Langsung ke konten utama

Palagan Bojongkokosan, 9 Desember 1945

Adang S
Mantan Prajurit Yon 330/Kujang I Siliwangi 
Pupuhu Caraka Sundanologi

EDDI Soekardi, Komandan Resimen Tentara Keamanan Rakyat Wilayah Sukabumi yang masih bujangan itu tidak mau melihat iring-iringan kendaraan tentara Sekutu yang sering melewati kampung halamannya. Ia yang baru berusia 29 tahun itu pun merasa tersinggung, bahkan merasa dikhianati karena pihak Sekutu yang unggul dalam Perang Dunia II telah melanggar janji. Oleh karena itu, pejuang yang dikenal pemberani itu merencanakan untuk menghadang sekaligus menghancurkan iring-iringan kendaraan yang jumlahnya sudah diketahui; tidak kurang dari 150 unit.

Alasan lain yang membuat sang komandan benar-benar nekat karena iring-iringan kendaraan yang bergerak dari Jakarta menuju Bandung lewat Sukabumi itu telah dimanfaatkan pihak penjajah Belanda. Meskipun di tahun 1945 dulu belum ada istilah "kesempatan dalam kesempitan", kenyataannya memang demikian. Penjajah Belanda yang ingin kembali menguasai Kota Bandung itu membonceng Sekutu agar tidak diketahui para pejuang.

"Tentara Sekutu itu harus diberi pelajaran," kata Eddie Soekardi saat memimpin rapat yang berlangsung di Markas TKR Jalan Benteng Sukabumi. Dalam rapat yang dihadiri para komandan batalyon serta barisan perjuangan seperti Pesindo, Pemuda Proletar, Hizbullah, dan Fisabilillah yang dilaksanakan pada awal bulan Desember 1945 itu telah menghasilkan kata sepakat: penyerangan terhadap tentara Sekutu akan menggunakan taktik hit and run. Menyerang kemudian mundur.

Dengan semangat juang yang senantiasa berkobar di dalam dadanya, selanjutnya Eddie Soekardi (kini menetap di Jalan Golf Barat Arcamanik Bandung dalam usia 98 tahun) mengatakan bahwa serangan yang akan dilancarkan terhadap tentara Sekutu itu pun bertujuan untuk menunjukkan bahwa kita masih mempunyai tentara! Namun, tentu saja harus menggunakan perhitungan yang matang sebab kekuatan musuh jauh lebih banyak, peralatan persenjataannya pun jauh lebih modern.

Dalam rapat yang juga dihadiri Hasan Sadikin yang bertindak sebagai dokter resimen itu, diputuskan bahwa penghadangan dan penyerangan terhadap iring-iringan kendaraan tentara Sekutu dijadwalkan tanggal 9 Desember 1945, lokasinya ditentukan di Bojongkokosan, sesuai dengan hasil survei. 

"Herdislokasi"

Pada H-3, Eddie Soekardi yang pada zaman penjajahan Jepang sempat memperoleh pendidikan militer saat ia menjadi Pembela Tanah Air itu telah menempatkan anak buahnya sesuai dengan herdislokasi. Batalyon I di bawah pimpinan Yahya Bahran ditempatkan di sepanjang jalan raya Ciawi-Cigombong, sampai Cibadak di Sukabumi. Batalyon II di bawah pimpinan Harry Serkardi ditempatkan di Sukabumi untuk mencegah kemungkinan konvoi memasuki kota. Sementara Batalyon III pimpinan Anwar ditugaskan di sepanjang jalan raya Gekbrong-Ciranjang Cianjur, sedangkan Batalyon IV pimpinan Abdurachman ditugaskan di sepanjang jalan raya Sukabumi-Gekbrong.

Keempat batalyon TKR tersebut akan dibantu masyarakat setempat, termasuk para santri dan para pemuka agama Islam, tentu saja hanya menggunakan senjata ala kadarnya termasuk senjata tradisional seperti golok, parang, tombak, dan bambu runcing. 

Di kiri kanan jalan raya Cicurug-Parungkuda, terlebih lagi di Bojongkokosan, telah dipasang barikade untuk menghalang-halangi iring-iringan kendaraan. Di sana juga telah dipasang berbagai jenis alat peledak seperti granat tangan jenis nanas serta bom batok. Tidak hanya itu, di sana pun banyak terdapat pohon-pohon tumbang yang dipasang dalam posisi melintang ditambah batu-batu yang tingjungkiring sebesar kerbau. 

Sekitar pukul 11.00, saat sinar matahari terasa menyengat, Eddie Soekardi menerima berita lewat pesawat telefon bahwa iring-iringan kendaraan tentara Sekutu yang jumlahnya diperkirakan sebanyak 150 unit sudah memasuki Cicurug. Konvoi tentara Sekutu dikawal satu batalyon pasukan elite dari Divisi 23 India, yakni Batalyon 5/9, tentara bayaran yang memperkuat angkatan perang Inggris.

Kendaraan paling depan tampak tank Sherman, panser wagon, brancarier, dan kendaraan lapis baja lainnya yang dilengkapi senjata otomatis kaliber 12,7 Di belakangnya tampak ratusan truk besar ditutup kain tebal yang membawa amunisi dan logistik.

Saat kendaraan musuh memasuki Bojongkokosan, tepatnya di antara dua tebing ketinggian, tiba-tiba terdengar suara bom batok menggelegar bersamaan dengan terlemparnya pecahan-pecahan besi panas bercampur tanah kehitam-hitaman. Meledaknya bom tersebut membuat tank Sherman terseok-seok sehingga harus berhenti secara mendadak. Akibatnya, terjadilah tabrakan beruntun. Banyak pula kendaraan lapis baja yang hanya bisa mundur maju akibat sulitnya melalui barikade. Banyak pula kendaraan yang terperosok masuk lubang yang sengaja digali para pejuang.

Saat suara mesin berbagai jenis kendaraan terdengar meraung-raung dan tidak bisa melanjutkan perjalanannya, serangan pun dimulai. Para pejuang pun menerjang dan menerkam lawan dengan menunjukkan semangat dan keberaniannya. Semua menggunakan senjatanya masing-masing, membuat tentara Sekutu benar-benar ketakutan, apalagi setelah hampir semua kendaraan musuh dilempari granat tangan.

Pertempuran yang berlangsung tanggal 9 Desember 1945 di Bojongkokosan itu termasuk pertempuran mahadahsyat, ditandai dengan gugurnya 60 tentara pejuang. Sementara dari pihak musuh tercatat 213 orang mati bermandikan darahnya sendiri. Sementara Komandan Batalyon 5/9 Jats Divisi 23 India menderita luka berat.

Palagan Bojongkokosan itu pun ternyata membuat salah seorang tentara Sekutu sebagai pelakunya, yakni Doulton, tertarik untuk menulisnya dalam buku berjudul The Fight Cock. Kita simak petikan tulisan Doulton sebagai berikut: "Konvoi yang dikawal Batalyon 5/9 Jats, pendatang baru di Pulau Jawa dihadang perintang jalan. Di atas ketinggian, tentara Indonesia yang mengenakan pakaian cokelat seperti seragam Jepang menempati lubang persembunyian. Mereka menghadang, menyerang, dan melempari dengan bom molotov cocktail. Bukan perkara mudah untuk menghindari serangan mendadak itu. Beberapa kendaraan hancur, yang lainnya rusak berat, sopirnya mati mengerikan. Pertempuran itu termasuk paling dahsyat selama perang di Pulau Jawa." ***



Sumber: Pikiran Rakyat, 9 Desember 2013



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelar 'Pahlawan Nasional' untuk Adam Malik

JAKARTA -- Mantan wakil presiden (almarhum) Adam Malik kemarin mendapat anugerah gelar 'Pahlawan Nasional' dari pemerintah. Gelar yang sama juga dianugerahkan kepada almarhum Tjilik Riwut (mantan Gubernur Kalteng tahun 1957-67), Sultan Pasir Kaltim almarhum La Maddukelleng, serta Sultan Siak Riau almarhum Sultan As-syaidis Syarif Kasim Sani. Gelar itu diserahkan Presiden BJ Habibie kepada ahli waris masing-masing, pada upacara peringatan Hari Pahlawan 10 November, di Istana Merdeka kemarin. Gelar untuk Adam Malik diterima oleh istrinya, Ny Nelly Adam Malik. Tampak hadir pada acara itu antara lain Ny Hasri Ainun Habibie, Ketua DPR/MPR Harmoko, Ketua DPA Baramuli, Ketua MA Sarwata, Menko Polkam Feisal Tanjung, serta Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita. Pada acara tersebut, Kepala Negara juga menyerahkan tanda kehormatan 'Bintang Republik Indonesia' kepada sejumlah tokoh masyarakat yang sudah meninggal, khususnya yang berjasa pada masa perjuangan melawan penjajahan Bela...

Sebuah Potensi Wisata Islami di Singaraja

B ali bagi kebanyakan wisatawan domestik maupun mancanegara selalu identik dengan kepariwisataannya seperti Ubud, Sangeh, Pantai Kuta, Danau Batur, dan banyak lagi. Itu semua berkat adanya dukungan masyarakat dan pemerintah untuk menjadikan Bali kawasan terkemuka di bidang pariwisata, tidak hanya regional tapi juga internasional. Tak aneh jika orang asing disuruh menunjuk 'hidung' Indonesia maka yang mereka sebut hampir selalu Bali. Dari sekian potensi wisata yang ada, tampaknya ada juga potensi yang mungkin terabaikan atau perlu diperhatikan. Ketika melakukan kunjungan penelitian beberapa waktu lalu ke sana, penulis menemui beberapa settlement  pemukiman muslim yang konon telah eksis beberapa abad lamanya. Betapa eksisnya masyarakat Muslim itu di tengah-tengah hegemoni masyarakat Hindu Bali terlihat pada data-data arsitektur dan arkeologis berupa bangunan masjid, manuskrip Alquran dan kitab-kitab kuno. Di Singaraja, penulis menemui tokoh Islam setempat bernama Haji Abdullah Ma...

Masjid Indonesia, Perkawinan Budaya yang Kaya Raya

Aku diberitahu tentang sebuah mesjid yang tiang-tiangnya dari pepohonan di hutan  fondasinya batu karang dan pualam pilihan atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan dan kubahnya tembus pandang, berkilauan digosok topan kutub utara dan selatan Aku rindu dan mengembara mencarinya DEMIKIANLAH penggalan bait pertama sajak Mencari Sebuah Mesjid yang ditulis penyair Taufik Ismail. Sajak yang keseluruhannya cukup panjang ini, dalam bentuknya yang besar ikut dipajang di salah satu pojok arena pameran Festival Istiqlal 1991. Setiap hari, banyaklah pengunjung yang ikut membacanya. Bahkan siswa-siswi SMP dan SMA rela duduk beralas karpet di hadapan sajak itu, untuk menyalinnya sampai habis. Tak salah jika dikatakan, "stand" sajak Taufik Ismail ini merupakan salah satu dari sekian banyak stand di arena pameran itu yang mendapatkan perhatian berlimpah dari pengunjung. Bait-bait sajak nan indah dan syahdu ini, seakan ingin memperlengkap koleksi benda-benda Islami yang dipamerkan pada pe...

Dana Rawagede Jadi Rebutan: 171 Ahli Waris Korban Lain Juga Minta Kompensasi

KARAWANG, (PR).- Rencana pemberian kompensasi oleh pemerintah Belanda Rp 243 juta per orang untuk sembilan janda yang menggugat kejahatan perang Rawagede menuai persoalan. Pasalnya, 171 ahli waris lainnya yang juga korban Rawagede menginginkan agar dana kompensasi tersebut dibagi rata. "Meskipun kami di atas kertas tidak ikut menggugat, setidaknya ada perasaan senasib sebagai ahli waris korban pembantaian. Dari sembilan orang yang mendapat dana kompensasi, lima di antaranya setuju dana dibagi rata untuk 171 orang lainnya," kata Wahono, salah seorang ahli waris, Rabu (21/12). Namun, menurut Wahono, empat orang ahli waris lainnya tidak menerima usulan tersebut karena mematuhi anjuran dari Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). "Jika memang seperti itu, justru akan menimbulkan kecemburuan sosial. Meskipun tidak ikut menggugat, kami berhak juga menerima sebagai ahli waris korban pembantaian Rawagede," tuturnya. Kemungkinan lain, menurut Wahono, setengah dari seluruh da...

Nassau Boulevard Saksi Perumusan Naskah Proklamasi

G edung berlantai dua bercat putih itu masih nampak megah, sekalipun dibangun 80 tahun lalu. Nama jalan gedung ini pada masa pendudukan Belanda, Nassau Boulevard No 1, dan diubah menjadi Meijidori pada pendudukan Jepang. Untuk selanjutnya menjadi Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat sekarang ini. Gedung yang diapit oleh Kedutaan Besar Arab Saudi dan Gereja Santa Paulus dibangun dengan arsitektur gaya Eropa, yang hingga kini masih banyak terdapat pada gedung-gedung di sekitar kawasan Menteng. Pemerintah kolonial Belanda membangun gedung ini bersamaan dengan dibukanya 'kota baru' Menteng, pada 1920, saat kota Batavia, sebutan Jakarta waktu itu, meluas ke arah selatan. Gedung yang kini diberi nama Museum Perumusan Naskah Proklamasi memang pantas dilestarikan oleh pemerintah, karena mempunyai nilai sejarah yang amat penting. Di tempat inilah pada malam tanggal 16 Agustus 1945 bertepatan 7 Ramadhan 1364 H hingga menjelang fajar keesokan harinya para pendiri negara ini merumuskan naskah ...

Syekh Siti Jenar: Satu Cermin Banyak Gambar

A PAKAH Syekh Siti Jenar itu seorang mukmin? Kalau jawabannya "ya", kenapa ia akhirnya "diadili" oleh dewan wali (Wali Songo) atas tuduhan menyebarkan agama sesat? Kalau jawabannya "tidak", kenapa ia disejajarkan kedudukannya dengan Wali Songo dan disebut syekh atau wali? Berbagai pertanyaan tersebut selama ini menghinggapi benak masyarakat. Namun, jika Anda mengajukan pertanyaan tersebut pada buku Syekh Siti Jenar (Pergumulan Islam Jawa), semua akan terjawab tuntas. Bagi pengarang buku ini, Syekh Siti Jenar adalah sosok penganut Islam yang "aneh". Lewat ajarannya wihdatul wujud ( manunggaling kawula Gusti ), ajarannya dianggap menyesatkan banyak orang. Karena Tuhan diyakini menyatu dalam diri Syekh Siti Jenar yang juga dipanggil Lemah Abang tersebut. Tuhan adalah dia, dan dia adalah Tuhan. Ditinjau dari segi syari'ah, hal demikian sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bagaimana mungkin Tuhan yang berbeda ruang dan waktu disamakan denga...

9 Maret 1942: Belanda Menyerah di Kalijati

61 tahun silam (9 Maret 1942- red ), di Pangkalan Udara (PU) Kalijati Kab. Subang Jabar telah terjadi peristiwa sangat penting. Suatu peristiwa yang menghiasi perjalanan sejarah bangsa Indonesia, pascakolonialisme Belanda, yaitu takluknya pemerintah dan tentara Belanda kepada Jepang di PU Kalijati (sekarang Lanud Suryadarma- red ). Kejadian bersejarah itu berlangsung setelah terjadi pertempuran mahadahsyat di seputar Subang-Bandung. Lewat pertempuran yang memakan banyak korban dari dua kubu itu, Jepang akhirnya mampu menghancurkan kubu pertahanan Belanda di Ciater Subang dan menguasainya (6 Maret 1942). Kemudian disusul dengan perundingan Jepang-Belanda di rumah dinas seorang Perwira Staf Sekolah Penerbang Hindia Belanda di PU Kalijati Subang. Dua hari kemudian, dalam tempo cukup singkat, secara resmi Belanda mengakui menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang dituangkan dalam naskah penyerahan Hindia Belanda. Di awal perundingan, Jenderal Ter Poorten selaku Panglima Belanda han...