Langsung ke konten utama

8 Maret 1942

Oleh H Rosihan Anwar

Tepat 50 tahun yang lalu, pada tanggal 8 Maret 1942 pukul 17.15 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer bersama Panglima Tentara KNIL Letjen Heinter Poorten bertemu di Kalijati, Jawa Barat dengan Letjen Hitoshi Imamura, komandan Tentara ke-16 Dai Nippon. Waktu itu Batavia (Jakarta) sudah jatuh ke tangan tentara Jepang pada tanggal 5 Maret, setelah Jenderal Imamura mendarat di pantai Banten tanggal 1 Maret 1942.

Tatkala tentara Jepang memasuki Jakarta dari jurusan Tangerang, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum, Subadio Sastrosatomo, heran melihat begitu banyak serdadu Jepang memakai sepeda. "Lho, ini tentara naik sepeda, kok bisa menang," pikir Subadio. Ia tidak sendirian mempunyai pikiran demikian. Seorang mahasiswa Kedokteran, Abdul Gani Samil, yang berada di Sluisburg dekat Wilhelmina Fort (kini daerah sekitar Masjid Istiqlal) tertarik perhatiannya oleh pendek-pendeknya sosok tubuh serdadu Jepang, "Banyak yang kate nih," pikirnya, sedangkan senapan mereka panjang-panjang. Di belakang sepeda serdadu Jepang menyeret di jalan serangkai batok kelapa yang diikat dengan tali. Efek suara yang timbul akibat pergeseran batok kelapa dengan jalan aspal mirip seperti iringan tank yang lewat.

Muslihat ini telah diterapkan oleh tentara Jepang waktu menyerbu di Semenanjung Melayu. Tentara ke-25 yang dipimpin oleh Letjen Tomoyuki Yamashita bergerak dengan cepat sejak mendarat di Patani dan Kota Baru tanggal 8 Desember 1941. Dengan menaiki ribuan sepeda mereka menuju ke Singapura. Akibat suhu panas ban-ban sepeda meledak. Tetapi serdadu Jepang tidak kehabisan akal dan terus menggenjot sepeda di jalan aspal dengan menggunakan velg atau lingkaran roda. Pergeseran velg dengan aspal menimbulkan bunyi berisik bagaikan tank lewat.

Mendengar bunyi ini di malam hari serdadu Inggris yang menempati garis pertahanan, dan khususnya serdadu India yang takut terhadap kendaraan panser lalu gelagapan berteriak "Tank, tank" dan kabur melarikan diri. Tentara Jepang tidak dapat dibendung, demikian cerita John Tolland dalam bukunya The Rising Sun (1970).

Subadio Sastrosatomo melihat banyak bendera Sang Merah Putih berkibar di daerah Senen sebagai penyambutan bangsa Indonesia terhadap kedatangan Jepang. Ia mendengar sejumlah pemimpin nasionalis seperti Mr Ahmad Subardjo, Mr Alex Maramis, Mr Tajuddin Noor, dan tokoh mahasiswa Chairul Saleh telah pergi khusus ke Tangerang mengelu-elukan tentara Dai Nippon. Pada waktu itu sejumlah pemimpin nasionalis bersikap pro Jepang dan mereka mengira Jepang akan mengizinkan Indonesia menjadi negara merdeka. Perkiraan ini keliru sama sekali tentunya. Jepang datang bukan sebagai pembebas rakyat Indonesia dari penjajahan, melainkan sebagai pengambil-alih peran penjajah dari Belanda. Abikusno Tjokrosuyoso dari PSII yang telah menyiapkan daftar nama para menteri kabinet Indonesia dimarahi oleh pimpinan tentara Jepang.

* * *

Ternyata dalam pertemuan di Kalijati itu terdapat perbedaan pendirian antara Gubernur Jenderal Tjarda dengan Jenderal Ter Poorten. Tatkala Imamura menuntut penyerahan tanpa bersyarat, Tjarda menjawab dia tidak akan menyerah. Ter Poorten sebaliknya mengakui tentaranya sudah letih berjuang dan tentara Dai Nippon telah menang. Ia menerima syarat-syarat yang diajukan oleh Jepang dan pagi tanggal 9 Maret radio NIROM menyiarkan perintah harian Ter Poorten supaya KNIL menghentikan perjuangan dan menyerah.

Tanggal 8 Maret itu pada malam harinya restoran dan sositet di Bandung penuh sesak diisi oleh orang-orang Belanda. Para perwira tinggi dengan tenang berdansa di sositet Concordia di Jalan Braga dan di Hotel Homann. Mereka mengenakan pakaian malam. Seorang wartawan Amerika, William McDougall, yang berada di Bandung heran melihat tontonan yang aneh itu, karena dia tahu 10 kilometer dari tempat itu dalam gelap gulita serdadu-serdadu Belanda berjuang dengan rasa putus asa melawan tentara Jepang. Pada hari kapitulasi tanggal 9 Maret 1942 seorang wartawan Preanger Bode melihat di pinggir jalan berserakan pakaian seragam yang telah dibuang yaitu uniform para perwira dengan bintang emas. Begitulah pemandangan pada waktu tamatnya Hindia Belanda.

Gubernur Jenderal Tjarda yang tinggal di villa "Mei Ling" di Lembang dibolehkan di situ sampai pada tanggal 6 April dia dipindahkan ke penjara Sukamiskin tempat Bung Karno pernah ditahan oleh Belanda pada tahun 1930. Tanggal 17 April Tjarda bersama Ter Poorten dipindahkan ke penjara Struiswijk di Batavia. Kemudian dia diangkut melalui Taiwan ke Jepang, terus ke Manchuria di mana dia ditahan sampai tahun 1945. Tjarda dibebaskan oleh tentara Soviet yang menyatakan perang terhadap Jepang. Dialah Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-62, yang terakhir dari masa penjajahan selama 350 tahun. Gubernur Jenderal sebelum Tjarda yaitu De Jong dengan bangga mengatakan, "Belanda akan berada di negeri ini 1.000 tahun lagi." Tetapi sejarah menentukan lain. Tatkala 8 Desember 1941 pecah Perang Pasifik, tentara Jepang menyerbu ke daerah Selatan (Nanyang) dan 55.000 serdadunya mendarat di tiga tempat di Pulau Jawa, maka tentara KNIL yang terdiri dari 35.000 orang itu digulung dalam waktu cepat. Delapan hari sejak pendaratan Jepang, ambruklah pertahanan tentara Hindia Belanda dan Jenderal Ter Poorten menyerah di Kalijati.

* * *

Berakhirnya penjajahan Belanda di negeri ini 50 tahun yang lalu mungkin bagi generasi muda yang tidak pernah mengalami apa arti hidup sebagai anak jajahan dianggap tidak berarti apa-apa. Akan tetapi bagi mereka yang hidup dalam zaman penjajahan Belanda peristiwa menyerahkan tentara Belanda 50 tahun yang lalu di Kalijati akan senantiasa dikenang sepanjang hayatnya.

Hidup dalam alam penjajahan tidak semata-mata menyangkut aspek ekonominya, di mana kaum pribumi dinilai dapat hidup dengan hanya satu gobang (2 ½ sen) sehari oleh penjajah. Hidup dalam alam penjajahan menyentuh segi-segi kejiwaan yang mendalam yaitu merasa diri dikekang dan tidak dibiarkan berkembang menurut kodrat alamnya. Bagi generasi tua yang bangkit menentang penjajahan Belanda sangatlah penting menegakkan apa yang dinamakan dalam bahasa Belanda menselijke waardigheid atau human dignity, martabat kemanusiaan dan dapat menerapkannya lahir dan batin, itulah yang zaman sekarang disebut "manusia seutuhnya". Memperjuangkan tegaknya martabat kemanusiaan berarti memperjuangkan hak-hak asasi dan demokrasi dan itulah yang menjadi motor pendorong kuat bagi generasi tempo dulu bangkit melawan penjajahan Belanda.

Ketika Belanda berusaha mengembalikan penjajahannya pada tahun 1945, maka bangkitlah serentak rakyat Indonesia dan berkobarlah Perang Kemerdekaan dari tahun 1945 hingga 1949. Kesudahannya sudah diketahui. Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada akhir 1949 dalam persetujuan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

Pada hari memperingati 50 tahun yang lalu Belanda menyerah di Kalijati kepada Jepang, hari berakhirnya kolonialisme Belanda, kita menundukkan kepala mengenangkan arwah semua pahlawan dan pejuang yang telah mengorbankan nyawa mereka untuk menegakkan kemerdekaan dan martabat kemanusiaan.***



Sumber: Tidak diketahui, 9 Maret 1992



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...