat yang berlangsung di Markas TKR Jalan Benteng Sukabumi. Dalam rapat yang dihadiri para komandan batalyon serta barisan perjuangan seperti Pesindo, Pemuda Proletar, Hizbullah, dan Fisabilillah yang dilaksanakan pada awal bulan Desember 1945 itu telah menghasilkan kata sepakat: penyerangan terhadap tentara Sekutu akan menggunakan taktik hit and run. Menyerang kemudian mundur.
Dengan semangat juang yang senantiasa berkobar di dalam dadanya, selanjutnya Eddie Soekardi (kini menetap di Jalan Golf Barat Arcamanik Bandung dalam usia 98 tahun) mengatakan bahwa serangan yang akan dilancarkan terhadap tentara Sekutu itu pun bertujuan untuk menunjukkan bahwa kita masih mempunyai tentara! Namun, tentu saja harus menggunakan perhitungan yang matang sebab kekuatan musuh jauh lebih banyak, peralatan persenjataannya pun jauh lebih modern.
Dalam rapat yang juga dihadiri Hasan Sadikin yang bertindak sebagai dokter resimen itu, diputuskan bahwa penghadangan dan penyerangan terhadap iring-iringan kendaraan tentara Sekutu dijadwalkan tanggal 9 Desember 1945, lokasinya ditentukan di Bojongkokosan, sesuai dengan hasil survei.
"Herdislokasi"
Pada H-3, Eddie Soekardi yang pada zaman penjajahan Jepang sempat memperoleh pendidikan militer saat ia menjadi Pembela Tanah Air itu telah menempatkan anak buahnya sesuai dengan herdislokasi. Batalyon I di bawah pimpinan Yahya Bahran ditempatkan di sepanjang jalan raya Ciawi-Cigombong, sampai Cibadak di Sukabumi. Batalyon II di bawah pimpinan Harry Serkardi ditempatkan di Sukabumi untuk mencegah kemungkinan konvoi memasuki kota. Sementara Batalyon III pimpinan Anwar ditugaskan di sepanjang jalan raya Gekbrong-Ciranjang Cianjur, sedangkan Batalyon IV pimpinan Abdurachman ditugaskan di sepanjang jalan raya Sukabumi-Gekbrong.
Keempat batalyon TKR tersebut akan dibantu masyarakat setempat, termasuk para santri dan para pemuka agama Islam, tentu saja hanya menggunakan senjata ala kadarnya termasuk senjata tradisional seperti golok, parang, tombak, dan bambu runcing.
Di kiri kanan jalan raya Cicurug-Parungkuda, terlebih lagi di Bojongkokosan, telah dipasang barikade untuk menghalang-halangi iring-iringan kendaraan. Di sana juga telah dipasang berbagai jenis alat peledak seperti granat tangan jenis nanas serta bom batok. Tidak hanya itu, di sana pun banyak terdapat pohon-pohon tumbang yang dipasang dalam posisi melintang ditambah batu-batu yang tingjungkiring sebesar kerbau.
Sekitar pukul 11.00, saat sinar matahari terasa menyengat, Eddie Soekardi menerima berita lewat pesawat telefon bahwa iring-iringan kendaraan tentara Sekutu yang jumlahnya diperkirakan sebanyak 150 unit sudah memasuki Cicurug. Konvoi tentara Sekutu dikawal satu batalyon pasukan elite dari Divisi 23 India, yakni Batalyon 5/9, tentara bayaran yang memperkuat angkatan perang Inggris.
Kendaraan paling depan tampak tank Sherman, panser wagon, brancarier, dan kendaraan lapis baja lainnya yang dilengkapi senjata otomatis kaliber 12,7 Di belakangnya tampak ratusan truk besar ditutup kain tebal yang membawa amunisi dan logistik.
Saat kendaraan musuh memasuki Bojongkokosan, tepatnya di antara dua tebing ketinggian, tiba-tiba terdengar suara bom batok menggelegar bersamaan dengan terlemparnya pecahan-pecahan besi panas bercampur tanah kehitam-hitaman. Meledaknya bom tersebut membuat tank Sherman terseok-seok sehingga harus berhenti secara mendadak. Akibatnya, terjadilah tabrakan beruntun. Banyak pula kendaraan lapis baja yang hanya bisa mundur maju akibat sulitnya melalui barikade. Banyak pula kendaraan yang terperosok masuk lubang yang sengaja digali para pejuang.
Saat suara mesin berbagai jenis kendaraan terdengar meraung-raung dan tidak bisa melanjutkan perjalanannya, serangan pun dimulai. Para pejuang pun menerjang dan menerkam lawan dengan menunjukkan semangat dan keberaniannya. Semua menggunakan senjatanya masing-masing, membuat tentara Sekutu benar-benar ketakutan, apalagi setelah hampir semua kendaraan musuh dilempari granat tangan.
Pertempuran yang berlangsung tanggal 9 Desember 1945 di Bojongkokosan itu termasuk pertempuran mahadahsyat, ditandai dengan gugurnya 60 tentara pejuang. Sementara dari pihak musuh tercatat 213 orang mati bermandikan darahnya sendiri. Sementara Komandan Batalyon 5/9 Jats Divisi 23 India menderita luka berat.
Palagan Bojongkokosan itu pun ternyata membuat salah seorang tentara Sekutu sebagai pelakunya, yakni Doulton, tertarik untuk menulisnya dalam buku berjudul The Fight Cock. Kita simak petikan tulisan Doulton sebagai berikut: "Konvoi yang dikawal Batalyon 5/9 Jats, pendatang baru di Pulau Jawa dihadang perintang jalan. Di atas ketinggian, tentara Indonesia yang mengenakan pakaian cokelat seperti seragam Jepang menempati lubang persembunyian. Mereka menghadang, menyerang, dan melempari dengan bom molotov cocktail. Bukan perkara mudah untuk menghindari serangan mendadak itu. Beberapa kendaraan hancur, yang lainnya rusak berat, sopirnya mati mengerikan. Pertempuran itu termasuk paling dahsyat selama perang di Pulau Jawa." ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 9 Desember 2013


Komentar
Posting Komentar