Langsung ke konten utama

Lima Puluh Tahun yang Lalu (2-Habis)

Dari laut ke darat

SEMENTARA itu komunike perang yang disiarkan radio Belanda masih bernada optimistik. Bahkan superioritas dan kepercayaan diri, yang cenderung mengabaikan kekuatan lawan, masih membahana. Di Jepara (Jawa Tengah) 500 km jauhnya dari Bandung, penulis yang masih di sekolah rendah ikut terpana mendengar cerita teman-teman, terutama dari seorang S (masih hidup dan tinggal di Yogyakarta). Dia mempunyai kakak yang sudah dapat masuk LDB (lucht beschermings Dienst) dan, karena itu, wajar kalau mempunyai ases cerita yang lebih banyak daripada kebanyakan kami murid kelas 2 HIS (SD). Ceritanya selalu hidup dengan nada minor tentang kekuatan Jepang. Katanya "pilot Jepang bermata sipit, berkacamata tebal, tak akan dapat menembak lebih jauh dari 5 meter", dan lain cerita semacamnya yang tentu saja membuat kami ternganga. Itukah musuh Hindia Belanda, yang berhasil membom Pearl Harbour?

Tetapi tanggal 28 Februari/1 Maret memperlihatkan gelombang balik. Di desa nelayan kecil, biasanya tak mempunyai arti, bernama Kragan (100 kilometer di timur Jepara) Resimen Infanteri 56 Kemaharajaan Jepang mendarat, tanpa perlawanan yang berarti. Saudara-saudara yang mengungsi dari Rembang ke Jepara menambah cerita yang sudah sering kami dengar. Pendapat itu berujud tentara "pendek, berpakaian kumal, kaki bengkok, bersenjatakan bedil yang terlalu panjang untuk ukuran badannya". Tentara seperti itu tak akan lama dapat bertahan di Pulau Jawa, karena Amerika, Australia, Inggris serta Belanda, yang menganggap Jawa sebagai benteng pertahanan akan dibela mati-matian. Suplai senjata dan pesawat akan didatangkan segera. Tetapi perkembangan dalam dunia hari berikutnya sangat cepat, dan mengagetkan. Namun penulis masih ingat harian de Lokomotif di Semarang masih memuat pernyataan Jenderal Ter Poorten bahwa lebih "baik mati berdiri dari jongkok menyerah" (Beter staande te sterven dan knielende te leven). Sementara itu radio Belanda masih menyiarkan berita yang melembutkan suasana. Pagi hari Senin (2 Maret 1942) kami menguping berita radio di rumah bapak guru D (satu-satunya orang yang memiliki radio baterai merek Eres, di Jepara) masih dininabobokkan oleh berita yang menyatakan pertahanan Jawa utara cukup kuat. Tetapi siang harinya suasana demikian mencengkeramnya hingga penulis ini diungsikan oleh nenek penulis, dikembalikan kepada orang tua, yang tinggal di dekat Mranggen (20 kilometer di timur Semarang). Di sana di desa kecil itu, kami menemui kesibukan lain. Tiada hari tanpa memainkan kumpulan kendaraan bagus-bagus (Studebaker, Chevrolet, Ford), yang oleh Belanda dikumpulkan di halaman kawedanan Mranggen. Bersama M. I. (sekarang Hakim Agung), dan P (dubes di Kanada) penulis ini sempat mengagumi para Landstormer--yang tampak gagah, tetapi panik dan nervous ke sana kemari bersenjatakan revolver, tanpa perlengkapan perang yang berarti. Di kemudian hari penulis ini tahu bahwa Angkatan Darat Kerajaan Belanda memang belum siap seluruhnya, baik dalam jumlah maupun dalam kesenjataan, menghadapi perang sebenarnya. Kesiapan mereka hanyalah mematikan insurgensi, kekacauan, di dalam negeri. Pada tanggal 5 Maret 1942, kumpulan Landstromer dan LBD, yang biasanya membuat bivak di halaman satu-satunya SD Mranggen itu menguap, bagaikan embun pagi kena sinar matahari. Mobil bagus itu tidak lagi bertuan, toko Cina berpalang pintu (demikian juga di Semarang), dan lahirlah jagoan yang merayah dan merampok milik Cina atau milik siapa saja.

***

DALAM pada itu di Eretan, dekat Indramayu di Jawa Barat, Detasemen Shoji menguasai pagelaran pantai itu dan segera mengirimkan tentaranya ke arah Subang. Pasukan Mayor Egashira bergerak cepat seperti semut marabunta menyapu apa saja yang ada di antara Eretan dan Subang (30 kilometer)  dengan tujuan merebut lapangan terbang Kalijati (20 kilometer barat Subang). Hari itu pukul 12.00 siang Kalijati direbut, dan kuda-kuda untuk menyerang Dataran Tinggi Bandung sudah di ambang pintu.

Kejatuhan Kalijati itu pun ternyata masih ditanggapi dengan ringan oleh Jenderal van Oyen (Komandan Angkatan Udara di Bandung), yang menerima laporan telepon dari Kapten Prummel (di Subang) masih menyatakan bahwa "Kalijati tidak dalam bahaya" (Kalijati geen enkel rechstreek gevaar dreigt). Dalam pada itu di pesawat teleponnya terdengar nyaring suara tembakan dan bom musuh.

Dengan jatuhnya Kalijati mulailah kini pertahanan Ciater (15 kilometer utara Lembang, kira-kira 30 kilometer utara Bandung) adalah resort turis yang nyaman dengan sumber air panas bermineral. Pada waktu itu Ciater dengan mudah dapat dicapai dalam tempo 45 menit dari Bandung. Kemajuan balatentara Jepang sudah tidak dapat ditanggulangi. Senjata artileri ringan yang dimiliki oleh Belanda tidak dapat menandingi determinisme tentara yang didril mati demi Tenno, dan membebaskan orang kulit berwarna dari dominasi Barat. Serangan balik yang ringan hanya menambah kesengsaraan serdadu Belanda yang kurang persiapan. Dan front Ciater-Tangkuban Prahu menyaksikan drama, kekejaman, dan kesengsaraan teater terakhir pertempuran mempertahankan dataran tinggi Bandung, dan Hindia Belanda.

Ironisnya, di Bandung sendiri--yang hanya 45 menit perjalanan mobil dari Ciater--suasana damai, kolonialistik, masih berkelanjutan karena kepercayaan diri yang terlalu besar dan informasi pemerintah yang tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Pada tanggal 3 Maret sore, tatkala Ciater hampir direbut Jepang dan tatkala banyak tentara bersabung nyawa, lantai dansa di Bogerijen (sekarang Braga Permai) dan Sositeit Concordia (sekarang Gedung Merdeka) masih dipergunakan untuk dinner dan dansa gala. Opsir (dari berbagai bangsa) dengan tunik militer, galant, masih berseliweran di tempat umum. Tetapi rasa cuwek itu akhirnya diredakan oleh kedatangan pejabat tinggi dari Jakarta (termasuk Gubernur Jenderal) yang mengungsi ke Bandung. Orang sadar, terutama ketika tanggal 5 Maret 1942 garis pertahanan Lembang di teropong Bintang-Boscha-Maribaya lumat. Tentara Belanda yang mundur ke Bandung sudah tiga hari tidak makan secara benar. Mang Odjo (tinggal di dekat Lembang) mengaku harus menyediakan makanan sewaktu-watu bagi tentara yang mundur. Mang A (yang sekarang tinggal di Kampung Batureok, 800 meter dari Teropong Bintang Bosscha), tiba-tiba melihat tentara kerdil aneh di sekitarnya minta tomango (telur) dan, di hari-hari berikutnya dia menyaksikan eksekusi (tembak mati) di belakang rumahnya. Kepanikan, wawasan mulai adanya perubahan timbul sejenak. Sikap colong playu (meninggalkan gelanggang) pertempuran Belanda dengan segera menumbuhkan ketidakpercayaan rakyat kepada Belanda yang melihat pertempuran tak imbang-semangat itu. Harapan Pemerintah Belanda kepada satuan tanknya (yang baru) di bawah pimpinan Kapten Christan, lebur bersama kehancuran tank-tank Marmon-Harrington (berat 5 ton) yang masih berusaha menembus garis Subang-Kalijati. Dan itulah perang kendaraan bermotor terakhir yang dilancarkan oleh Belanda.

Pada tanggal 6 dan 7 Maret pertahanan Bandung yang penuh dengan wanita dan anak, pengungsi dan peninggal, memperoleh serangan bertubi dari pesawat terbang Jepang. Tetapi tidak ada yang lebih menyedihkan menyaksikan banyak pejabat tinggi Belanda (termasuk Letjen, Gubernur Jenderal Van Mook), demi kelanjutan perjuangan, meninggalkan Indonesia menuju ke Australia. Lapangan Andir (sekarang Husen Sastranegara) yang rusak tidak mengurangi kemauan Belanda untuk menerbangkan pesawat terakhirnya. Jalan Buah Batu--di Bandung Selatan, yang sekarang padat penduduk--dijadikan landas pacu sementara. Dari sana berhasil diterbangkan beberapa Glen Martin dan B17 yang kemudian berhasil mendarat di Boona, Australia. Kebanyakan pesertanya hanya membawa pakaian yang melekat di badannya.

***

TANGGAL 8 Maret 1942 merupakan saat bersejarah yang sudah banyak ditulis, yakni perundingan pertama Jenderal Imamura (panglima Tentara ke-16 Jepang) dengan pejabat tinggi Hindia Belanda di Kalijati. Episode yang menarik menjelang perundingan itu ialah perjalanan rombongan Gubernur Jenderal dari Villa Isola (sekarang IKIP Bandung) menuju ke Kalijati. Di pengkolan Lembang bertepatan di arah Teropong Bintang, Gubernur Jenderal masih menggumam dan menanyakan apakah pertempuran dan rencana terakhir memang sudah dilaksanakan?

Tanggal 9 Maret pagi, hari Senin, rumor penyerahan tak bersyarat masih beredar dan hanya dimatikan dengan komunike resmi tentara bahwa penghentian tembak-menembak, demi pencegahan tumpah darah yang meluas, telah berlangsung. Banyak orang menangis lesu mendengar hal itu. Mulailah memasuki periode umwertung aller Werte--saat-saat sedih, menyesakkan, degradasi moral, kehidupan warga Orange--mulai menyelinap. Kepercayaan di antara mereka bahwa kesengsaraan itu hanya akan seumur jagung, rupanya harus diterima sebagai kehidupan berat 3,5 tahun berikutnya. Bagi kebanyakan orang Indonesia timbul harapan baru untuk mekar di Asia Timur Raya. Namun tidak semua impian menjadi kenyataan. Kehidupan baru di Indonesia diatur dengan "Gunshei shiko ni kansuru ken", yakni maklumat Balatentara Dai Nippon No. 1, tentang pemerintahan, tertanggal 7 Maret 2602 (ya, 1 hari sebelum penyerahan); dan peraturan yang lebih mendetail tertuang dalam Shu kitei, maklumat nomor 28, April 1942, tentang hidup di Asia Timur Raya. Kalau peraturan tentang orang kulit putih sudah segera dibuat pada akhir Maret, peraturan mengenai Indo Belanda (eurasian) baru keluar pada tanggal 12 Januari 1943 (In'ojin ni tsugu). Dalam peraturan itu diminta kesetiaan warga Indo Belanda terhadap usaha dan upaya Asia Timur Raya, dan kehidupannya dijamin selama ... mereka tidak melakukan ulah yang merugikan balatentara. Tetapi sementara peristiwa tragis yang menimpa mereka tidak dapat dihindari.

Pada mulanya orang Indonesia pun merasa kedatangan "Saudara Tua Jepang mau melindunginya, berdasar prinsip 'memikat hati rakyat'. Prinsip memikat itu tertuang dalam dua dokumen dasar, mengenai pengembangan di daerah 'Selatan': pertama ialah Nampo senryochi gyosei jisshi (prinsip Pemerintahan di daerah Pendudukan", anno 20 November 1941 (jadi sebelum Pearl Harbour dilumat oleh mesin perang Admiral Nagumo); dan kedua Nampo keizai taisaku yoko (garis besar politik Ekonomi untuk daerah selatan). Kedua dokumen itu dengan lengkap memuat cara-cara menyelenggarakan pemerintahan pendudukan, pengaturan kekuasaan antara angkatan laut dan angkatan darat Jepang, serta cara memperoleh kekuatan dan dukungan dari rakyat. Tidak kurang pentingnya ialah penguasaan jalur-jalur ekonomi demi kepentingan peperangan sambil melupakan kepentingan pribumi sendiri.

(Bambang Hidayat)



Sumber: Kompas, 13 Maret 1992



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan