Langsung ke konten utama

Peristiwa Bandung Lautan Api : Tonggak Perjuangan Rakyat Jawa Barat

Oleh E KARMAS

MEMASUKI bulan Maret 1946, Kota Bandung khususnya dan Provinsi Jawa Barat umumnya, terlibat ke dalam kancah pertempuran sengit antara pejuang Indonesia melawan pasukan Inggris/Belanda. Telah banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Perbedaannya sangat jelas, pihak Indonesia berkeyakinan berjuang dengan ridla Allah mempertahankan haknya sesuai dengan hak asasi manusia yang tertuang dalam Atlantic Charter yang menghapuskan penjajahan di muka bumi ini; sedangkan Inggris/Belanda didasari nafsu serakah ingin mencengkeramkan kuku penjajahannya ke haribaan Pertiwi Republik Indonesia.

Tanggal 6 Maret hari Kamis pukul 17.00, satu pasukan serdadu Gurkha melewati batas jalan kereta api di Jl. Garuda, kemudian menduduki rumah-rumah rakyat dengan kekerasan senjata. Mereka membuat gaduh di sana, mengganggu dan memperlakukan kaum wanita sebagai binatang. Perbuatan mereka segera diketahui oleh para pejuang Indonesia yang segera mengadakan penyerangan. Pihak Gurkha bersama beberapa serdadu Belanda menyinarkan lampu sorot sambil menembaki pihak kita. Di samping itu Belanda membakar rumah-rumah penduduk, tapi terus diserang oleh para pemuda kita hingga pukul 24.00. Akhirnya pihak Belanda mundur dengan menderita banyak korban. Pihak Indonesia menderita kerugian atas hancurnya beberapa rumah, namun tidak terdapat korban jiwa. 

Menurut catatan Jenderal A. H. Nasution, pada tanggal 8 Maret 1946 Jenderal Hawthorn, Panglima Tentara Sekutu, berpidato melalui radio mengatakan bahwa ribuan interniran Belanda dan Jepang telah dibunuh oleh para ekstremis Indonesia. Divisinya telah bertindak untuk menyelamatkan interniran itu di Semarang dan Surabaya. Selanjutnya dikatakan bahwa anggota divisinya telah jatuh korban sebanyak 1.200 orang, suatu jumlah yang lebih besar dari korban perang Imphal ketika melawan Jepang dahulu.

Tanggal 10 Maret 1946 satu batalyon tempur Inggris dari Bandung Utara dengan dilindungi beberapa pesawat udara, menyerbu Lembang dan berhasil menerobos ke Ciater mengambil interniran AL Jepang di bawah Laksamana Maeda. Sesudah itu satu batalyon Inggris dari Bogor menyerbu ke Sukabumi untuk mengambil interniran Jepang di Ubrug. Di sepanjang jalan mereka mendapat serangan dari pihak pejuang bersama TRI Resimen III di bawah komando Letkol Edy Sukardi. Setelah selama satu setengah hari mendapat serangan dari pihak kita, pasukan Inggris baru bisa sampai di Sukabumi dengan menderita korban jiwa 26 tamtama tewas, 2 orang perwira ditawan kita, 9 buah truk, dan 2 buah jeep dirampas pihak Indonesia. Dari pihak kita gugur sebanyak 90 orang.

Pertempuran berlanjut di mana pasukan Inggris mundur ke Cianjur, dan setelah mendapat bantuan konvoi dari Bandung dan Bogor, terjadilah pertempuran sepanjang jalan antara Bandung - Bogor.

Pemerintah Pusat RI bersama Markas Besar Inggris memerintahkan penghentian pertempuran di Sukabumi, namun tidak berhasil. Rakyat memperluas serangannya terhadap Inggris di Sukabumi, sehingga Inggris mendatangkan bantuan lagi dari Bandung dan Bogor. Pertempuran makin besar, di mana menimbulkan korban 3 orang perwira Inggris, seorang perwira India dan 37 orang tamtama.

Inggris mengeluarkan ultimatum: jika serangan tidak dihentikan, Inggris akan menggerakkan segala kekuatannya dengan tidak ampun lagi.

Sejak itu terjadi serangan Inggris dari udara terhadap rakyat di sepanjang jalan Cibadak - Sukabumi. Pasukan Inggris menuju Ciaanjur dan mendapat serangan dari pihak Indonesia di Sukaraja, sehingga terpaksa bermalam di selatan kota dan baru keesokan harinya masuk Kota Cianjur. Bantuan Inggris dari Bandung diserang di Cisokan, Citarum, dan Purabaya, demikian juga bantuan yang melalui Puncak dihadang di Cugenang.

Inggris menewaskan sepuluh orang pihak kita di Gedeh, dan di Padalarang menawan beberapa orang termasuk Kepala Staf Resimen 9.

**

TANGGAL 17 Maret 1946 Panglima Besar Inggris mengundang Pemerintah Pusat RI di Jakarta untuk merundingkan pengantaran konvooi antara Bogor - Bandung.

Terjadilah pertempuran setiap hari di Jl. Garuda antara pasukan TRI bersama pelbagai kesatuan, melawan konvoi Inggris maupun batalyon Punjab.

Pasukan Inggris tidak bisa menerobos barikade di persimpangan Jl. Garuda - Jl. Sudirman yang dibuat pihak kita, yang bertahan sekuat-kuatnya.

Tanggal 18 Maret 1946 pasukan Inggris menerobos daerah Andir maksudnya merampok gudang KA dan merampok penduduk. Terjadilah pertempuran sengit yang makin berkobar karena Inggris mengirimkan pesawat pemburu concor merah dan bomber. Sebuah tank musuh hangus dibakar kita di depan Pasar Andir, (baru setelah tahun lima puluhan rongsokan tank tersebut diambil). Pertempuran menjalar hingga man to man, saling berhadapan di antara rumah-rumah dan di kebun singkong. Seorang anggota Hizbullah gugur dan diamankan langsung di tempat kejadian saat itu juga. Seorang serdadu Gurkha terbunuh dan dipenggal kepalanya, kemudian dijinjing oleh Susilowati seorang perwira PT Pajagalan, di sepanjang jalan pulang ke markasnya.

Tanggal 19 Maret 1946 Inggris mengirim pasukan yang dipelopori tiga buah tank raksasa, beberapa jeep dan puluhan truk menyerang dan mencoba mendobrak barikade di persimpangan Jl. Garuda - Jl. Sudirman, namun selalu dihadang pihak Indonesia sekuat tenaga, sebuah tank raksasa berdiri gagah dengan moncong kanon mengarah timur sepanjang Jl. Sudirman, tidak sedikit pun membuat pejuang kita menjadi gentar. Meledaklah sebuah kanon ditembakkan ke arah timur, menghancurkan sebuah toko potret di Jl. Sudirman sebelah barat Gang Durman. Pertempuran berjalan hingga malam hari setelah pihak Inggris mundur kembali. Pihak kita menderita beberapa orang tewas antara lain Nana, beberapa orang luka berat antara lain Mulyono dan luka ringan antara lain Husen Wangsaatmaja.

Tanggal 20 Maret 1946 kira-kira pukul 07.25 sekonyong-konyong tentara Inggris melakukan bombardemen dan penembakan mitraliur oleh pesawat udara B 25 dan pesawat pemburu F 50 terhadap penduduk dan rumah-rumah di sepanjang Jl. Tegallega Selatan, menyebabkan 17 orang penduduk tewas seketika dan 18 orang luka-luka. Segera ditanyakan oleh Walikota Bandung kepada pihak Sekutu yang memberi jawaban bahwa bombardemen itu sebagai "reprisal" (pembalasan) atas tembakan mortir dari pihak Indonesia, katanya telah mengorbankan banyak wanita dan anak-anak (Belanda).

Tanggal 22 Maret 1946 pukul 13.25 Walikota Bandung menerima telepon dari head quarters bahwa Mayor Jenderal R. Didi Kartasasmita, Komandan Komandemen dan Wakil Menteri Keuangan Mr. Safrudin Prawiranegara telah tiba di Bandung untuk menyampaikan amanat Pym. Perdana Menteri St. Syahrir. Amanat tersebut menyampaikan amanat tentara Inggris supaya daerah 11 km sekeliling Kota Bandung dihitung dari tengah-tengah kota harus dikosongkan dari semua orang dan pasukan Indonesia yang bersenjata. Pihak Indonesia dan Pemerintah sipil, TRI dan Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MDPP) mengambil keputusan, bahwa akan membicarakan terlebih dahulu dengan Perdana Menteri St. Syahrir. Pihak Inggris menyetujuinya, Komandan TRI Divisi III Kol. A. H. Nasution turut bersama  dengan kedua utusan tadi untuk memberikan keterangan kepada perdana menteri.

**

TANGGAL 23 Maret 1946 di Bandung diadakan pertemuan yang dihadiri oleh utusan dari Komandemen TRI, Wakil Perdana Menteri, Komandan Divisi III, Walikota, Residen, utusan dari MDPP dan orang-orang terkemuka lainnya. Mereka memperbincangkan ultimatum Inggris agar semua orang dan pasukan bersenjata harus ke luar Kota Bandung sejauh straal 11 km. Jika kehendak Inggris itu tidak dikabulkan, maka Kota Bandung akan digempur habis-habisan. Jika ada orang yang masih bersenjata tinggal di Kota Bandung, akan ditembak mati. Sementara semua orang termenung, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan para pemuda: "Tidaaak! Tidak bisa!"

Pertemuan selesai, beberapa orang utusan terbang ke Jakarta untuk menyampaikan putusan kepada Markas Besar Tentara Inggris bahwa rakyat Bandung menolak kehendak Inggris.

Hari Minggu, 24 Maret 1946, Kol. A. H. Nasution datang kembali di Bandung memberi penerangan kepada Pemerintah Sipil, Polisi, Badan-badan Pekerja, KNI Priangan, dan badan Eksekutif Kota Bandung, telah diputuskan oleh Pemerintah Pusat RI di Jakarta, setelah diadakan bertukar pikiran antara Perdana Menteri St. Syahrir dengan Komandan TRI Divisi III Kol. A. H. Nasution, bahwa buat kepentingan diplomasi yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Pusat RI, semua orang dan pasukan bersenjata selambat-lambatnya tanggal 24 Maret 1946 harus keluar dari kota dan tidak boleh mengadakan pembumihangusan atau lain-lain kerusakan.

Menurut keterangan Pak Didi Kartasasmita selaku Panglima Komandemen Jawa Barat yang berkedudukan di Purwakarta, pada tanggal 22 Maret 1946, beliau dipanggil oleh Perdana Menteri St. Syahrir ke Jakarta untuk pergi ke Bandung berunding dengan Jenderal Hawthorn mengenai ultimatum Inggris tentang pengosongan Kota Bandung dari orang-orang dan pasukan bersenjata. Pak Didi minta Komandan Polisi Tentara Achmad Sukarmadidjaya untuk mendampinginya.

Dengan kapal terbang Inggris--fasilitas diplomatik--mereka terbang dari Kemayoran ke Andir Bandung. Mereka dibawa keliling di Bandung Utara di mana Inggris memperlihatkan kekuatan persenjataannya yang telah siap menyerbu Bandung Selatan.

Mereka tidak diperkenankan pergi ke Bandung Selatan, karena pihak Inggris khawatir kalau Pak Didi bertemu dengan pihak Indonesia akan mengetahui keadaan sebenarnya. Sore harinya Pak Didi dibawa ke markas Jen, Hawthorn, di mana telah ada Pak Syafrudin Prawiranegara yang diutus Perdana Menteri St. Syahrir ke Bandung Selatan untuk membicarakan dengan pemerintah Sipil dan TRI. Ketika Jen. Hawthorn melontarkan ultimatumnya bahwa hari Minggu 24 Maret 1946 pukul 12.00 Bandung Selatan harus ditinggalkan oleh orang-orang bersenjata, Pak Didi menjawab dengan nada ketus: "Do as you like but we will not retreat" lalu meninggalkan ruangan tanpa memberi salam kepada Jenderal Hawthorn.

Sepanjang pengetahuan Pak Achmad Sukarmadidjaya, bahwa Komandan Divisi III Kol. A. H. Nasution menerima dua perintah:

1. Yang pertama dari Perdana Menteri St. Syahrir harus mundur;

2. Yang kedua dari Panglima Komandemen Jawa Barat Mayor Jenderal Didi Kartasasmita dan dari MBT (Markas Besar Tentara) di Yogjakarta, harus mempertahankan Bandung sampai titik darah penghabisan.

Seusai pertemuan dengan Hawthorn tersebut di atas, Nasution turut naik kapal terbang ke Jakarta. Malamnya Nasution diterima oleh PM Syahrir di tempat kediamannya di Jl. Pegangsaan Timur, di mana PM Syahrir menasihatkan untuk melakukan saja sebagaimana dipesankan sebelumnya melalui Menteri Muda Syafrudin Prawiranegara. Kepada Panglima Komandemen Jawa Barat Didi Kartasasmita, Kol. Nasution meminta keputusan, yang dijawab supaya bertindak menurut keadaan, kalau pecah pertempuran supaya beliau diberi tahu dan beliau akan datang.

Kol. Hidayat di Purwakarta yang baru menyelesaikan peristiwa pertempuran di Sukabumi, menelepon kepada Kol. Nasution: "Nas, kamu mulai ikut diplomasi?" Keesokan harinya Kol. Nasution pulang ke Bandung dan sempat mendengar dentuman-dentuman artileri Inggris menghadapi pertempuran di Jakarta Timur jurusan Klender.

Hari Minggu 24 Maret 1946 pukul 10.00 Kol. A. H. Nasution tiba di Bandung. Sesampainya di Pos Komando, oleh Kepala Staf diperlihatkan Kawat dari Yogja tanpa alamat pengirim, yang berbunyi: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan!" Maka mulailah perundingan dengan pemerintah Sipil, Komandan Resimen VIII, MDPP serta pelopor.

**

PIHAK Sipil minta penangguhan waktu, Wali Kota Samsyurizal mengemukakan bahwa pemerintah Sipil mentaati instruksi pemerintah Pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Let. Kol. Sutoko menyarankan keluar bersama rakyat. Let. Kol. Omom Abdurachman Komandan TRI Resimen VIII menyatakan bahwa Tentara resmi taat perintah, tapi sebagai rakyat berjuang terus.

Komandan Polisi Tentara, Mayor Rukana mengusulkan untuk membumihanguskan Kota Bandung dan meledakkan terowongan Sungai Citarum di Rajamandala, supaya kita membuat "Bandung Lautan Api dan Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional.

Pukul 14.00 dengan resmi disiarkan perintah Divisi III:

1. Semua pegawai dan rakyat harus keluar kota sebelum pukul 24.00;

2. Tentara melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan yang ada;

Sesudah matahari terbenam, supaya Bandung Utara diserang dari pihak utara dan dilakukan pula bumi hangus sedapat bisa. Begitu pula dari selatan harus ada penyusupan ke utara.

Seluruh rakyat menyambut dengan penuh semangat. Batalyon-batalyon dari Resimen VIII dan IX, Resimen Pelopor dan MDPP punya sektor masing-masing mulai dari Padalarang sampai Cicadas. Pos Komando Divisi III diperintahkan pindah ke Kulalet sebelah Selatan Dayeuhkolot. Dari sana Kol. Nasution bersama Mayor Rukana sekira pukul 20.00 mendengar dentuman-dentuman di kota yang diikuti kebakaran-kebakaran; api makin berkobar, sehingga langit mnjadi merah dari Cimahi sampai Ujungberung. Serangan ke Bandung Utara dilakukan di sekitar KMA, Ciumbuleuit, Sukajadi dan lain-lain. Pukul 21.00 mereka masuk ke Kota Bandung untuk melihat pelaksanaan pembumihangusan dari dekat.

Sungguh mengharukan bagaimana seluruh lapisan masyarakat Kota Bandung, pasukan dan kesatuan bersenjata baik TRI maupun badan-badan perjuangan, Lasywi, Palang Merah, Dapur Umum, pegawai Sipil, KNI, rakyat jelata dari kakek-nenek, kanak-kanak, hingga bayi yang baru lahir, demikian pula hewan ternak, ayam, dan kambing ataupun hewan kesayangan, kucing atau anjing peliharaan, semua terlibat dalam satu keadaan. Tumbuh rasa saling kasih mengasihi, saling bantu-membantu, saling tolong menolong antara sesama manusia tanpa melihat dan membedakan status dan golongan. Semua senasib dan seperjuangan, rela meninggalkan rumahnya; harta kekayaannya, segalanya dikorbankan demi kepentingan Kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia. Sejak disiarkan keputusan hasil rundingan, hingga Bandung menjadi Lautan Api, akan merupakan kisah tersendiri yang tak pernah terjadi sebelum dan sesudahnya, yang kini tinggal menjadi kenangan perjuangan.***



Sumber: Pikiran Rakyat, 24 Maret 1992



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...