Hari-hari ini, Nyonya Tijeng (85) seharusnya bergembira. Pemerintah Belanda baru saja mentransfer santunan sekitar Rp 220 juta kepadanya. Dengan uang itu, keinginannya membangun rumah sejak bertahun-tahun lalu akan segera terwujud.
Akan tetapi, Tijeng justru terkulai di kasur. Dia mengaku sangat pusing, penglihatan terganggu, dan tak cukup kuat menopang badan untuk sekadar duduk. "Saya takut orang-orang datang ke sini," kata Tijeng di rumahnya di Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis (22/12).
Tijeng adalah satu dari sembilan janda dan seorang korban yang menggugat Pemerintah Belanda atas tragedi kemanusiaan yang menewaskan ratusan warga Rawagede (kini Balongsari), 64 tahun lalu. Dengan bantuan Komite Utang Kehormatan Belanda dan pengacara Liesbeth Zegveld, mereka, antara lain, menuntut permintaan maaf Belanda kepada bangsa Indonesia dan membayar kompensasi kepada korban tragedi Rawagede.
Pada 14 September 2011, pengadilan Den Haag akhirnya memenangkan gugatan mereka. Pemerintah Belanda pun diwajibkan membayar ganti rugi kepada para penggugat. Terhitung sejak Jumat (16/12), dana santunan pun dicairkan, setiap penggugat menerima 20.000 euro atau sekitar Rp 220 juta.
Menurut Karmas (57), anak kedua Tijeng, ibunya tertekan saat beberapa perwakilan desa datang ke rumah dan meminta Tijeng menyerahkan Rp 100 juta dari uang santunan itu. Mereka meminta Tijeng menandatangani atau membutuhkan cap jempol kesanggupan. Namun, istri almarhum Nimong bin Saum itu tak langsung setuju.
"Butuh lebih dari satu jam untuk menunggu kesanggupan Ibu (Tijeng). Sejak itu, dia terlihat sangat tertekan, kesehatannya menurun drastis, dan tak doyan makan. Padahal, saat peringatan tragedi Rawagede, 9 Desember, dia masih sanggup berjalan dengan dipapah untuk menghadiri acara itu," kata Karmas.
Sejak lama Tijeng bercita-cita membangun rumah. Akibat keterbatasan ekonomi, Tijeng tinggal berimpitan bersama 10 anak, menantu, cucu, dan buyutnya di bangunan berukuran sekitar 7 meter x 16 meter.
Berbagi
Beberapa penggugat juga merasa "terteror" oleh permintaan itu. Apalagi, tersebar ancaman keluarga penerima santunan akan didemo jika tidak menyerahkan sebagian dana yang mereka terima dari Pemerintah Belanda. Akibat ketakutan, salah satu keluarga mengungsi ke luar kota hingga beberapa hari.
Ketakutan juga diungkapkan keluarga janda Wiusah (almarhum), Lasmi (80), dan Saih bin Sakam (almarhum). Mereka mengaku terpaksa menyetujui pembagian uang santunan, dan tak ingin terjadi keributan akibat uang santunan.
Tasmin (62), anak Saih, mengaku prihatin dengan suasana kampungnya setelah dana santunan cair. Tanpa permintaan dari aparat desa, keluarga Saih sebenarnya telah berinisiatif "membagi rezeki" ke janda-janda tua dan keluarga miskin di sekitarnya.
Jika Tijeng berniat membangun rumah, Tasmin berencana menggunakan uang santunan untuk modal usaha, seperti membuka warung dan menyewa atau membeli sawah.
Ketua Yayasan Rawagede Sukarman mengatakan, penyisihan sebagian santunan adalah keinginan bersama ahli waris korban tragedi Rawagede. Saat dilayangkan ke Pemerintah Belanda tahun 2008, gugatan sebenarnya mencakup seluruh ahli waris dan korban yang mencakup 181 keluarga.
Kepala Desa Balongsari Mamat menyatakan, dengan pemotongan Rp 100 juta per keluarga, dana yang diharapkan terkumpul mencapai Rp 1 miliar. Nantinya, dana terkumpul akan dibagi rata kepada 171 ahli waris lain.
Setelah sempat tegang akibat dana santunan, suasana Desa Balongsari berangsur tenang. Seluruh keluarga penerima santunan menyatakan siap menyisihkan dana yang mereka terima, sementara 171 ahli waris lain telah bersiap menunggu pembagian jatah santunan.
(MUKHAMAD KURNIAWAN)
Sumber: Kompas, 26 Desember 2011


Komentar
Posting Komentar