Oleh E KARMAS
MEMASUKI bulan Maret 1946, Kota Bandung khususnya dan Provinsi Jawa Barat umumnya, terlibat ke dalam kancah pertempuran sengit antara pejuang Indonesia melawan pasukan Inggris/Belanda. Telah banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Perbedaannya sangat jelas, pihak Indonesia berkeyakinan berjuang dengan ridla Allah mempertahankan haknya sesuai dengan hak asasi manusia yang tertuang dalam Atlantic Charter yang menghapuskan penjajahan di muka bumi ini; sedangkan Inggris/Belanda didasari nafsu serakah ingin mencengkeramkan kuku penjajahannya ke haribaan Pertiwi Republik Indonesia.
Tanggal 6 Maret hari Kamis pukul 17.00, satu pasukan serdadu Gurkha melewati batas jalan kereta api di Jl. Garuda, kemudian menduduki rumah-rumah rakyat dengan kekerasan senjata. Mereka membuat gaduh di sana, mengganggu dan memperlakukan kaum wanita sebagai binatang. Perbuatan mereka segera diketahui oleh para pejuang Indonesia yang segera mengadakan penyerangan. Pihak Gurkha bersama beberapa serdadu Belanda menyinarkan lampu sorot sambil menembaki pihak kita. Di samping itu Belanda membakar rumah-rumah penduduk, tapi terus diserang oleh para pemuda kita hingga pukul 24.00. Akhirnya pihak Belanda mundur dengan menderita banyak korban. Pihak Indonesia menderita kerugian atas hancurnya beberapa rumah, namun tidak terdapat korban jiwa.
Menurut catatan Jenderal A. H. Nasution, pada tanggal 8 Maret 1946 Jenderal Hawthorn, Panglima Tentara Sekutu, berpidato melalui radio mengatakan bahwa ribuan interniran Belanda dan Jepang telah dibunuh oleh para ekstremis Indonesia. Divisinya telah bertindak untuk menyelamatkan interniran itu di Semarang dan Surabaya. Selanjutnya dikatakan bahwa anggota divisinya telah jatuh korban sebanyak 1.200 orang, suatu jumlah yang lebih besar dari korban perang Imphal ketika melawan Jepang dahulu.
Tanggal 10 Maret 1946 satu batalyon tempur Inggris dari Bandung Utara dengan dilindungi beberapa pesawat udara, menyerbu Lembang dan berhasil menerobos ke Ciater mengambil interniran AL Jepang di bawah Laksamana Maeda. Sesudah itu satu batalyon Inggris dari Bogor menyerbu ke Sukabumi untuk mengambil interniran Jepang di Ubrug. Di sepanjang jalan mereka mendapat serangan dari pihak pejuang bersama TRI Resimen III di bawah komando Letkol Edy Sukardi. Setelah selama satu setengah hari mendapat serangan dari pihak kita, pasukan Inggris baru bisa sampai di Sukabumi dengan menderita korban jiwa 26 tamtama tewas, 2 orang perwira ditawan kita, 9 buah truk, dan 2 buah jeep dirampas pihak Indonesia. Dari pihak kita gugur sebanyak 90 orang.
Pertempuran berlanjut di mana pasukan Inggris mundur ke Cianjur, dan setelah mendapat bantuan konvoi dari Bandung dan Bogor, terjadilah pertempuran sepanjang jalan antara Bandung - Bogor.
Pemerintah Pusat RI bersama Markas Besar Inggris memerintahkan penghentian pertempuran di Sukabumi, namun tidak berhasil. Rakyat memperluas serangannya terhadap Inggris di Sukabumi, sehingga Inggris mendatangkan bantuan lagi dari Bandung dan Bogor. Pertempuran makin besar, di mana menimbulkan korban 3 orang perwira Inggris, seorang perwira India dan 37 orang tamtama.
Inggris mengeluarkan ultimatum: jika serangan tidak dihentikan, Inggris akan menggerakkan segala kekuatannya dengan tidak ampun lagi.
Sejak itu terjadi serangan Inggris dari udara terhadap rakyat di sepanjang jalan Cibadak - Sukabumi. Pasukan Inggris menuju Ciaanjur dan mendapat serangan dari pihak Indonesia di Sukaraja, sehingga terpaksa bermalam di selatan kota dan baru keesokan harinya masuk Kota Cianjur. Bantuan Inggris dari Bandung diserang di Cisokan, Citarum, dan Purabaya, demikian juga bantuan yang melalui Puncak dihadang di Cugenang.
Inggris menewaskan sepuluh orang pihak kita di Gedeh, dan di Padalarang menawan beberapa orang termasuk Kepala Staf Resimen 9.
**
TANGGAL 17 Maret 1946 Panglima Besar Inggris mengundang Pemerintah Pusat RI di Jakarta untuk merundingkan pengantaran konvooi antara Bogor - Bandung.
Terjadilah pertempuran setiap hari di Jl. Garuda antara pasukan TRI bersama pelbagai kesatuan, melawan konvoi Inggris maupun batalyon Punjab.
Pasukan Inggris tidak bisa menerobos barikade di persimpangan Jl. Garuda - Jl. Sudirman yang dibuat pihak kita, yang bertahan sekuat-kuatnya.
Tanggal 18 Maret 1946 pasukan Inggris menerobos daerah Andir maksudnya merampok gudang KA dan merampok penduduk. Terjadilah pertempuran sengit yang makin berkobar karena Inggris mengirimkan pesawat pemburu concor merah dan bomber. Sebuah tank musuh hangus dibakar kita di depan Pasar Andir, (baru setelah tahun lima puluhan rongsokan tank tersebut diambil). Pertempuran menjalar hingga man to man, saling berhadapan di antara rumah-rumah dan di kebun singkong. Seorang anggota Hizbullah gugur dan diamankan langsung di tempat kejadian saat itu juga. Seorang serdadu Gurkha terbunuh dan dipenggal kepalanya, kemudian dijinjing oleh Susilowati seorang perwira PT Pajagalan, di sepanjang jalan pulang ke markasnya.
Tanggal 19 Maret 1946 Inggris mengirim pasukan yang dipelopori tiga buah tank raksasa, beberapa jeep dan puluhan truk menyerang dan mencoba mendobrak barikade di persimpangan Jl. Garuda - Jl. Sudirman, namun selalu dihadang pihak Indonesia sekuat tenaga, sebuah tank raksasa berdiri gagah dengan moncong kanon mengarah timur sepanjang Jl. Sudirman, tidak sedikit pun membuat pejuang kita menjadi gentar. Meledaklah sebuah kanon ditembakkan ke arah timur, menghancurkan sebuah toko potret di Jl. Sudirman sebelah barat Gang Durman. Pertempuran berjalan hingga malam hari setelah pihak Inggris mundur kembali. Pihak kita menderita beberapa orang tewas antara lain Nana, beberapa orang luka berat antara lain Mulyono dan luka ringan antara lain Husen Wangsaatmaja.
Tanggal 20 Maret 1946 kira-kira pukul 07.25 sekonyong-konyong tentara Inggris melakukan bombardemen dan penembakan mitraliur oleh pesawat udara B 25 dan pesawat pemburu F 50 terhadap penduduk dan rumah-rumah di sepanjang Jl. Tegallega Selatan, menyebabkan 17 orang penduduk tewas seketika dan 18 orang luka-luka. Segera ditanyakan oleh Walikota Bandung kepada pihak Sekutu yang memberi jawaban bahwa bombardemen itu sebagai "reprisal" (pembalasan) atas tembakan mortir dari pihak Indonesia, katanya telah mengorbankan banyak wanita dan anak-anak (Belanda).
Tanggal 22 Maret 1946 pukul 13.25 Walikota Bandung menerima telepon dari head quarters bahwa Mayor Jenderal R. Didi Kartasasmita, Komandan Komandemen dan Wakil Menteri Keuangan Mr. Safrudin Prawiranegara telah tiba di Bandung untuk menyampaikan amanat Pym. Perdana Menteri St. Syahrir. Amanat tersebut menyampaikan amanat tentara Inggris supaya daerah 11 km sekeliling Kota Bandung dihitung dari tengah-tengah kota harus dikosongkan dari semua orang dan pasukan Indonesia yang bersenjata. Pihak Indonesia dan Pemerintah sipil, TRI dan Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MDPP) mengambil keputusan, bahwa akan membicarakan terlebih dahulu dengan Perdana Menteri St. Syahrir. Pihak Inggris menyetujuinya, Komandan TRI Divisi III Kol. A. H. Nasution turut bersama dengan kedua utusan tadi untuk memberikan keterangan kepada perdana menteri.
**
TANGGAL 23 Maret 1946 di Bandung diadakan pertemuan yang dihadiri oleh utusan dari Komandemen TRI, Wakil Perdana Menteri, Komandan Divisi III, Walikota, Residen, utusan dari MDPP dan orang-orang terkemuka lainnya. Mereka memperbincangkan ultimatum Inggris agar semua orang dan pasukan bersenjata harus ke luar Kota Bandung sejauh straal 11 km. Jika kehendak Inggris itu tidak dikabulkan, maka Kota Bandung akan digempur habis-habisan. Jika ada orang yang masih bersenjata tinggal di Kota Bandung, akan ditembak mati. Sementara semua orang termenung, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan para pemuda: "Tidaaak! Tidak bisa!"
Pertemuan selesai, beberapa orang utusan terbang ke Jakarta untuk menyampaikan putusan kepada Markas Besar Tentara Inggris bahwa rakyat Bandung menolak kehendak Inggris.
Hari Minggu, 24 Maret 1946, Kol. A. H. Nasution datang kembali di Bandung memberi penerangan kepada Pemerintah Sipil, Polisi, Badan-badan Pekerja, KNI Priangan, dan badan Eksekutif Kota Bandung, telah diputuskan oleh Pemerintah Pusat RI di Jakarta, setelah diadakan bertukar pikiran antara Perdana Menteri St. Syahrir dengan Komandan TRI Divisi III Kol. A. H. Nasution, bahwa buat kepentingan diplomasi yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Pusat RI, semua orang dan pasukan bersenjata selambat-lambatnya tanggal 24 Maret 1946 harus keluar dari kota dan tidak boleh mengadakan pembumihangusan atau lain-lain kerusakan.
Menurut keterangan Pak Didi Kartasasmita selaku Panglima Komandemen Jawa Barat yang berkedudukan di Purwakarta, pada tanggal 22 Maret 1946, beliau dipanggil oleh Perdana Menteri St. Syahrir ke Jakarta untuk pergi ke Bandung berunding dengan Jenderal Hawthorn mengenai ultimatum Inggris tentang pengosongan Kota Bandung dari orang-orang dan pasukan bersenjata. Pak Didi minta Komandan Polisi Tentara Achmad Sukarmadidjaya untuk mendampinginya.
Dengan kapal terbang Inggris--fasilitas diplomatik--mereka terbang dari Kemayoran ke Andir Bandung. Mereka dibawa keliling di Bandung Utara di mana Inggris memperlihatkan kekuatan persenjataannya yang telah siap menyerbu Bandung Selatan.
Mereka tidak diperkenankan pergi ke Bandung Selatan, karena pihak Inggris khawatir kalau Pak Didi bertemu dengan pihak Indonesia akan mengetahui keadaan sebenarnya. Sore harinya Pak Didi dibawa ke markas Jen, Hawthorn, di mana telah ada Pak Syafrudin Prawiranegara yang diutus Perdana Menteri St. Syahrir ke Bandung Selatan untuk membicarakan dengan pemerintah Sipil dan TRI. Ketika Jen. Hawthorn melontarkan ultimatumnya bahwa hari Minggu 24 Maret 1946 pukul 12.00 Bandung Selatan harus ditinggalkan oleh orang-orang bersenjata, Pak Didi menjawab dengan nada ketus: "Do as you like but we will not retreat" lalu meninggalkan ruangan tanpa memberi salam kepada Jenderal Hawthorn.
Sepanjang pengetahuan Pak Achmad Sukarmadidjaya, bahwa Komandan Divisi III Kol. A. H. Nasution menerima dua perintah:
1. Yang pertama dari Perdana Menteri St. Syahrir harus mundur;
2. Yang kedua dari Panglima Komandemen Jawa Barat Mayor Jenderal Didi Kartasasmita dan dari MBT (Markas Besar Tentara) di Yogjakarta, harus mempertahankan Bandung sampai titik darah penghabisan.
Seusai pertemuan dengan Hawthorn tersebut di atas, Nasution turut naik kapal terbang ke Jakarta. Malamnya Nasution diterima oleh PM Syahrir di tempat kediamannya di Jl. Pegangsaan Timur, di mana PM Syahrir menasihatkan untuk melakukan saja sebagaimana dipesankan sebelumnya melalui Menteri Muda Syafrudin Prawiranegara. Kepada Panglima Komandemen Jawa Barat Didi Kartasasmita, Kol. Nasution meminta keputusan, yang dijawab supaya bertindak menurut keadaan, kalau pecah pertempuran supaya beliau diberi tahu dan beliau akan datang.
Kol. Hidayat di Purwakarta yang baru menyelesaikan peristiwa pertempuran di Sukabumi, menelepon kepada Kol. Nasution: "Nas, kamu mulai ikut diplomasi?" Keesokan harinya Kol. Nasution pulang ke Bandung dan sempat mendengar dentuman-dentuman artileri Inggris menghadapi pertempuran di Jakarta Timur jurusan Klender.
Hari Minggu 24 Maret 1946 pukul 10.00 Kol. A. H. Nasution tiba di Bandung. Sesampainya di Pos Komando, oleh Kepala Staf diperlihatkan Kawat dari Yogja tanpa alamat pengirim, yang berbunyi: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan!" Maka mulailah perundingan dengan pemerintah Sipil, Komandan Resimen VIII, MDPP serta pelopor.
**
PIHAK Sipil minta penangguhan waktu, Wali Kota Samsyurizal mengemukakan bahwa pemerintah Sipil mentaati instruksi pemerintah Pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Let. Kol. Sutoko menyarankan keluar bersama rakyat. Let. Kol. Omom Abdurachman Komandan TRI Resimen VIII menyatakan bahwa Tentara resmi taat perintah, tapi sebagai rakyat berjuang terus.
Komandan Polisi Tentara, Mayor Rukana mengusulkan untuk membumihanguskan Kota Bandung dan meledakkan terowongan Sungai Citarum di Rajamandala, supaya kita membuat "Bandung Lautan Api dan Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional.
Pukul 14.00 dengan resmi disiarkan perintah Divisi III:
1. Semua pegawai dan rakyat harus keluar kota sebelum pukul 24.00;
2. Tentara melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan yang ada;
Sesudah matahari terbenam, supaya Bandung Utara diserang dari pihak utara dan dilakukan pula bumi hangus sedapat bisa. Begitu pula dari selatan harus ada penyusupan ke utara.
Seluruh rakyat menyambut dengan penuh semangat. Batalyon-batalyon dari Resimen VIII dan IX, Resimen Pelopor dan MDPP punya sektor masing-masing mulai dari Padalarang sampai Cicadas. Pos Komando Divisi III diperintahkan pindah ke Kulalet sebelah Selatan Dayeuhkolot. Dari sana Kol. Nasution bersama Mayor Rukana sekira pukul 20.00 mendengar dentuman-dentuman di kota yang diikuti kebakaran-kebakaran; api makin berkobar, sehingga langit mnjadi merah dari Cimahi sampai Ujungberung. Serangan ke Bandung Utara dilakukan di sekitar KMA, Ciumbuleuit, Sukajadi dan lain-lain. Pukul 21.00 mereka masuk ke Kota Bandung untuk melihat pelaksanaan pembumihangusan dari dekat.
Sungguh mengharukan bagaimana seluruh lapisan masyarakat Kota Bandung, pasukan dan kesatuan bersenjata baik TRI maupun badan-badan perjuangan, Lasywi, Palang Merah, Dapur Umum, pegawai Sipil, KNI, rakyat jelata dari kakek-nenek, kanak-kanak, hingga bayi yang baru lahir, demikian pula hewan ternak, ayam, dan kambing ataupun hewan kesayangan, kucing atau anjing peliharaan, semua terlibat dalam satu keadaan. Tumbuh rasa saling kasih mengasihi, saling bantu-membantu, saling tolong menolong antara sesama manusia tanpa melihat dan membedakan status dan golongan. Semua senasib dan seperjuangan, rela meninggalkan rumahnya; harta kekayaannya, segalanya dikorbankan demi kepentingan Kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia. Sejak disiarkan keputusan hasil rundingan, hingga Bandung menjadi Lautan Api, akan merupakan kisah tersendiri yang tak pernah terjadi sebelum dan sesudahnya, yang kini tinggal menjadi kenangan perjuangan.***
Sumber: Pikiran Rakyat, 24 Maret 1992
Komentar
Posting Komentar