Langsung ke konten utama

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (3) Pasukan RI Mengadang Konvoi Inggris

Oleh AH Nasution

Prolog Bandung Lautan Api

Bulan Maret 1946 terjadilah hal-hal yang kita khawatirkan semula yang membawa kita kepada peristiwa sejarah "Bandung Lautan Api", korban-korban yang tak bisa dielakkan dalam kondisi politik dan militer dewasa itu. Namun bagi kemerdekaan dan kedaulatan tiada korban yang terlalu mahal.

Inisiatif yang menjuruskan kita ke Bandung Lautan Api itu datang dari kedua pihak. Di satu pihak Inggris menuntut kebebasan untuk mengambil pasukan-pasukan Jepang dan menginternir diri di daerah Lembang dan Sukabumi. Pemerintah pusat logis menyetujuinya, tapi pemuka-pemuka rakyat dan TKR tak mungkin dapat menyetujuinya.

Di pihak kita panglima komandemen memerintahkan gangguan-gangguan supaya ditingkatkan terhadap konvoi-konvoi Inggris antara Puncak-Bandung, yang meliputi daerah div. saya. Kebetulan mobil beliau telah tersasar dengan tidak berdaya di tengah-tengah konvoi-konvoi Inggris yang melewati Puncak. Saya dipanggil ke Purwakarta dan mendapat perintah untuk memperhebat pengadangan-pengadangan.

Saya pilih tempat-tempat pengadangan di antara Puncak-Cianjur dan antara Ciranjang-Rajamandala-Padalarang, yakni dalam kompleks-kompleks pegunungan. Jika konvoi terhenti, rakyat harus menebang di pohon-pohon di depan dan belakang konvoi untuk merintangi jalan.

Dilarang mengadang di daerah kampung dan kota, mengingat jawaban musuh yang lazim membalas membabi-buta dengan artileri dan pesawat tempur terhadap kampung-kampung.

Diperhitungkan bahwa musuh mungkin akan membalas terhadap Sukabumi dan Bandung Selatan, tempat basis-basis kita. Bandung Selatan dipersiapkan, termasuk persiapan-persiapan tembakan mortir terhadap markas-markas musuh terkuat di Bandung Utara, seperti Gedung Sate (markas div. 23), DVO (bekas Dep. Peperangan Belanda), dll. Akan digunakan pertama kali kompi mortir-moritr dari batalyon Beruang Merah (May Abd. Saleh) dan peleton mortir batalyon Sukanda di Lembang.

Tgl. 8 Maret 1946 panglima Inggris, Jenderal Hawthorn berpidato radio. Katanya ribuan interniran Belanda dan Jepang telah dibunuh oleh ekstremis-ekstremis Indonesia. Divisinya telah bertindak di Semarang dan Surabaya untuk menyelamatkan interniran itu. Katanya korban divisinya sudah 1.200 orang, jumlah yang lebih besar daripada korbannya di medan perang Imphal dulu melawan Jepang.

Tgl. 10 Maret 1 batalyon tim pertempuran Inggris, diantar oleh pesawat-pesawat udara menyerbu Lembang, menerobos ke Ciater, mengambil interniran AL Jepang di bawah Laksamana Maeda. Batalyon Sukanda tentulah tak dapat merintangi.

Sesudah 1 batalyon diperkuat pula menyerbu dari Bogor ke Sukabumi untuk mengambil interniran Jepang di Ubrug. Di sini tentara Inggris dapat perlawanan sengit sepanjang jalan dari rakyat bersama TRI res 3 di bawah Letkol Edy Sukardi. Setelah satu setengah hari lawan bisa sampai Sukabumi dengan korban jiwa dan alat yang berarti, a.l. 9 truk dan 2 jeep jatuh di tangan kita dan 2 perwira serta 26 tamtama gugur. Tapi pada kita gugur 60 orang.

Inggris menembaki dari udara sepanjang jalan Cibadak-Sukabumi. Panglima Inggris memberi ultimatum, hentikan pertempuran dalam 48 jam. PM Syahrir tak bisa menolak. Kol. Hidayat harus berunding dengan Inggris, seorang kolonelnya menyambutnya di markas besar dengan ucapan "kamu berani melawan tentara Inggris yang telah masyhur ini," Kol. Hidayat bersama perwira Inggris diterbangkan ke Sukabumi dengan pesawat piper yang mendarat di lapangan sepakbola untuk meneruskan pelaksanaan ceasefire order.

Pertempuran melanjut dengan mundurnya Inggris ke Cianjur, dan datangnya bantuan dari Bandung serta Bogor. Terjadilah pertempuran-pertempuran dari antara Bandung sampai Bogor.

Atas perintah Jakarta dari pemerintah RI dan dari markas besar Inggris diusahakan penghentian tempur di Sukabumi. Tapi tak dapat segera berhasil. Serangan yang meluas terhadap Inggris di Sukabumi membahayakan mereka, sehingga datang bantuan mereka dari Bogor dan Bandung. Mereka korban 3 perwira Inggris, 1 orang perwira India, dan 37 orang tamtama.

Maka datanglah ultimatum Inggris: Jika serangan tidak dihentikan, Inggris akan menggerakkan segala kekuatan "dengan tidak ampun lagi".

Maka Inggris terus menembaki lagi dari udara sepanjang jalan Cibadak-Sukabumi. Telepon dan listrik terputus. Rakyat kocar-kacir. Pada hari ke-4 Inggris meninggalkan Sukabumi ke jurusan Cianjur. Di Sukaraja mendapat serangan lagi, Inggris terpaksa bermalam di Selatan Kota Cianjur dan esoknya masuk kota.

Sementara itu bantuan dari Bandung dapat hadangan pula di berbagai tempat selama hari-hari itu, di kompleks Cisokan, Citarum, dan Purabaya, juga bantuan via Puncak diserang sehari di Cugenang. Inggris kemudian dapat masuk terrein dan menyerang basis kita dikontrak Gedeh. Korban kita 10 orang. Begitu pula di daerah Padalarang musuh melakukan pembersihan jauh ke dalam, di antara yang ditawannya, termasuk kepala staf resimen 9 TRI. 

Berangsur-angsur Inggris membersihkan kembali jalan raya di daerah Cianjur untuk pengamanan jalan Puncak-Cianjur. Ia batalkan maksudnya untuk menduduki Kota Sukabumi.

Berangsur-angsur ia teruskan kegiatan itu di daerah Rajamandala dan Padalarang. Cianjur diduduki oleh 1 batalyon. Sepanjang jalan ia tempatkan pos-pos penjagaan, dan udara di atas dipatroli pula terus.

Lebih kurang 2 minggu musuh perlukan untuk membuka kembali dan mengamankan jalan konvoi Bogor-Bandung. Tgl. 17 Maret 1946 panglima besar Inggris mengundang pemerintah RI di Jakarta untuk merundingkan pengantaran konvoi Bogor-Bandung.

Sementara daerah Citarum sampai Bandung masih ada insiden-insiden dan pesawat-pesawat udara Inggris masih bergiat, maka pertempuran justru menghangat di sekitar Andir, bagian barat Kota Bandung.

Ultimatum Inggris

Jadinya rencana Sekutu untuk dengan paksa mengambil pasukan-pasukan Jepang dari daerah Sukabumi, terutama sekitar Ubrug telah gagal dengan korban-korban yang tak sedikit. Rencana mereka tersebut telah tertumpuk pula kepada rencana serangan umum kita terhadap konvoi-konvoi sepanjang Puncak-Bandung. Karena didahului oleh peristiwa Sekutu itu, maka rencana kita pun tak terlaksana. Namun kita telah berada dalam persiapan tempur, terutama di Bandung Selatan, a.l. dengan rencana penggunaan secara mendadak untuk pertama kali mortir-mortir dari Bandung Selatan dan Lembang.

Akibat pertempuran-pertempuran konvoi antara Sukabumi-Cianjur-Bandung, maka div Inggris/India ke-23 melakukan penjagaan yang ketat  di mana-mana, lebih-lebih di daerah Cimahi-Andir, sehingga mereka lebih dalam masuk daerah-daerah kita. Hal ini mengakibatkan clash di Fokkerweg dengan satuan-satuan dari batalyon Punjab. Maka di pihak kita secara otomatis dilaksanakan secara penembakan terhadap Bandung Utara dengan sasaran-sasaran utama ialah DVO (Dept. Peperangan dan Gedung Sate, kini kantor Gubernur Jawa Barat) sebagai markas besar div. 23.

Penembakan-penembakan mortir ini, yang belum secara terlatih dan belum punya alat-alat membidik yang semestinya, ke sasar balasan sampai puluhan meter, sehingga mengenai rumah-rumah Belanda sekitar jaarbeurs dan kamp Rapwi di Jalau Riau dengan korban-korban sipil yang disayangkan sekali.

Kemarahan Inggris memuncak, apalagi setelah pengalaman di Sukabumi.

Div. 23 dengan mendadak melepaskan selama 20 menit tembakan-tembakan artileri ke Bandung Selatan dengan sasaran asrama batalyon Sumarsono/Bat II di Tegallega. Tapi kebanyakan peluru mengenai kompleks PTT, dengan korban lebih kurang 30 orang, ditambah dengan korban clash lain jadi l.k. 50 orang.

Radio musuh mengumumkan bahwa tembakan-tembakan itu adalah untuk menghajar steling-steling mortir-mortir kita.

Ketika tembakan-tembakan berlangsung, lewat di atas pos komando div. di Regentsweg kami agak lengkap hadir di markas. Kepala staf sedang di kamar kecil. Tanpa ingat keadaannya, ia lari ke luar dan terus ke telepon untuk meminta laporan ke batalyon dan resimen. Baru kemudian ia sadar, bahwa ia tak sempat menyelesaikan pakaiannya. Perlu dicatat, bahwa di pos komando ada pula kerja seorang tukang ketik wanita. Kami tertawa gelak-gelak kemudian.

Kami perkirakan susulan dengan serbuan, tapi tidak terjadi. "Rupanya markas besar Inggris di Jakarta mengoper persoalan, yakni mengultimatum pemerintah RI," supaya Bandung Selatan dikosongkan oleh TRI sejauh garis 10-11 km. Pemerintah sipil RI boleh tetap dalam kota, dan dilarang bumi hangus.

Rupanya div. 23 menggunakan kesempatan itu. Sudah lama mereka ingin bertemu dengan saya, tapi selalu saya tolak. Hanya gubernur, residen, dan terutama walikota serta pimpinan Barisan Api yang sering bertemu.

Walikota Syamsurijal pernah melaporkan, bahwa Jenderal Hawthorn berkata: "I don't trust col Nasution." Kapt. Clark, penghubung yang berbahasa Belanda memberi komentar, setelah saya lakukan perlucutan terhadap Api: "Sutojo ditangkap, karena ia teman saya!"

Selalu jadi soal yang mereka hendak bicarakan kepada saya ialah: Pertama, untuk mengembalikan regu prajurit-prajurit India yang melarikan diri ke pihak kami dengan truk, beserta alat-alat radio dan senjata ringan. Juga mereka ingin, supaya kami perkenankan rakyat menjual makanan, terutama sayuran kepada penduduk Belanda yang ada 10-`15.000 orang di Bandung.

PM Syahrir memutuskan di Jakarta supaya TRI memenuhi tuntutan, dengan pertimbangan bahwa memang div 23 Inggris bukan tandingan bagi TRI yang serba kurang. Karena itu supaya TRI diselamatkan. Tentang kota diharapkan kembali nanti sebagai hasil perundingan, di mana pihak sana toh mengakui di fakto RI di seluruh Jawa. Karena itu diinstruksikan supaya pemerintah sipil dan polisi tinggal di kota, dan jangan bumi hangus.

Tanggal 23 Maret 1946 diutuslah Menteri Syafrudin Prawiranegara ke Bandung beserta Jend. Kartasasmita melalui fasilitas Inggris. Tapi Jend. tersebut tidak boleh ikut ke Bandung Selatan, karena rupanya Inggris mencurigai sekali kita bisa berkomplot.

Pertemuan dengan menteri diadakan di rumah penghulu, mertua dr. Sugandi, di jalan Dalem Kaum. Di pihak kami ikut gubernur, residen, walikota dan Kepala Polisi.

Inggris menjamin de fakto pemerintah RI di Bandung, seperti keadaan walikota Suwiryo di Jakarta, walikota Mr. Iksan di Semarang dan residen Supangkat di Bogor.

Residen Ardiwinangun berpendapat, bahwa hal itu takkan berhasil di Bandung dan bahwa pemerintah RI di tempat-tempat tersebut juga lumpuh. Semua ajukan keberatan "teknis", bahwa tak mungkin mengungsikan belasan ribu tentara dan lasykar dalam waktu begitu singkat dan keberatan "psykologis" bahwa rakyat sebagian besar akan mengikuti TRI ke luar.

Alhasil kita perlukan meminta panglima Kartasasmita untuk menemui panglima Hawthorn, kiranya bisa ditunda atau diubah isi ultimatum.

Kami bertolak ke Bandung Utara. Bagi saya baru kedua kalinya masuk daerah lawan itu. Pertama kali dahulu ke markas batalyon Punjab di gedung residen Priangan, dan kini div 23.

Panglima Inggris "tidak dapat segera" menerima kami. Kami dibawa ke tempat mes perwira (di Jalan Siliwangi) dan makan siang di situ. Dari mes itu kami melihat ke taman yang bersampingan Kebun Binatang. Kampung pinggir Cikapundung sudah kosong. Walikota mengeluh, melihat taman yang indah di bawah dan berkata: "Dulu kalau hari Minggu saya berjalan-jalan di situ dengan anak-anak saya."

Kami ditanya, makan nasi atau roti. Maka kami dapat nasi, dicampur dengan selei, yang betul-betul asing bagi lidah kami.

Rupanya kami diikat dan disibukkan di daerah Inggris, untuk terpisah dari pasukan-pasukan dan rakyat. Pihak sana sementara itu menyiarkan melalui radio tentang ultimatum yang terjadi tanpa panglima ketahui, karena "kegiatan-kegiatan pihak Indonesia baru-baru ini di daerah Bandung-Sukabumi, dan serangan-serangan pada kamp 'interniran'".

Maklumat Panglima

Diumumkan maklumat panglima tertinggi Serikat di Jawa sbb: 

"Untuk menghalangi terulangnya insiden-insiden yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan bangsa Indonesia bersenjata di daerah Bandung, Sukabumi, akan diambil tindakan-tindakan seperlunya.

Beberapa hari yang paling akhir di daerah Sukabumi dan Bandung telah terjadi ulangan insiden-insiden yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan Indonesia bersenjata. Kota Bandung sebelah utara di mana ada kamp Rapwi, telah ditembaki dengan mortir secara luas, di mana perempuan dan anak-anak menjadi korban, konvoi Rapwi yang hanya membawa makanan dan obat-obatan telah ditembaki dengan senapan mesin rumah-rumah telah dibakar. Dalam waktu 14 hari yang paling akhir Rapwi dan tentara Indonesia telah menderita kecelakaan lebih dari 100 orang.

Pimpinan tertingi tentara Serikat di Jawa telah memutuskan bahwa penembakan dan pembakaran secara tak bertanggung jawab ini harus diberhentikan dengan segera. Karena itu ia telah memerintahkan kepada komandan div untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai maksud itu.

Komandan daerah telah memutuskan membersihkan daerah Bandung Selatan dari orang-orang yang bersenjata. Di mana mungkin tidak dengan pertumpahan darah dan dibolehkan mempergunakan "gas air mata", sebagai diketahui gas ini tidak merusakkan dan akibatnya hanya sebentar.

Bersama dengan pengumuman ini kita telah memberitahukan maksud-maksud kita kepada orang-orang yang bersenjata dan penduduk di Bandung Selatan. Untuk memperingatkan mereka itu kita mempergunakan surat-surat selebaran, radio dan penerangan-penerangan, orang-orang yang bersenjata kita persilahkan meninggalkan kota dan penduduk umum kita minta supaya tetap tenang dan jangan keluar dari jalanan dalam waktu 40 jam yang akan datang ...."

Sampai sore kami disibukkan di Bandung Utara dengan diantar keliling kota, dieskort oleh polisi Nica. Diperhatikan tank-tank dan artileri sekitar dan truk-truk berjajar di Jalan Sumatra. Kata Kapt Clark "persiapan operasi" kalau saya menolak ultimatum.

Yang saya rasakan berat ialah, waktu saya tiba-tiba dibawa masuk rumah Belanda, di mana ada putrinya tewas akibat tembakan mortir kita. Saya dihadapkan kepada famili yang kemalangan itu.

Baru sesudah acara-acara tersebut kami diterima oleh Jend. Hawthorn, seorang perwira tinggi Inggris yang berbadan tinggi dan tidak sekali pun tersenyum waktu pertempuan itu.

(Waktu saya tahun 1950 ke New Delhi, saya dapat penjelasan dari Kepala Staf Umum AD India, Jend. Kalwant Singh, bahwa ia adalah seorang komandan yang berwibawa. Kol. Singh pernah jadi komandan kompi dalam batalyon Hawthorn.)

Ia tidak mau berbicara langsung dengan Jend. Kartasasmita atau saya. Ia hanya berbicara kepada Menteri Syafrudin dan Walikota Syamsurijal. Ia tidak bersedia mempertimbangkan kembali isi ultimatum.

Katanya, rakyat akan tetap tenang di tempat kalau tidak dihasut oleh TRI.

Kami berunding, dan panglima komandemen memutuskan, supaya kami, terutama saya sebagai petugas setempat, langsung minta perhatian dan perantaraan PM Syahrir di Jakarta.

Maka kami boleh ikut pesawat dakota Inggris ke Jakarta. Inilah saya pertama kali naik pesawat terbang. Melalui residenan saya titipkan pesan kepada staf TRI untuk mempersiapkan segala sesuatu.

Kami mendarat di Kemayoran dan diantar dengan mobil, yang disetir oleh seorang wanita Belanda, ke rumah seorang pegawai Republik untuk tempat bermalam. Malamnya saya diterima oleh PM Syahrir di kediamannya di Pegangsaan Timur, Gedung Proklamasi, sambil ikut makan malam. Sebagai nyonya rumah bertindak sekretarisnya, yang kemudian menjadi nyonya Syahrir. PM menasihatkan, untuk melakukan saja sebagaimana dipesankan sebelumnya melalui Menteri Safrudin.

Saya pulang ke tempat menginap, kepada panglima komandemen minta putusan. Katanya: bertindak menurut keadaan. Kalau sampai pecah pertempuran supaya diberi tahu, dan ia akan datang. 

Kol. Hidayat menelepon saya dari Purwakarta: "Nas, kamu mulai ikut diplomasi." Ia baru selesai dari penyelesaian peristiwa Sukabumi.

Esoknya saya bangun dan mendengar dentuman-dentuman artileri Inggris yang sedang meladeni pertempuran di Jakarta Timur jurusan Klender. Menurut mereka di Jakarta, "bunyi-bunyian" demikian terjadi hampir tiap hari.

Baru esok siangnya saya dapat kesempatan tempat di pesawat terbang untuk pulang ke Bandung. Saya disertai oleh seorang letnan Inggris dalam satu dakota yang penuh orang-orang Belanda. Saya dapat rasakan pandangan-pandangan mata mereka kepada seragam TRI saya yang penuh rasa permusuhan.

Di Bandung saya dibawa ke markas div. 23 Inggris. Kol. Hunt menanyakan putusan yang saya bawa. Ia tegaskan, bahwa TRI hari Ahad itu juga harus keluar dari Bandung Selatan. Ia tawarkan 100 buah truk untuk mengangkut kami.

Kami katakan tak mungkin saya menerima tawaran itu, dan saya yakin bahwa akan terjadi insiden-insiden tempur, dan bahwa rakyat akan mengikuti TRI. Tapi ia berkata, bahwa rakyat ingin tenteram, kecuali kalau diintimidasi oleh tentara. Ia jelaskan, bahwa Bandung Selatan telah diberitahukan segala sesuatu. Pamflet-pamflet telah dijatuhkan hari Sabtu sore, waktu saya ke Jakarta, dan akan menenangkan rakyat dengan suatu pidato radio.

Saya menyeberangi garis demarkasi, dijemput oleh perwira penghubung resimen 8, Letnan Sugiharto (jaksa Agung RI di masa Orde Baru). Ia tunjukkan lobang-lobang di jalan, di mana telah ditanam bom-bom batok bekas Knil. (Bersambung).



Sumber: Pikiran Rakyat, 26 Maret 1992



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...