Januari - Maret 1942
MASYARAKAT desa-gunung Lembang (Jawa Barat) sejak pertengahan Januari tahun 1942 menghadapi dimensi baru dalam kehidupannya. Mereka melihat ketergesaan, dalam suasana kerahasiaan, tempo kehidupan tinggi yang diisi dengan sosok dan tampang baru dalam hidup rutin mereka. Villa indah di desa itu tiba-tiba dipenuhi opsir menengah dan tinggi, yang walau warna luarnya sama, tetapi secara generik berbeda.
Grand Hotel Lembang, hotel resor turis--yang sampai sekarang masih ada, walau kualitas beberapa ordo magnitudo lebih rendah--menjadi pentas pertemuan opsir tinggi berbagai bangsa dan bahkan fokus perhatian dunia. Di sini berkumpul para jenderal-petak, sebutan akrab-kagum orang Jawa kepada siapa saja yang dianggap pintar dan berkekuatan. Panggilan itu tumbuh karena praanggapan di kala itu bahwa siapa saja yang botak adalah pintar dan pemikir (lupa bahwa faktor genetik juga memegang peran pada proses pembotakan rambut di kepala); apalagi mereka yang menyandang pangkat jenderal, dan botak pula tentu, merupakan super spesi dari tiap ras. Perwira tinggi itu datang dari berbagai negara, tinggal di Lembang sebagai pengendali komando ABDA (America, British, Dutch, Australia).
Tidak kurang dari Laksamana Hart (panglima Amerika untuk Armada Pasifik Barat Daya), Sir Archibald Wavell, Field Marshall Inggris, yang memegang komando tertinggi dan yang telah menjejaki perang gurun tahun 1940-an dan Letjen Ter Poorten Panglima KNIL, adalah sosok-sosok yang menghiasi Lembang di kala itu.
Mereka berkumpul di Lembang mengatur strategi guna mempertahankan kawasan Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru dari ancaman penduduk Jepang, yang pada saat itu telah memperlihatkan cengkeraman mematikan atas Semenanjung Malaya dan sebagian wilayah Hindia Belanda (Indonesia) serta Filipina. Kumpulan agung dan ulung yang sangat mengesankan--namun, sayangnya diwarnai oleh berbagai kesulitan khas. Kelompok Amerika merasa bahwa pertempuran yang dihadapinya bukan pertempuran mereka--tidak hanya karena perasaan bahwa daerah cakupan ABDA bukan wilayah tanah airnya, tetapi adanya sekelumit perasaan bahwa tidak ada gunanya mempertahankan sistem kolonial yang kuno di kawasan ini.
Sebaliknya, pihak Belanda merasa tugas itu adalah panggilan suci untuk mempertahankan tanah-airnya, karena kebanyakan dari unggulan tentara kerajaan Belanda lebih terkait-rasa dengan Hindia Belanda, daripada dengan negeri dingin di sana. Laksamana Helfrich, Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belanda--yang juga anggota komando ABDA--tidak hanya lahir di bumi ini, tetapi dia mengetahui banyak tentangnya.
Dalam garis komando itu ditemui kesulitan adanya berbagai kode perintah, perbedaan pendapat dan kepribadian dan ketiadaan bahasa sekutu. Komunikasi dengan panglima-panglima armada perang, yang tersebar di pelabuhan besar di Indonesia (seperti Surabaya, dan lain-lain) juga merupakan hal muskil. SLJJ belum ada, jadi penggunaan telepon batere tidak dapat dihindarkan, dan karena itu banyak perintah komando penting keluar melalui cara sederhana. Dengan sendirinya modus itu tidak menjamin kerahasiaan, tetapi apa boleh buat. Urgensi kerja menetapkan demikian.
Di tengah persiapan seperti itu, Pemerintah Belanda di pengasingan merasa tersepelekan, tidak hanya karena tidak diajak bicara tentang pembentukan ABDA, tetapi juga merasa tersudut dengan pembenuman Panglima Hart. Sepantasnyalah Laksamana Helfrich, Panglima Angkatan Laut Belanda yang menjadi panglima ABDA, bukan orang luar. Lagi pula di awal Perang Pasifik itu Belanda telah merasa sumbangannya kepada peperangan sangat besar. Tonase kapal musuh yang dihancurkan oleh kapal selam Belanda, sampai dengan Februari 1942, jauh lebih besar daripada tonase mesin perang Jepang yang dihancurkan oleh Angkatan Laut dan Udara negara lain. Begitulah suasana ketidakpercayaan yang menyelimuti organisasi besar, yang berhiaskan bintang-bintang laksamana dan jenderal. Organisasi itu dirasakan demikian besarnya sehingga Churchill, waktu itu di Kanada, memberi komentar sinis tentang komando di Lembang: "Never have been so few commanded by so many" (Belum pernah terjadi sebelumnya bahwa begitu sedikit dibawahi oleh begitu banyak).
Memang begitu sedikit yang bisa dihimpun. Pusat logistik Amerika sendiri di Darwin, lebih dari 2.000 km jauhnya dari Lembang, hingga keterlambatan suplai lebih merupakan aturan daripada perkecualian. Koordinasi tidak berjalan semestinya, karena persiapan Angkatan Bersenjata Belanda pun tidak rinci. Markas besar yang didirikan di Technische Hogeschool di Bandung (sekarang ITB) kadangkala sulit berhubungan dengan markas Jenderal Wavell, di Lembang, yang hanya 15 kilometer terpisah itu.
* * *
TULISAN ini sebenarnya tidak bermaksud membicarakan strategi perang besar itu, tetapi lebih ditujukan untuk mengungkap pengalaman pribadi (2), yang melihat saat terakhir keluruhan hegemoni pemerintah wangsa Oranye di Hindia Belanda. Seperti sudah disebutkan di atas, drama percaturan ini berkisar di sekitar tatar beradius 50 km, berpusatkan di Grand Hotel Lembang. Dari sanalah Panglima Helfrich mengeluarkan order dan komando bagi armada Belanda yang memang dikagumi kawan. Kekaguman itu diungkap oleh Presiden Amerika Serikat, F. D. Roosevelt, pada tanggal 6 Januari 1942 di depan Kongres Amerika: "Yes, we are fighting on the same side with the indomitable Dutch" ("Ya, kami berjuang bersama dengan Belanda yang tak terkalahkan"). Sementara itu, optimisme pihak Barat berlebihan hingga nama Helfrich di "Times Square" (suatu plaza di New York, yang melalui lampu menyiarkan berita mutakhir tentang suatu keadaan--dapat dianalogikan dengan CNN pada tahun 1990-an) selalu berkedip "One-ship-a-day, Helfrich" (satu kapal tiap hari, Helfrich). Maksudnya tidak lain adalah satu kapal musuh dihancurkan oleh Helfrich tiap hari. Rombongan di awal perang itu membuat Belanda lalai--dan, memang menjadi sifat orang putih melihat ke bawah unjuk-kerja orang berwarna. Kelalaian fatal itulah yang membuat Angkatan Laut Kerajaan Belanda membayar mahal di kemudian hari. Sampai pada tanggal 27 Februari 1942, tidak kurang dari 120 kapal (perang dan lain-lain) di Hindia Belanda tenggelam, atau hancur.
Tanggal 15 Februari 1942 adalah kedatangan awan gelap yang dirasakan sebagai ancaman serius bagi siapa saja di Indonesia. Pada saat itu Singapura-yang-tak-terebutkan jatuh ke tangan Jepang. Superioritas Angkatan Udara Jepang bagaikan kawanan elang raksasa yang sewaktu-waktu dapat mengirimkan bom ledak, bom bakar, dan lain petakan bagi daerah di selatannya. Tetapi pukulan yang menentukan bagi Hindia Belanda adalah pertempuran Laut Jawa tanggal 27 Februari 1942. Pada pukul 15.00, Laksamana Karel Doorman membawa kapalnya, de Ruyter, untuk kembali ke Surabaya guna mengisi bahan bakar setelah dua hari mencari musuh. Belum sempat melaksanakan gagasannya, datang perintah dari Laksamana Helfrich di Lembang, bahwa armada penyerang Jepang ternyata telah ditemui dalam perjalanan menuju ke Jawa, hanya 150 kilometer di sebelah utaranya. Dengan tenaga yang sudah lelah, anak buah yang lesu akibat tugas berkepanjangan dan tidak menentu, armada pemukul Karel Doorman kembali ke medan laga, untuk mencegat kapal tempur Jepang. Barangkali tidak ada yang mengira bahwa 8 jam kemudian panglima yang cakap itu bersama segala yang ada di de Ruyter mencium dasar Laut Jawa, dan bersamaan itu pula berakhir pertahanan Laut Jawa yang diandalkan.
* * *
KESIBUKAN, dan kepanikan, di sekitar Hotel Lembang memang sukar disembunyikan. Mang K (meninggal dua tahun yang lalu) adalah jongos hotel itu yang melayani Laksamana Helfrich, dan, demikian ceritanya kepada penulis, melihat keluarnya perintah 27 Februari sore itu kepada Karel Doorman. Dia tak mengira bahwa perintah itu adalah terakhir dari pujaannya. Kekalahan Karel Doorman yang berani yang mengubah sama sekali suasana makan pagi esok harinya. Suasana muram, bagaikan ada mendung ngendanu, meliputi pusat komando yang dua bulan terakhir itu merupakan kebanggaan dan harapan bagi masyarakat Hindia Belanda. Pagi pukul 09.00, belum sampai 10 jam setelah kekalahan armada gabungan pimpinan Karel Doorman, Panglima Helfrich di Lembang dihadapkan oleh pernyataan yang mengejutkan. Kepala stafnya, Laksamana Palliser harus mengikuti perintah Admirality Inggris, untuk tidak melibatkan armada Inggris yang masih ada dalam mempertahankan Jawa, yang memang menurut penilaian mereka tidak dapat dikuasai lagi. Pembicaraan hangat itu berakhir satu jam kemudian, dan dengan itu berakhir pula riwayat ABDA di Lembang.
* Bambang Hidayat, warga Lembang, dan tinggal di Observarium Bosscha ITB, Lembang.
Komentar
Posting Komentar