Langsung ke konten utama

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Perjuangan Nasional Mengusir Penjajah

Oleh AH NASUTION

PENGANTAR

Tanggal 24 Maret, empat puluh enam tahun yang lalu, di Bandung terjadi suatu peristiwa bersejarah yang heroik yang lebih dikenal dengan sebutan "Bandung Lautan Api". Untuk mengenang peristiwa yang bersejarah itu, "PR" hari ini menurunkan tiga tulisan, masing-masing dari Jenderal TNI (Purn) AH Nasution, Letnan Jenderal TNI (Purn) Mashudi yang keduanya diturunkan di halaman VI dan tulisan E Karmas di halaman VII. Khusus untuk tulisan Jenderal TNI (Purn) AH Nasution, karena cukup panjang, kami turunkan secara bersambung.

(Redaksi).

**

TEPATLAH pernyataan para bekas pelajar pejuang Jawa Barat pada peringatan Bandung Lautan Api th. 1989, bahwa adalah satu kealpaan atau kehilafan, bila kita tetap tinggal diam dengan tidak mengangkat ke permukaan peristiwa perjuangan yang demikian penting, sehingga kita dan terutama generasi mendatang tidak mengetahui secara utuh rangkaian peristiwa-peristiwa dalam perjuangan kemerdekaan bangsa yang sampai sekarang alhamdulillah sama-sama kita hayati atau nikmati. Keseluruhan peristiwa-peristiwa perjuangan seperti peristiwa 10 Nov. di Surabaya, pertempuran Magelang, pertempuran Semarang, pertempuran di Sulawesi, di Medan, pertempuran di Bandung yang dironai dengan "Bandung Lautan Api" adalah satu package perjuangan Nasional mengusir penjajah.

Masing-masing peristiwa itu terjalin utuh satu sama lain dan tunjang-menunjang, ibarat satu untaian rantai, yang akan kehilangan fungsinya bila satu mata rantainya ditiadakan.

Pada waktu saya berceramah di depan para karyawan Dinas Sejarah Militer Tentara Nasional Angkatan Darat (Disjarahad), seorang Perwira yang masih muda menyebut bahwa ia melihat adanya gejala skeptisme di kalangan sementara generasi muda terhadap masalah "pewarisan nilai-nilai 45". Ia bertanya, bagaimana sebaiknya tanggapan dan usaha perbaikan di pihak karyawan-karyawan sejarah.

Saya menjawab, bahwa kita generasi tualah yang salah satu alpa, jika di kalangan generasi muda sampai terjadi hal demikian.

Memang, pengenangan kembali sejarah perjuangan nasional adalah untuk menghayati nilai-nilainya, khusus nilai perjuangannya, demi mendidik daya juang.

Hal ini dapat dicapai, antara lain jika kita menguraikan peristiwa-peristiwa sejarah itu, bukan saja mengenai hal-hal terpuji saja, melainkan juga mengenai hal-hal yang sebaliknya. Jadi, baik mengenai segi-segi keberhasilan-keberhasilannya, maupun segi kealpaan-kealpaan, kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalannya juga. Pokoknya hendak diusahakan penyampaian sejarah yang sebenar-benarnya. 

Tentu saja kita tidak bisa objektif 100%, namun hendaklah dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh kita berusaha menyampaikan yang sebenarnya terjadi. Janganlah dibagus-baguskan. Apalagi jangan sampai seperti di salah satu negara besar, yang terkenal melakukan perubahan-perubahan dalam catatan sejarahnya setiap kali penguasanya berganti.

Justru yang kita pentingkan ialah nilai pendidikan daripada sejarah itu, terutama bagi generasi-generasi yang mendatang. Akan tetapi juga demikian bagi kita generasi tua. Kita pun perlu mengingat dan diingatkan kembali, untuk tetap berjuang, berjuang di jalan yang lurus, demi mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, sebagaimana tersurat dan tersirat di dalam Pembukaan UUD 45. 

Saya masih dapat menghayati rasa haru ketika tiap kali membaca Pembukaan UUD 45 itu yang kita tempelkan di tembok-tembok di tempat-tempat ramai. Sungguh indah rumusannya, sungguh amat menggugah perjuangan, rasanya seluruh cita-cita selama ini terkandung di situ. Tapi baru kelak pada September 1948 saya dapat mendalaminya sungguh-sungguh. Di waktu itu untuk pertama kalinya berkumpul semua panglima dan komandan untuk menyatukan pikiran. Bung Hatta mengkuliahkan Pembukaan UUD 45, sebagai "muara" dari semua aspirasi pergerakan nasional dengan variasinya, merumuskan dasar tujuan RI.

Atas dasar itulah tumbuh identitas TNI "pejuang dulu baru prajurit" dengan "disiplin hidup" (kata Pak Dirman), bukan sekadar displin kepada atasan, tapi pertama-tama disiplin perjuangan. Proklamasi meledakkan militansi perjuangan. Tak kurang dari Jend. Imamura sendiri mengakuinya, yang bersama anak-anak kita jadi tahanan Belanda di Cipinang: "Tak mengira dulu pemuda Indonesia jadi begitu militan."

Ternyata pihak sana sejak semula menakuti perang rakyat ("gerilya") sebagaimana saya dengar kelak pada kunjungan di London 1961 dari eks panglima Tertinggi SEAC Laksamana Mountbetten yang telah memperdebatkannya dengan Belanda. Juga dalam laporan komisi-Jend. Belanda sendiri pun (1947) spesial diingatkan bahaya perang gerilya dan bumi hangus yang tak mungkin dapat diatasi oleh Tentara Belanda. Laporan telah dicuri oleh anak-anak kita di Jakarta dan saya terima di Markas Besar Komando Jawa waktu gerilya.

Tampilnya TNI adalah sebagai "anak kandung" rakyat. Sehingga kelak jadi salah hitunglah Jend. Spoor dengan serangan kilatnya merebut Yogja dan menawan Sukarno-Hatta. Perang rakyat total akhirnya membuntukan siasatnya. Karena itu tepatlah pesan terakhir Pak Dirman: "Sebenarnya menjadi satu kewajiban bagi kita sekalian, yang senantiasa hendak tetap mempertahankan tertegaknya Proklamasi 17 Agustus 1945, untuk tetap memelihara, agar supaya satu-satunya hak milik nasional Republik yang masih utuh itu tidak dapat diubah-ubah oleh keadaan yang bagaimanapun juga."

Pemuda Hati Nurani Bangsa

Pemuda generasi 45 meneruskan jejak generasi 08 dan 28 menghayati penuh: Pemuda adalah hati nurani bangsa. Syukurlah karena jika pemuda bangsa krisis identitas maka krisislah jajar juang bangsa. Oleh Fascis/militer Jepang maka Nusantara dibagi jadi 3 pemerintahan, yakni Malaya-Sumatra, Jawa dan sisanya. Beda dengan Belanda dulu, maka fascis Jepang merangkul kedua motivator perjuangan yang paling dominan, yakni nasionalisme dan Islam dan setelah buntu mesin perangnya, maka seperti juga halnya Belanda dulu, Jepang merekayasa dukungan kita. Pucuk dicinta, ulam tiba. Maka ia militerkan pemuda secara massal dan ia susun perlawanan rakyat total sebagai garis pertahanan ke-3, tentara PETA (Pembela Tanah Air) sebagai garis ke-2 sehingga tentara sendiri dapat memusatkan diri sebagai garis ke-1 jadi kekuatan pemukul mobil. Dijanjikannya kemerdekaan dan kelak dalam kondisi lebih terdesak ia persiapkan kemerdekaan, tapi seperti Belanda dulu pun sudahlah terlambat. Logistik perang semakin menderitakan rakyat, sehingga semakin banyak terjadi pemberontakan lokal. Maka Jepang pun dengan ketat mengawasi serta kejam menindak siapa yang ia curigai.

Sebenarnya kita berpolitik dua muka, yakni membantu Jepang, tapi diam-diam memanfaatkan kesempatan dan keorganisasian yang diadakannya dalam upaya perangnya, yakni dengan kegiatan dan keorganisasian informal kita. Di dalam susunan-susunan pemuda dan tentara dapat kami persiapan jaringan pesiapan pemberontakan. Menurut perkiraan maka jika perang sampai di Jawa akan terjadilah kesempatan, terutama di mana lemah atau vakum militer Jepang atau sekutu. Tapi kesempatan itu diciptakan oleh bom atom yang taklah kita duga. Diproklamirkanlah kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta dan diresmikan Republik beserta UUD dan pemerintahnya. Kami pemuda menyesalkan PETA tidak diproklamirkan jadi tentaranya. Dan Jepang segera mendahului membubarkannya. Pemuda dengan spontan mengusir Jepang dari kantor-kantornya, dan terus berupaya merebut senjata. Ada yang berhasil, ada yang tidak dan ada yang menimbulkan banyak korban seperti pertempuran 5 hari di Semarang.

Nyatalah persiapan kita di masa Jepang memotivasi gerakan-gerakan pemuda bersama eks Peta/Heiho dll susunan pertahanan untuk spontan menegakkan Indonesia Merdeka di mana-mana dengan tekad "merdeka atau mati".

Terkenal tindakan Peta di Rengasdengklok yang menyatakan merdeka sebelum Proklamasi Sukarno-Hatta 17 Agustus, karena telah mengetahui bahwa Jepang menyerah kepada Sekutu.

Tercatat bahwa tgl 17 Agustus pada appel pagi di batalyon artileri sasaran udara oleh Soco (Sersan Mayor Heiho) Sadikin dkk telah diatur Jepangnya tidak ikut lagi dan pemuda kita menaikkan Merah Putih serta menyatakan diri Tentara Indonesia.

Di Bandung setelah mengetahui Proklamasi pada hari Jumat, maka pada hari Ahad pagi bersama Sdr Mashudi saya bersepeda ke Pak Aruji di daidan Cimahi. Kami ajak beliau memproklamirkan batalyonnya jadi Tentara Nasional yang akan didukung oleh pemuda. Tapi ia merasa tak perlu. Ia percaya, Jepang berjanji membantu Republik. Katanya pagi itu juga daidannya akan diadakan "reformasi" persenjataan, batalyonnya akan dapat senjata-senjata berat. Memang setelah kami ke luar tempatnya, anak-anak kita mengumpulkan senjatanya, tapi panser-panser Jepang muncul dan senjata diangkut pergi. Jepang menyatakan Peta dan Heiho dibubarkan. Malamnya saya berbicara dengan beberapa orang daidanco seperti Basuni, Kafrawi, dll yang sedang dipanggil oleh Jepang ke Bandung, maka saya dapat fahami sikap Pak Aruji tadi.

Pada waktu antara 17 Agustus-5 Oktober komando Jepang tidak tinggal diam. Mac Arthur memerintahkan penyerahan utuh "inventari" negara-negara yang diduduki Jepang. Di Bandung berhasil Jend. Mabuci merebut kembali secara mendadak gudang-gudang senjata serta pangkalan udara Andir, di mana kita mencat Merah Putih di pesawat-pesawat. Pemerintah dan Barisan Keamanan Rakyat dengan pimpinan cudanco Suhari, yang telah ikut "organisasi kami" sebelumnya, berdiplomasi guna serah-terima resmi, tapi justru pada waktu pertemuan di Kenpetai maka pasukan Jepang bergerak. Komandan Polisi Istimewa satuan kita yang paling lengkap senjatanya terpaksa sembunyi menginap di kamar saya. Maka kemudian Brigade Mc Donald masuk Bandung, sehingga pemuda Bandung dapat ejekan sebagai "peuyeumbol".

Memang akhir September marinir Inggris telah memasuki Jakarta, disusul Oktober oleh Div. 23, dengan 1 brigade masing-masing di Jakarta - Bogor, Bandung dan Surabaya. Untuk Semarang diimprovisir artileri jadi brigade Bethel.

Pertempuran Surabaya hampir menghancurkan berigade Malaby, yang oleh cease-fire Sukarno-Hawthorn pada akhir Oktober dapat selamat. Cease-fire dimanfaatkan oleh Inggris, untuk mendatangkan divisi ke-5 dari Malaya (Mayjen Mansergh), yang lantas meledakkan peristiwa 10 November terkenal. Sebagai solidaritas maka di Bandung Panglima Aruji bersama Dewan Perjuangan melakukan serangan. Diplomasi menghasilkan cease-fire. Maka saya diangkat menggantikan Pak Aruji sebagai Panglima.

Kami harapkan bahwa Proklamasi di follow-up segera dengan mendekritkan Peta/Heiho jadi Tentara Nasional. Sebenarnya pada tgl 8 dan 19 Agustus sejumlah pemuda-pemuda di Jakarta telah menyiapkan selebaran-selebaran berdirinya Tentara Nasional.

Perkembangan saat-saat pertama itu membawakan dualisme pemikiran politik dan militer dalam Republik str-nya. Sebenarnya sebagian besar dari 60 batalyon Peta di Jawa telah siap mental untuk menjadi Tentara Nasional, tapi Sukarno-Hatta sulit mengandalkan kekuatan militer yang muda itu guna menghadapi tentara Jepang dan Sekutu, sehingga diutamakan jalan diplomasi.

Kondisi militer sebelum Bandung Lautan Api

Seperti disebut di atas Sukarno-Hatta sulit mengandalkan kekuatan militer yang muda itu guna menghadapi tentara Jepang dan Sekutu, sehingga diutamakan jalan diplomasi.

Tapi tampillah Belanda yang kini lepas dari tawanan dan Sekutu mengakui kedaulatannya. Lalu meletuslah insiden-insiden berdarah dengan pihak kita yang makin menjadi-jadi setelah Inggris tiba. Pemuda yang telah dilatih oleh Jepang tampil secara spontan di mana-mana lepas dari prakarsa pemerintah, dengan slogan "merdeka atau mati". Didikan militer dan didikan semangat oleh Jepang memberikan hasil yang melebihi dugaan Jepang sendiri, seperti kelak Jend. Imamura menyatakan kepada pihak kami. Tapi Belanda meremehkannya, sebagaimana kelak Mountbatten mengulasnya.

Inggris yang melindungi Belanda dan berupaya melucuti kami jadi semakin terlibat dalam pertempuran, yang berpuncak pada pertempuran Surabaya, di mana Brig Malaby dapat diselamatkan hanya dengan perintah cease fire oleh Sukarno serta dengan pembatalan perlucutan oleh Inggris. Tapi setelah didatangkannya div V Inggris dari Malaya, kembalilah ke luar ultimatum perlucutan sehingga meletuslah pertempuran selama beberapa minggu. Korban kita amat besar, senjata yang tertinggal saja berjumlah 15.000. Tapi dengan ini kita tunjukkan kesediaan berperang dan berkorban apa pun untuk membela kemerdekaan. Kami belum sempat menyusun tentara sendiri, sehingga perlawanan rakyat bersenjatalah yang terjadi di mana-mana, yang dapat dipatahkan oleh satu tentara yang modern seperti kedua div Inggris di Jawa, secara sistematis kota demi kota, sementara pihak kita oleh siasat diplomasi tak diperbolehkan menyerang serentak di mana-mana. Jadinya diplomasi dan bertempur sama-sama berjalan setengah-setengah, hal mana merugikan posisi strategi kami. Maka Inggris memfasilitaskan Belanda mengoper Indonesia Timur yang jadi negara bonekanya sambil membantu Belanda menyusun 5 divisi di Eropa yang berangsur-angsur berdatangan di Nusantara.

Sesungguhnyalah, kalau saja tentara pendudukan Inggris di Indonesia itu sekadar melaksanakan tugas pendudukan Serikat, niscaya tidak perlu terjadi perbenturan dengan bangsa Indonesia yang bertekad merdeka atau mati membela dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, namun dengan tegas-tegas menempuh haluan menghindari setiap kemungkinan percideraan dengan pihak pendudukan Serikat, karena para pemimpin bangsa Indonesia percaya sepenuhnya terhadap Piagam Atlantik antara Amerika-Inggris pada bulan Agustus 1941, di mana di dalamnya tercantum mengenai hak-hak segala bangsa untuk merdeka, untuk memilih pemerintahan yang akan melindungi kehidupannya serta menghendaki agar hak-hak kedaulatan dan self determination dikembalikan kepada mereka yang telah dirampas dengan kekerasan. 

Akan tetapi karena tentara pendudukan Inggris itu di samping menjalankan tugas kewajiban pendudukan Serikat juga menjalankan janjinya kepada pihak Belanda seperti tercantum dalam Civil Affairs Agreement tersebut di muka, maka tidak terhindari lagi terjadinya perbenturan dengan bangsa Indonesia, di setiap tempat di mana ada kehadiran tentara pendudukan Inggris. Salah satu pembenturan itu berupa pertempuran 10 November 1945 di Kota Surabaya, yang menjadi acara daripada uraian ini.

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, "Hari Pahlawan" di dalam khazanah Sejarah Nasional kita, sebenarnya merupakan satu bagian daripada pertempuran Surabaya yang berlangsung dari tgl 28 Oktober 1945.

Seperti telah dimaklumi, maka tidaklah dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemerintah kita dewasa itu saat-saat vakum kekuasaan sejak 15 Agustus 1945 sampai saat mendaratnya Serikat pada medio September-Oktober 1945, untuk merebut senjata dari tangan Jepang walaupun ada tersedia organisasi Peta, dll, untuk diproklamirkan menjadi Tentara Nasional, seperti di kalangan sipil terjadi pada tgl 25 September 1945-meskipun juga terlambat-untuk memproklamirkan semua pegawai negeri menjadi pegawai RI.

Oleh sebab itu pada saat Serikat tiba, 2 bulan kemudian tentara kita praktis belum tersusun sebagaimana mestinya dan senjata Jepang-satu-satunya sumber senjata bagi kita dewasa itu-sebagian besar belum di tangan kita. Tentara Nasional Indonesia baru diresmikan pada tgl 5 Oktober 1945, sebagai peningkatan dari BKR yang diputuskan pembentukannya pada tgl 22 Agustus 1945, sedangkan usaha-usaha perebutan pengambilalihan alat peralatan dan kekuasaan sipil dan militer dari tangan Jepang baru dilaksanakan pada sekitar medio September-Oktober 1945. Namun posisi militer kita toh cukup kuat juga untuk mencemaskan pihak Serikat.

Mari kita bahas situasi militer pada waktu itu. Inggris ditugasi menduduki Indonesia. Akan tetapi ia tidak mempunyai cukup tenaga untuk itu. Untuk sementara Australia mengoper Kalimantan-Indonesia bagian Timur dengan 2 divisi. Inggris, tersedia lk. 100.000 orang prajuritnya untuk Asia Tenggara seluruhnya kecuali Burma. Inggris dewasa itu terlibat oleh kerusuhan-kerusuhan dalam daerah-daerah pendudukannya yang luas dari Afrika Utara-Yunani sampai ke Asia Tenggara. Tentara Inggris dan Australia sudah harus segera didemobilisir dan sudah bersemangat "pulang ke rumah". Pasukan-pasukan yang tersebar adalah dari India yang tak lama lagi akan diserahkan kepada India Merdeka.

Maka untuk Jawa dan Sumatera hanya tersedia div ke-23 dan ke-26, dan Belanda baru mempunyai lk. 12 kompi saja.

Namun dalam hal ini perlu diperhitungkan pula hasil-hasil persiapan-persiapan Belanda sejak sebelum kapitulasi Jepang. Seperti diketahui, bermula pihak Serikat bermaksud untuk mendarat di Sumatera Utara pada sekitar bulan September 1945. Maka pada bulan Juni 1945 Belanda telah mulai menyusupkan rombongan-rombongan komandonya di pelbagai tempat. Satu rombongan berhasil merembes ke Bagan Siapi-api, di dekat Rantau Prapat. Bahkan di dekat Banda Aceh. Di pulau Jawa pun penyusupan-penyusupan dari udara itu dilakukan pula di beberapa tempat.

Sesudah kapitulasi Jepang, Belanda lebih bergiat lagi, menyusupkan agen-agennya dari laut dan udara di seluruh Indonesia. Senjata pun kemudian diselundupkan dengan parasut. Mereka menyelundup dengan berkedok nama RAPWI suatu badan yang bertugas mengurusi tawanan perang dan interniran Serikat. Di dalam kamp-kamp interniran segera dibentuk pasukan-pasukan. Syukur bagi kita bahwa sejak September 1945 panglima SEAC Laks. Mountbatten membatalkan tindakan-tindakan Belanda itu dan melarang kaum interniran Belanda ke luar kamp sebelum datang pasukan-pasukan pendudukan Serikat. Namun aksi-aksi Belanda itu tidak urung telah menimbulkan bentrokan-bentrokan dengan bangsa Indonesia, seperti al. dalam peristiwa Tunjungan pada tgl. 19 September 1945 di kota Surabaya, bertepatan harinya dengan terjadinya rapat raksasa di lapangan Ikada di Jakarta, di mana rakyat Jakarta untuk pertama kali berapat raksasa mendengarkan amanat Kepala Negara.

Inggris membatasi pendudukannya terhadap beberapa kota saja. Dua brigade di Jawa Barat, satu di Jawa Tengah, satu di Jawa Timur, satu di Medan, satu di Padang, dan satu di Palembang. Pendudukan di Jawa dan Sumatera dibatasi kepada tiga pelabuhan besar dan beberapa kota di pedalaman, seperti Bogor, Bandung, Magelang, Ambarawa, dan Malang. Akan tetapi sesudah insiden-insiden yang pertama, maka kota-kota pedalaman ini diurungkan pendudukannya, kecuali kota Bandung.

Memang, seperti telah disebutkan terdahulu, ketika tentara pendudukan Serikat tiba, TNI kita baru saja diresmikan, dan belum sempat tersusun seperti seharusnya. Namun bersyukur kita, bahwa tenaga-tenaganya telah tersedia dan segera terhimpun, dengan bekas-bekas Peta sebagai intinya. Peta disiapkan oleh Jepang bermula adalah untuk pertahanan menghadapi kemungkinan pendaratan Serikat. Di samping itu tersedia pula tenaga-tenaga bekas Heiho, Kaigun Heiho, yang disiapkan Jepang dalam rangka mengisi tenaga-tenaga perangnya yang semakin menipis karena harus menghadapi medan perang yang meluas, mulai dari perbatasan India, Burma hingga ke New Britain. Di samping itu Jepang telah pula menyusun organisasi Perlawanan Sipil dengan intinya Barisan Pelopor, Hisbullah dsbnya, sedangkan pertahanan sipil dengan intinya Seinendan, Keibodan, Fujinkai, dll, yang bersandar terakhir kepada Rukun Tetangga yang meliputi seluruh pulau.

Maka dengan memanfaatkan susunan-susunan dan tenaga-tenaga tersebut serta bekas-bekas KNIL yang menyatakan kesetiaannya kepada RI pada tgl 14 Oktober 1945, susunan-susunan itu yang dihidupkan oleh tenaga-tenaga yang dijiwai oleh semangat jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945, yang berintikan kepada susunan BKR/TKR yang meneruskan susunan-susunan Peta sebagai intinya, nyatanya telah berhasil menyelesaikan tugas tahap mengisi proklamasi dalam bentuk pengambilalihan kekuasaan sipil dan militer dari pihak Jepang, dan tahap membela mempertahankan proklamasi terhadap usaha-usaha peniadaan oleh pendudukan Serikat yang diboncengi oleh kepentingan Belanda untuk kembali menjadikan Indonesia tanah jajahannya. (Bersambung)



Sumber: Pikiran Rakyat, 24 Maret 1992



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan