Langsung ke konten utama

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (3) Pasukan RI Mengadang Konvoi Inggris

Oleh AH Nasution

Prolog Bandung Lautan Api

Bulan Maret 1946 terjadilah hal-hal yang kita khawatirkan semula yang membawa kita kepada peristiwa sejarah "Bandung Lautan Api", korban-korban yang tak bisa dielakkan dalam kondisi politik dan militer dewasa itu. Namun bagi kemerdekaan dan kedaulatan tiada korban yang terlalu mahal.

Inisiatif yang menjuruskan kita ke Bandung Lautan Api itu datang dari kedua pihak. Di satu pihak Inggris menuntut kebebasan untuk mengambil pasukan-pasukan Jepang dan menginternir diri di daerah Lembang dan Sukabumi. Pemerintah pusat logis menyetujuinya, tapi pemuka-pemuka rakyat dan TKR tak mungkin dapat menyetujuinya.

Di pihak kita panglima komandemen memerintahkan gangguan-gangguan supaya ditingkatkan terhadap konvoi-konvoi Inggris antara Puncak-Bandung, yang meliputi daerah div. saya. Kebetulan mobil beliau telah tersasar dengan tidak berdaya di tengah-tengah konvoi-konvoi Inggris yang melewati Puncak. Saya dipanggil ke Purwakarta dan mendapat perintah untuk memperhebat pengadangan-pengadangan.

Saya pilih tempat-tempat pengadangan di antara Puncak-Cianjur dan antara Ciranjang-Rajamandala-Padalarang, yakni dalam kompleks-kompleks pegunungan. Jika konvoi terhenti, rakyat harus menebang di pohon-pohon di depan dan belakang konvoi untuk merintangi jalan.

Dilarang mengadang di daerah kampung dan kota, mengingat jawaban musuh yang lazim membalas membabi-buta dengan artileri dan pesawat tempur terhadap kampung-kampung.

Diperhitungkan bahwa musuh mungkin akan membalas terhadap Sukabumi dan Bandung Selatan, tempat basis-basis kita. Bandung Selatan dipersiapkan, termasuk persiapan-persiapan tembakan mortir terhadap markas-markas musuh terkuat di Bandung Utara, seperti Gedung Sate (markas div. 23), DVO (bekas Dep. Peperangan Belanda), dll. Akan digunakan pertama kali kompi mortir-moritr dari batalyon Beruang Merah (May Abd. Saleh) dan peleton mortir batalyon Sukanda di Lembang.

Tgl. 8 Maret 1946 panglima Inggris, Jenderal Hawthorn berpidato radio. Katanya ribuan interniran Belanda dan Jepang telah dibunuh oleh ekstremis-ekstremis Indonesia. Divisinya telah bertindak di Semarang dan Surabaya untuk menyelamatkan interniran itu. Katanya korban divisinya sudah 1.200 orang, jumlah yang lebih besar daripada korbannya di medan perang Imphal dulu melawan Jepang.

Tgl. 10 Maret 1 batalyon tim pertempuran Inggris, diantar oleh pesawat-pesawat udara menyerbu Lembang, menerobos ke Ciater, mengambil interniran AL Jepang di bawah Laksamana Maeda. Batalyon Sukanda tentulah tak dapat merintangi.

Sesudah 1 batalyon diperkuat pula menyerbu dari Bogor ke Sukabumi untuk mengambil interniran Jepang di Ubrug. Di sini tentara Inggris dapat perlawanan sengit sepanjang jalan dari rakyat bersama TRI res 3 di bawah Letkol Edy Sukardi. Setelah satu setengah hari lawan bisa sampai Sukabumi dengan korban jiwa dan alat yang berarti, a.l. 9 truk dan 2 jeep jatuh di tangan kita dan 2 perwira serta 26 tamtama gugur. Tapi pada kita gugur 60 orang.

Inggris menembaki dari udara sepanjang jalan Cibadak-Sukabumi. Panglima Inggris memberi ultimatum, hentikan pertempuran dalam 48 jam. PM Syahrir tak bisa menolak. Kol. Hidayat harus berunding dengan Inggris, seorang kolonelnya menyambutnya di markas besar dengan ucapan "kamu berani melawan tentara Inggris yang telah masyhur ini," Kol. Hidayat bersama perwira Inggris diterbangkan ke Sukabumi dengan pesawat piper yang mendarat di lapangan sepakbola untuk meneruskan pelaksanaan ceasefire order.

Pertempuran melanjut dengan mundurnya Inggris ke Cianjur, dan datangnya bantuan dari Bandung serta Bogor. Terjadilah pertempuran-pertempuran dari antara Bandung sampai Bogor.

Atas perintah Jakarta dari pemerintah RI dan dari markas besar Inggris diusahakan penghentian tempur di Sukabumi. Tapi tak dapat segera berhasil. Serangan yang meluas terhadap Inggris di Sukabumi membahayakan mereka, sehingga datang bantuan mereka dari Bogor dan Bandung. Mereka korban 3 perwira Inggris, 1 orang perwira India, dan 37 orang tamtama.

Maka datanglah ultimatum Inggris: Jika serangan tidak dihentikan, Inggris akan menggerakkan segala kekuatan "dengan tidak ampun lagi".

Maka Inggris terus menembaki lagi dari udara sepanjang jalan Cibadak-Sukabumi. Telepon dan listrik terputus. Rakyat kocar-kacir. Pada hari ke-4 Inggris meninggalkan Sukabumi ke jurusan Cianjur. Di Sukaraja mendapat serangan lagi, Inggris terpaksa bermalam di Selatan Kota Cianjur dan esoknya masuk kota.

Sementara itu bantuan dari Bandung dapat hadangan pula di berbagai tempat selama hari-hari itu, di kompleks Cisokan, Citarum, dan Purabaya, juga bantuan via Puncak diserang sehari di Cugenang. Inggris kemudian dapat masuk terrein dan menyerang basis kita dikontrak Gedeh. Korban kita 10 orang. Begitu pula di daerah Padalarang musuh melakukan pembersihan jauh ke dalam, di antara yang ditawannya, termasuk kepala staf resimen 9 TRI. 

Berangsur-angsur Inggris membersihkan kembali jalan raya di daerah Cianjur untuk pengamanan jalan Puncak-Cianjur. Ia batalkan maksudnya untuk menduduki Kota Sukabumi.

Berangsur-angsur ia teruskan kegiatan itu di daerah Rajamandala dan Padalarang. Cianjur diduduki oleh 1 batalyon. Sepanjang jalan ia tempatkan pos-pos penjagaan, dan udara di atas dipatroli pula terus.

Lebih kurang 2 minggu musuh perlukan untuk membuka kembali dan mengamankan jalan konvoi Bogor-Bandung. Tgl. 17 Maret 1946 panglima besar Inggris mengundang pemerintah RI di Jakarta untuk merundingkan pengantaran konvoi Bogor-Bandung.

Sementara daerah Citarum sampai Bandung masih ada insiden-insiden dan pesawat-pesawat udara Inggris masih bergiat, maka pertempuran justru menghangat di sekitar Andir, bagian barat Kota Bandung.

Ultimatum Inggris

Jadinya rencana Sekutu untuk dengan paksa mengambil pasukan-pasukan Jepang dari daerah Sukabumi, terutama sekitar Ubrug telah gagal dengan korban-korban yang tak sedikit. Rencana mereka tersebut telah tertumpuk pula kepada rencana serangan umum kita terhadap konvoi-konvoi sepanjang Puncak-Bandung. Karena didahului oleh peristiwa Sekutu itu, maka rencana kita pun tak terlaksana. Namun kita telah berada dalam persiapan tempur, terutama di Bandung Selatan, a.l. dengan rencana penggunaan secara mendadak untuk pertama kali mortir-mortir dari Bandung Selatan dan Lembang.

Akibat pertempuran-pertempuran konvoi antara Sukabumi-Cianjur-Bandung, maka div Inggris/India ke-23 melakukan penjagaan yang ketat  di mana-mana, lebih-lebih di daerah Cimahi-Andir, sehingga mereka lebih dalam masuk daerah-daerah kita. Hal ini mengakibatkan clash di Fokkerweg dengan satuan-satuan dari batalyon Punjab. Maka di pihak kita secara otomatis dilaksanakan secara penembakan terhadap Bandung Utara dengan sasaran-sasaran utama ialah DVO (Dept. Peperangan dan Gedung Sate, kini kantor Gubernur Jawa Barat) sebagai markas besar div. 23.

Penembakan-penembakan mortir ini, yang belum secara terlatih dan belum punya alat-alat membidik yang semestinya, ke sasar balasan sampai puluhan meter, sehingga mengenai rumah-rumah Belanda sekitar jaarbeurs dan kamp Rapwi di Jalau Riau dengan korban-korban sipil yang disayangkan sekali.

Kemarahan Inggris memuncak, apalagi setelah pengalaman di Sukabumi.

Div. 23 dengan mendadak melepaskan selama 20 menit tembakan-tembakan artileri ke Bandung Selatan dengan sasaran asrama batalyon Sumarsono/Bat II di Tegallega. Tapi kebanyakan peluru mengenai kompleks PTT, dengan korban lebih kurang 30 orang, ditambah dengan korban clash lain jadi l.k. 50 orang.

Radio musuh mengumumkan bahwa tembakan-tembakan itu adalah untuk menghajar steling-steling mortir-mortir kita.

Ketika tembakan-tembakan berlangsung, lewat di atas pos komando div. di Regentsweg kami agak lengkap hadir di markas. Kepala staf sedang di kamar kecil. Tanpa ingat keadaannya, ia lari ke luar dan terus ke telepon untuk meminta laporan ke batalyon dan resimen. Baru kemudian ia sadar, bahwa ia tak sempat menyelesaikan pakaiannya. Perlu dicatat, bahwa di pos komando ada pula kerja seorang tukang ketik wanita. Kami tertawa gelak-gelak kemudian.

Kami perkirakan susulan dengan serbuan, tapi tidak terjadi. "Rupanya markas besar Inggris di Jakarta mengoper persoalan, yakni mengultimatum pemerintah RI," supaya Bandung Selatan dikosongkan oleh TRI sejauh garis 10-11 km. Pemerintah sipil RI boleh tetap dalam kota, dan dilarang bumi hangus.

Rupanya div. 23 menggunakan kesempatan itu. Sudah lama mereka ingin bertemu dengan saya, tapi selalu saya tolak. Hanya gubernur, residen, dan terutama walikota serta pimpinan Barisan Api yang sering bertemu.

Walikota Syamsurijal pernah melaporkan, bahwa Jenderal Hawthorn berkata: "I don't trust col Nasution." Kapt. Clark, penghubung yang berbahasa Belanda memberi komentar, setelah saya lakukan perlucutan terhadap Api: "Sutojo ditangkap, karena ia teman saya!"

Selalu jadi soal yang mereka hendak bicarakan kepada saya ialah: Pertama, untuk mengembalikan regu prajurit-prajurit India yang melarikan diri ke pihak kami dengan truk, beserta alat-alat radio dan senjata ringan. Juga mereka ingin, supaya kami perkenankan rakyat menjual makanan, terutama sayuran kepada penduduk Belanda yang ada 10-`15.000 orang di Bandung.

PM Syahrir memutuskan di Jakarta supaya TRI memenuhi tuntutan, dengan pertimbangan bahwa memang div 23 Inggris bukan tandingan bagi TRI yang serba kurang. Karena itu supaya TRI diselamatkan. Tentang kota diharapkan kembali nanti sebagai hasil perundingan, di mana pihak sana toh mengakui di fakto RI di seluruh Jawa. Karena itu diinstruksikan supaya pemerintah sipil dan polisi tinggal di kota, dan jangan bumi hangus.

Tanggal 23 Maret 1946 diutuslah Menteri Syafrudin Prawiranegara ke Bandung beserta Jend. Kartasasmita melalui fasilitas Inggris. Tapi Jend. tersebut tidak boleh ikut ke Bandung Selatan, karena rupanya Inggris mencurigai sekali kita bisa berkomplot.

Pertemuan dengan menteri diadakan di rumah penghulu, mertua dr. Sugandi, di jalan Dalem Kaum. Di pihak kami ikut gubernur, residen, walikota dan Kepala Polisi.

Inggris menjamin de fakto pemerintah RI di Bandung, seperti keadaan walikota Suwiryo di Jakarta, walikota Mr. Iksan di Semarang dan residen Supangkat di Bogor.

Residen Ardiwinangun berpendapat, bahwa hal itu takkan berhasil di Bandung dan bahwa pemerintah RI di tempat-tempat tersebut juga lumpuh. Semua ajukan keberatan "teknis", bahwa tak mungkin mengungsikan belasan ribu tentara dan lasykar dalam waktu begitu singkat dan keberatan "psykologis" bahwa rakyat sebagian besar akan mengikuti TRI ke luar.

Alhasil kita perlukan meminta panglima Kartasasmita untuk menemui panglima Hawthorn, kiranya bisa ditunda atau diubah isi ultimatum.

Kami bertolak ke Bandung Utara. Bagi saya baru kedua kalinya masuk daerah lawan itu. Pertama kali dahulu ke markas batalyon Punjab di gedung residen Priangan, dan kini div 23.

Panglima Inggris "tidak dapat segera" menerima kami. Kami dibawa ke tempat mes perwira (di Jalan Siliwangi) dan makan siang di situ. Dari mes itu kami melihat ke taman yang bersampingan Kebun Binatang. Kampung pinggir Cikapundung sudah kosong. Walikota mengeluh, melihat taman yang indah di bawah dan berkata: "Dulu kalau hari Minggu saya berjalan-jalan di situ dengan anak-anak saya."

Kami ditanya, makan nasi atau roti. Maka kami dapat nasi, dicampur dengan selei, yang betul-betul asing bagi lidah kami.

Rupanya kami diikat dan disibukkan di daerah Inggris, untuk terpisah dari pasukan-pasukan dan rakyat. Pihak sana sementara itu menyiarkan melalui radio tentang ultimatum yang terjadi tanpa panglima ketahui, karena "kegiatan-kegiatan pihak Indonesia baru-baru ini di daerah Bandung-Sukabumi, dan serangan-serangan pada kamp 'interniran'".

Maklumat Panglima

Diumumkan maklumat panglima tertinggi Serikat di Jawa sbb: 

"Untuk menghalangi terulangnya insiden-insiden yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan bangsa Indonesia bersenjata di daerah Bandung, Sukabumi, akan diambil tindakan-tindakan seperlunya.

Beberapa hari yang paling akhir di daerah Sukabumi dan Bandung telah terjadi ulangan insiden-insiden yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan Indonesia bersenjata. Kota Bandung sebelah utara di mana ada kamp Rapwi, telah ditembaki dengan mortir secara luas, di mana perempuan dan anak-anak menjadi korban, konvoi Rapwi yang hanya membawa makanan dan obat-obatan telah ditembaki dengan senapan mesin rumah-rumah telah dibakar. Dalam waktu 14 hari yang paling akhir Rapwi dan tentara Indonesia telah menderita kecelakaan lebih dari 100 orang.

Pimpinan tertingi tentara Serikat di Jawa telah memutuskan bahwa penembakan dan pembakaran secara tak bertanggung jawab ini harus diberhentikan dengan segera. Karena itu ia telah memerintahkan kepada komandan div untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai maksud itu.

Komandan daerah telah memutuskan membersihkan daerah Bandung Selatan dari orang-orang yang bersenjata. Di mana mungkin tidak dengan pertumpahan darah dan dibolehkan mempergunakan "gas air mata", sebagai diketahui gas ini tidak merusakkan dan akibatnya hanya sebentar.

Bersama dengan pengumuman ini kita telah memberitahukan maksud-maksud kita kepada orang-orang yang bersenjata dan penduduk di Bandung Selatan. Untuk memperingatkan mereka itu kita mempergunakan surat-surat selebaran, radio dan penerangan-penerangan, orang-orang yang bersenjata kita persilahkan meninggalkan kota dan penduduk umum kita minta supaya tetap tenang dan jangan keluar dari jalanan dalam waktu 40 jam yang akan datang ...."

Sampai sore kami disibukkan di Bandung Utara dengan diantar keliling kota, dieskort oleh polisi Nica. Diperhatikan tank-tank dan artileri sekitar dan truk-truk berjajar di Jalan Sumatra. Kata Kapt Clark "persiapan operasi" kalau saya menolak ultimatum.

Yang saya rasakan berat ialah, waktu saya tiba-tiba dibawa masuk rumah Belanda, di mana ada putrinya tewas akibat tembakan mortir kita. Saya dihadapkan kepada famili yang kemalangan itu.

Baru sesudah acara-acara tersebut kami diterima oleh Jend. Hawthorn, seorang perwira tinggi Inggris yang berbadan tinggi dan tidak sekali pun tersenyum waktu pertempuan itu.

(Waktu saya tahun 1950 ke New Delhi, saya dapat penjelasan dari Kepala Staf Umum AD India, Jend. Kalwant Singh, bahwa ia adalah seorang komandan yang berwibawa. Kol. Singh pernah jadi komandan kompi dalam batalyon Hawthorn.)

Ia tidak mau berbicara langsung dengan Jend. Kartasasmita atau saya. Ia hanya berbicara kepada Menteri Syafrudin dan Walikota Syamsurijal. Ia tidak bersedia mempertimbangkan kembali isi ultimatum.

Katanya, rakyat akan tetap tenang di tempat kalau tidak dihasut oleh TRI.

Kami berunding, dan panglima komandemen memutuskan, supaya kami, terutama saya sebagai petugas setempat, langsung minta perhatian dan perantaraan PM Syahrir di Jakarta.

Maka kami boleh ikut pesawat dakota Inggris ke Jakarta. Inilah saya pertama kali naik pesawat terbang. Melalui residenan saya titipkan pesan kepada staf TRI untuk mempersiapkan segala sesuatu.

Kami mendarat di Kemayoran dan diantar dengan mobil, yang disetir oleh seorang wanita Belanda, ke rumah seorang pegawai Republik untuk tempat bermalam. Malamnya saya diterima oleh PM Syahrir di kediamannya di Pegangsaan Timur, Gedung Proklamasi, sambil ikut makan malam. Sebagai nyonya rumah bertindak sekretarisnya, yang kemudian menjadi nyonya Syahrir. PM menasihatkan, untuk melakukan saja sebagaimana dipesankan sebelumnya melalui Menteri Safrudin.

Saya pulang ke tempat menginap, kepada panglima komandemen minta putusan. Katanya: bertindak menurut keadaan. Kalau sampai pecah pertempuran supaya diberi tahu, dan ia akan datang. 

Kol. Hidayat menelepon saya dari Purwakarta: "Nas, kamu mulai ikut diplomasi." Ia baru selesai dari penyelesaian peristiwa Sukabumi.

Esoknya saya bangun dan mendengar dentuman-dentuman artileri Inggris yang sedang meladeni pertempuran di Jakarta Timur jurusan Klender. Menurut mereka di Jakarta, "bunyi-bunyian" demikian terjadi hampir tiap hari.

Baru esok siangnya saya dapat kesempatan tempat di pesawat terbang untuk pulang ke Bandung. Saya disertai oleh seorang letnan Inggris dalam satu dakota yang penuh orang-orang Belanda. Saya dapat rasakan pandangan-pandangan mata mereka kepada seragam TRI saya yang penuh rasa permusuhan.

Di Bandung saya dibawa ke markas div. 23 Inggris. Kol. Hunt menanyakan putusan yang saya bawa. Ia tegaskan, bahwa TRI hari Ahad itu juga harus keluar dari Bandung Selatan. Ia tawarkan 100 buah truk untuk mengangkut kami.

Kami katakan tak mungkin saya menerima tawaran itu, dan saya yakin bahwa akan terjadi insiden-insiden tempur, dan bahwa rakyat akan mengikuti TRI. Tapi ia berkata, bahwa rakyat ingin tenteram, kecuali kalau diintimidasi oleh tentara. Ia jelaskan, bahwa Bandung Selatan telah diberitahukan segala sesuatu. Pamflet-pamflet telah dijatuhkan hari Sabtu sore, waktu saya ke Jakarta, dan akan menenangkan rakyat dengan suatu pidato radio.

Saya menyeberangi garis demarkasi, dijemput oleh perwira penghubung resimen 8, Letnan Sugiharto (jaksa Agung RI di masa Orde Baru). Ia tunjukkan lobang-lobang di jalan, di mana telah ditanam bom-bom batok bekas Knil. (Bersambung).



Sumber: Pikiran Rakyat, 26 Maret 1992



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan