Langsung ke konten utama

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION


Bandung Lautan Api

Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan."

Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor.

Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota.

Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air".

Keadaan amat emosional

Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirnya: menyimpang dari keputusan pemerintah RI, yakni: Mengungsi, bumi hangus, infiltrasi gerilya ke utara, dan kelak juga terus-terusan ke Bandung Selatan. Masing-masing kerjakan menurut sektornya.

Pukul 14.00 dengan resmi disiarkan perintah div TRI:

1. Semua pegawai dan rakyat harus ke luar kota sebelum pukul 24.00.

2. Tentara melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan yang ada.

3. Sesudah matahari terbenam, supaya Bandung Utara diserang dari pihak utara dan dilakukan pula bumi hangus sedapat mungkin. Begitu pula dari Selatan harus ada penyusupan ke utara.

Masyarakat cukup kaget menerima keputusan ini, karena malam sebelumnya walikota telah berpidato radio, bahwa rakyat dan pemerintah sipil akan tetap di kota. Namun rakyat menyambut putusan kita bersama itu dengan penuh semangat. Batalyon-batalyon dari resimen 8 dan 9, resimen Pelopor dan MDPP punya sektor-sektor sendiri dari Padalarang sampai dengan Cicadas, sampai mundur ke posisi-posisi baru di pinggir selatan Citarum dan timur Ujungberung.

Rencana serangan ke utara terganggu oleh ledakan-ledakan bom yang terjadi sebelum waktunya.

Sungguh, pasti setiap pejuang akan masih tetap terharu jika mengenangkan malam Senin 24 Maret 1946 itu. Tentara membakar sendiri markas, asrama-asramanya dan bangunan-bangunan penting, rakyat banyak membakar sendiri rumah-rumahnya. Semua jalan ke luar mulai selatan Cimahi sampai ke Ujungberung di timur penuh rakyat mengungsi, terutama jalan Dayeuhkolot dan Margahayu, puluhan ribu dengan hanya membawa sedikit harta yang bisa diselamatkan. Hujan turun rintik-rintik sepanjang malam, langit terang-benderang oleh lautan api, dan udara dipenuhi oleh ledakan serta tembakan.

Untuk meninjau betapa pelaksanaan lautan api itu, di waktu Isya' bersama komandan polisi Tentara Mayor Rukmana, saya naik di atas bukit di selatan, di mana nyata jelas lautan api dari Cimahi di barat sampai ke Ujung berung di timur. Kemudian kami kembali ke dalam kota untuk meninjau pelaksanaan sampai lk. tengah malam. Komandan-komandan resimen, batalyon dan pemimpin-pemimpin MDPP sibuk di tengah-tengah pasukan dan sektornya. Div menempati pos komando di jalan lintang antara Kulelet-Cangkring. Resimen Pelopor di sebelah barat dan resimen 8 serta MDPP di sebelah timur.

Maka Komandemen mengutus kepala staf ke Banjaran, karena Yogja minta pertanggungjawab, mengapa saya tidak pertahankan Kota Bandung sampai titik darah terakhir, saya nyatakan bahwa panglima komandemen lebih tahu apa yang ia telah katakan kepada saya dan lebih-lebih lagi Yogja harus tahu, bahwa saya tak mungkin mengorbankan batalyon-batalyon TRI, efektif l.k. 100 pucuk senapan per batalyon seluruhnya beserta lasykar untuk menangkis div 23 dalam ruangan yang demikian kecil. Walaupun kami bertempur, akhirnya kami takkan dapat menghindari pendudukan oleh musuh. Kalau toh musuh akan memperolehnya baiklah ia menerima puing-puing, tetapi batalyon-batalyon TRI dan lasykar-lasykar tetap utuh untuk tiap malam melakukan gerilya di dalam kota.

Bulan Mei 1946, Jend. Urip Sumoharjo dengan resmi menerangkan di Purwakarta, bahwa keputusan yang telah diambil mengenai Bandung, adalah keputusan yang terbaik.

Pak Urip dapat pula menerima rencana saya untuk lebih meningkatkan pertempuran-pertempuran di luar kota, yakni menghadang konvoi-konvoi Inggris. Beliau menjanjikan mengirim batalyon Sudarto yang disebut "batalyon mobil MBT" untuk ditempatkan di Cikalong Kulon menghadapi jalan antara Cianjur-Rajamandala dari utara.

Sebagai prajurit yang mendarah daging, beliau tak jemu-jemu mengikuti inspeksi ke pasukan-pasukan sepanjang hari. Bahkan tibanya di salah satu batalyon, batalyon Hamid Guno di Pangkalan, di lereng gunung utara Padalarang, sudah gelap malam di bawah hujan rintik-rintik. Batalyon dijajarkan sepanjang jalan desa dengan hormat senjata.

Pak Urip berjalan kaki menginspeksi. Biarpun kita militer, tapi sikap laku orang Timur sulit ditinggalkan. Komandan batalyon memasang payung di atas kepala Pak Urip, dan seorang perwira, mungkin ajudannya memegang lampu stromking di depan muka beliau untuk terus dapat bertatapan dengan prajurit. Demikanlah Pak Urip jalan tegap menginspeksi pasukan yang panjang itu. Hati saya masih merasa geli mengenangkan "Pertunjukan itu".

Majalah "Tentara" menulis:

Rakyat Bandung!

Pangeran Diponegoro telah pernah berkata: "Rumah dan tempat tinggal kita telah habis terbakar. Marilah kita mendirikan rumah di masing-masing hati kita.

Marilah saudara rakyat Bandung, dengan iman yang teguh kita mendirikan rumah baru yang lebih molek daripada rumah yang terbagus dalam kotamu yang telah menjadi abu.

Rumah di mana manusia bertemu Tuhan untuk meminta keadilan dan kebenaran."

Maka setelah pendudukan Bandung Selatan oleh Sekutu, didatangkanlah pasukan-pasukan Belanda.

Barulah April 1946, selama 3 hari dakota-dakota Inggris mondar-mandir mendatangkan 2.500 orang Belanda dari Jakarta.

Perang psychologi

Bandung Selatan diserahkan oleh div ke-23 kepada tentara Belanda, brig V di bawah Kol. Meier. Maka buat pertama kali kita langsung berhadapan dengan Belanda di daerah Bandung. Ia adalah jauh lebih ganas daripada tentara Inggris-India, karena memperjuangkan pemulihan kekuasannya. Ia sangat aktif melakukan perang psykologi dan agitasi politik. Patroli-patrolinya lebih aktif dan intensif. Dalam pertempuran lebih fanatik, ia tidak puas dengan menduduki bangunan-bangunan penting dan jalan-jalan utama. Pos-pos penjagaannya banyak dan ia membersihkan daerah lingkaran artilerinya. Semakin jelaslah, bahwa pada suatu waktu semua kota-kota pendudukan oleh Inggris akan diserahkan kepada Belanda. Dengan pemindahan kekuasaan militer Sekutu itu kedatangan Belanda akan mulailah peperangan yang sebenarnya untuk menaklukkan rakyat kita kembali ke bawah kedaulatan Belanda. Tentara Inggris masih membatasi kedudukannya, serta menghindari urusan-urusan pemerintah sipil. Tetapi dengan Belanda maka pembatasan-pembatasan tersebut tidak ada lagi.

Sektor Margahayu, Cigereleng, dan Ujungberung selalu hangat.

Setelah mengungsi dari Bandung, untuk sementara pos komando saya berada di Kulalet, sebelah Selatan jembatan Dayeuhkolot (Citarum). Seterusnya kami pindah ke Banjaran, di Desa Kiangroke. Seperti di Regentsweg Bandung, di sini pun pos komando berarti sekaligus tempat tinggal bersama-sama.

Rakyat Bandung mengungsi pada umumnya ke Selatan, ke Soreang, Banjaran, Ciparay, Pangalengan, dan Cililin.

Dengan peristiwa "Bandung Lautan Api" timbullah banyak diskusi. Rasanya kita belum menemukan sistem pertahanan yang sesuai. Semangat tempur kita adalah tinggi. Tekad "rebut Bandung kembali" adalah tinggi. Istilah "serangan umum" tampil. Lagu "Hallo-hallo Bandung" amat populer.

Sejak dulu saya mengusulkan ke MBT serangan umum di seluruh daerah Jawa, karena menurut perhitungan saya, pasti Inggris/Belanda kekurangan tenaga. Tapi jika kita tidak serentak menyerang di mana-mana, maka lawan dapatlah menyelesaikan kita satu per satu. Dengan pertanggung jawab, peristiwa saya berkesempatan pula mengajukan saran-saran untuk seterusnya, terutama ke Markas Besar Yogja.

Dan Yogja pun sedang menelaah keadaan kita pada umumnya.

Awal th. 1946 telah ditandai dengan perubahan nama TKR jadi TRI dan pembentukan panitia besar Urip Sumoharjo untuk menyempurnakan sistem dan organisasi pertahanan kita. 

Medio Mei 1946 setelah selesai kerja panitia, semua panglima dan komandan resimen dipanggil ke Yogja. Dalam perjalanan saya seiring dengan komandan resimen 11 Sut Gandanegara, komandan resimen 6 Suroto Kunto, dan seorang dari div II Mayor. Dengan penggabungan-penggabungan baru maka perlulah pemilihan panglima. Saya terpilih untuk div I baru dalam rapat di sekolah Kepandaian Putri.

Front Bandung Selatan dioper brig 4 baru dengan pos komando di Kiangroke (Banjaran). Front Bandung Timur oleh 1 brigade dari div II dan Bandung Utara tetap batalyon Sukanda, tapi ke Barat oleh brig 3. Diperlukan pos komando yang cukup sentral, mengingat daerah Jawa Barat di atas peta sebagai kena tusuk "keris" Belanda, berupa pendudukan Jakarta-Bogor-Cianjur-Bandung, dengan div. 7 Des. di Jakarta (Mayjen. Durst Britt) dan div. "B" Knil di Bandung (Mayjen ke Waal).

Diambil tempat pos komando di Timur ujung sarung keris itu, yakni di Cijeruk, Kecamatan Tanjungsari yakni di antara Bandung dan Sumedang, Markas lengkap akan ditempatkan di Sumedang. Kelak setelah Tasikmalaya diserahkan oleh div. II kembali kepada komando div. I, barulah ditentukan kediaman panglima div. I Tasikmalaya, di mana Gubernur Jawa Barat berkedudukan.

Amat sulit perhubungan untuk wilayah div. I, karena jalan raya yang poros dikuasai oleh Belanda. Inspeksi resimen-resimen dan front harus berkeliling dari Krawang ke Cikampek, Purwakarta, Subang, Sumedang, Rancaekek (Bandung Timur), Banjaran (Bandung Selatan), Sukanegara, Sukabumi, Pelabuhan Ratu, Cikotok, Pandeglang, Rangkasbitung, dan Serang.

Serangan umum

Persoalan operasi yang paling mendesak ialah di front Bandung. Akibat Bandung Lautan Api, seperti tadi saya uraikan, perlulah "serangan umum", baik dalam arti menggerilya untuk merintangi konsolidasi dari Belanda, maupun dan terutama untuk menyalakan semangat perlawanan dengan tema "Bandung rebut kembali", sebagaimana termuat dalam "Hallo-hallo Bandung" yang lahir di masa itu di Bandung Selatan.

Saya telah mengirim nota kepada MBT dan pernah dapat langsung menghadap Pak Dirman sendiri untuk dapat mengadakan satu siasat menyeluruh Jawa, sebagaimana di atas telah diuraikan dengan memusatkan kekuatan untuk sasaran di Jawa Barat, khususnya Bogor-Cianjur-Bandung dan akhirnya Bandung. Saya tidak dapat sahutan yang tegas, tapi saya dapat mengerti pula posisi MBT yang lebih bersifat koordinator daripada komando tertinggi tentara pada dewasa itu.

Karena itu div. I memulai rencana dengan kekuatan sendiri, yang menjadi lebih dimungkinkan karena penyatuan 3 div. TRI Jawa Barat jadi satu div.

Serangan umum ini adalah konsekwensi dari Bandung Lautan Api.

Berigade 2 dan 3 di daerah Bogor dan Jakarta bertugas terus meningkatkan gangguan-gangguan terhadap lalu-lintas musuh dalam Jakarta-Bogor-Cianjur. Pemotongan-pemotongan diutamakan dalam vak Cianjur-Bandung oleh resimen 7 dan resimen 9, disertai atau disusul oleh "serangan umum" terhadap Bandung dari Utara, Timur dan Selatan.

Serangan umum dalam arti infiltrasi gerilya untuk terus menghangatkan dalam kota, sambil pasukan rakyat ramai-ramai melabrak pinggir-pinggir kota, serangan umum yang berupa proses. Gerakan ini diharapkan memuncak di bulan puasa, dan dibuat pula slogan "Lebaran di Bandung".

Saya mengadakan rapat-rapat siasat di front Selatan, Utara, dan Timur dengan komandan-komandan yang bersangkutan serta tokoh-tokoh masyarakat. Salah satu rapat di front Selatan berlangsung di markas batalyon Permana di perkebunan Arjasari, Banjaran.

Saya masih ingat pendapat komandan resimen 9 Letkol Duyeh Suharsa, pernyataan yang tegas tentang kemampuan satuan-satuannya, yang bukan saja kurang terlatih, melainkan pula karena hanya l.k. 10% bersenjata: "Biarpun Marsekal Zukov yang pimpin tak mungkin berhasil dengan satuan-satuan begini."

Dengan itu tergambar sekaligus keadaan militer pada waktu itu. Modal kita adalah semangat belaka. Namun semangat pun harus dibina dengan kegiatan-kegiatan ofensif tertentu.

Pada waktu perbincangan hangat itu, kami dikagetkan oleh letusan hebat yang menggetarkan gedung tempat kami berapat. Kami semua berlompatan keluar dan menyaksikan kepulan asap yang besar di Dayeuhkolot. Menurut berita radio Belanda, adalah meledaknya gudang amunisi bekas Jepang di Dayeuhkolot karena kecelakaan. Menurut pimpinan perjuangan adalah hasil dan infiltrasi mereka, di mana seorang bernama Toha berkorban jiwa.

Dalam kondisi dewasa itu logislah bahwa kita tak berkesempatan untuk meneliti mana yang benar. Namun kejadian itu menyalakan semangat di pihak kita. Memang sudah terasa di sana-sini kejemuan pasukan-pasukan yang terus menerus bergiliran melakukan penyusupan malam. Serangan umum ini merupakan praktek dan pendidikan sekaligus bagi kita. Terutama bagi saya sebagai pimpinan, rasanya terus memeras otak, tapi tidak ketemu saja yang dicari: Bagaimana dan apa sebenarnya yang harus dipolakan oleh pimpinan. Dan tuntunan dari Yogja belum juga ada. Satu hal yang selalu jadi akhir pemikiran: Sebenarnya perlu serangan umum di seluruh Indonesia, khususnya di semua front di Jawa, agar musuh sekaligus digigit di mana-mana, seperti semut-semut mengalahkan gajah.

Juga telah jelas, bahwa fihak Belanda cukup banyak mengetahui maksud-maksud kita, maklumlah kita menggerakkan belasan ribu rakyat serta tentara, sering rapat-rapat siasat, dsb-nya cara-cara yang cukup terbuka.

Wajarlah bahwa fihak Belanda, div. "B" dari Knil, yang menduduki Bandung-Cianjur itu, mendahului pula dengan berbagai tindakan. Mereka mempergiat patroli tempur di Padalarang, Cimahi, Lembang, Ujungberung, dan Margahayu-Dayeuhkolot. Mereka menempatkan pos-pos yang lebih jauh keluar dan terus bergiat untuk menduduki pinggir Selatan Citarum dan Margahayu dan Dayeuhkolot. Karena itu hampir tiap hari mereka menembaki dengan mortir serta artileri kedudukan-kedudukan kita di sekitar itu, yang hampir tiap hari meminta korban, bahkan mereka menembaki berkali-kali sampai ke Banjaran dan Soreang.

Begitu pula di front Lembang, Cikalong dll di Utara.

Namun dengan keadaan umum yang berlaku, semangat serang pihak kita tetap tinggi. Dapur-dapur umum, pos-pos palang merah, dll-nya tumbuh pesat sekeliling Bandung untuk mendukung serangan umum itu.

Pasukan-pasukan rakyat, terutama Hisbullah-Sabilillah beribu-ribu datang dari Priangan Timur, Cirebon, dan Karawang Timur. Kebanyakan tak pernah sampai ke garis depan yang sebenarnya, karena tidak terlatih, dan hanya bersenjatakan senjata tajam. Banyak lelucon-lelucon dewasa itu tentang barisan-barisan rakyat itu, karena tentu masih gampang kaget, kalau ada apa-apa.

Dengan meningkatnya serangan-serangan gerilya ke daerah pendudukan, maka korban-korban pun meningkat. Karena itu adalah acara yang banyak dapat kita saksikan di kota-kota kecil sekeliling Bandung, berupa upcara-upacara pemakaman, yang selalu khidmat dengan tekad untuk meneruskan perjuangan.

Dari lereng gunung sebelah Selatan Bandung, kelihatan tiap malam kebakaran-kebakaran di daerah pendudukan. 

-- ( B E R S A M B U N G ) --



Sumber: Pikiran Rakyat, 27 Maret 1992



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan