Langsung ke konten utama

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (Habis) "Pejuang Dulu Baru Prajurit"

Oleh AH NASUTION

DALAM rangka serangan umum itu perlu saya sebut prakarsa-prakarsa istimewa dari Mayjen dr. Mustopo, yang oleh Menteri Pertahanan diperbantukan kepada saya, setelah peristiwa-peristiwa pertempuran Surabaya dan sekitarnya. Jend. ini bermarkas di Subang untuk tugas di front Bandung Utara. Ia adakan siaran radio untuk psy-war, pula ia datangkan dari Jawa Tengah sejumlah wanita-wanita tunasusila serta sepasukan orang-orang hukuman yang diambil dari penjara-penjara dengan pesan: Boleh bergiat di daerah musuh, terutama terhadap prajurit-prajurit musuh.

Pada suatu inspeksi saya dilapori tentang hasilnya perampokan-perampokan di daerah musuh, tapi pula saya mendapat laporan, bahwa ada taruna Akademi kita yang sedang praktek di front itu jadi korban wanita tunasusila itu.

Suatu experimennya yang lain ialah untuk dapatnya prajurit hidup seperti "ikan dalam air" dengan rakyat, diusahakan kawin dengan gadis setempat. Saya tak tahu berapa luasnya kejadian, tadi waktu memeriksa satu pos di atas Segalaherang, seorang taruna dihadapkan kepada saya sebagai salah seorang bukti.

Komandan Brig 3 pernah meminta saya untuk meninjau kembali "operasi-operasi khusus" umum itu.

Di front Bandung Tenggara oleh badan-badan perjuangan dilibatkan inmudasi yang luas sekitar Desa Sapan yang disebutnya "waterlinie", mengoper sesuatu dari sejarah perang kemerdekaan Belanda sendiri. Walaupun teknis tidak banyak artinya bagi satuan-satuan Belanda yang berperalatan modern.

Di front Timur pernah komandan sektor, yang membawahi 4 batalyon, menghadap kepada saya dengan nada protes. Katanya cara-cara yang kita kerjakan, dengan tidak langsung menyerbu secara konvensional, takkan berhasil merebut Bandung. Ia usulkan untuk "mengubah siasat".

Saya persilakan mendahului. Ia mulai dengan serangan secara konvensional, yang dengan secara frontal dipukul oleh musuh, bahkan dibarengi tembakan-tembakan artileri jauh ke belakang, sehingga pos komandonya terpaksa mundur.

Sebagai pembalasan, oleh beberapa buah mustang Belanda dimitraliur kabupaten Sumedang. Waktu saya tiba di sana, Bupati Kusumadinata berkata: Panglima yang dicari, kok saya yang ditembaki. Diperlihatkannya lobang-lobang peluru di tembok, dan terutama di pintu kantornya. Peluru-peluru lewat di depan kakinya, karena ia sedang di meja kerjanya. Siaran-siaran radio Belanda menyatakan bahwa tempat kediaman panglima div. telah ditembak.

Handikap kita ialah terutama kurang organisasi dan kurang terlatih, dan secara teknis kelengkapan persenjataan, dan apalagi karena tiadanya senjata-senjata lengkung, mortir serta artileri tidak mungkin penghancuran atau perubahan posisi musuh secara habis.

Beberapa pucuk meriam kita, tanpa peralatan membidik, dan tanpa kemahiran pelayanan telah menimbulkan sengketa. Tembakan dari meriam yang ditempatkan sebelah utara Ciparay, setelah lama ditunggu-tunggu, justru menyasar saja.

Di front Gekbrong (Cianjur), saya pernah terima protes, karena markas Pasindo katanya kena tembakan artileri kita, satu-satunya pucuk artileri di sektor tersebut.

Selama tahap serangan umum itu panglima terpaksa mondar-mandir mengelilingi kedudukan musuh melalui Cianjur-Bandung, yakni Sukanegara-Ciwidey-Banjaran-Tanjungsari-Ciater-Purwakarta. Dari tempat-tempat ini ke posko-posko di depan.

Serangan umum kurang bernilai dalam arti militer, tetapi memang besar manfaatnya dalam arti pembinaan semangat. Tetapi pula telah kami perhitungkan, bahwa harus dapat kemudian dilanjutkan dengan infiltrasi-infiltrasi gerilya yang lebih mahir.

Semangat berjuang rakyat, semangat ofensifnya tinggi. Tapi sebagai pimpinan saya belum dapat memanfaatkannya, karena belum tepat sistem pertahanan kita.

Dan untuk itu, mau tidak mau, dayaguna tentara harus diperbaiki, yang dewasa ini disebut "rasionalisasi".

Monumen serangan umum ialah "Hallo-hallo Bandung" yang dalam dasawarsa-dasawarsa berikutnya disenangi oleh rakyat sebagai salah satu lagu perjuangan:

Hallo-hallo Bandung, Ibu kota Priangan.
Hallo-hallo Bandung, Kota kenang-kenangan
Sudah lama beta, tidak berjumpa dengan kau
Sekarang telah menjadi lautan api, mari Bung rebut kembali.

Prolog Bandung Lautan Api

Sebagai panglima yang kebetulan sejarah harus mempertanggungjawabkan dewasa itu kepada pemerintah di Markas Besar Tentara, saya merasakan bahwa kemudiannya pada peringatan tiap tahun Bandung Lautan Api lazimnya kurang atau tidak diuraikan peristiwa-peristiwa prolog yang menyebabkannya. Terutama sekali, bahwa pertempuran di Sukabumi lah di samping pertempuran-pertempuran lainnya, yang paling membuat tentara Inggris marah, sehingga dikeluarkan ultimatum panglima besar Inggris.

Semua daerah Sukabumi dan Cianjur, yang dijaga oleh res 3 TRI dengan pimpinan Letkol Edy Sukardi, bersama res 2 Bogor dari Letkol Husein Sastranegara, termasuk div I Banten. Tapi dengan sukarnya hubungan ke komandan div I di Serang serta dalam prakteknya bahwa trayek Bandung-Bogor merupakan satu sasaran selaku urat nadi konvoi logistik Inggris, setelah peristiwa Cikampek, maka kunjungan Kepala Staf Umum Letjen Urip Sumoharjo ke komandemen I Jawa Barat awal tahun, kami persoalkan hal tadi, sehingga beliau memutuskan untuk menggabungkan res 3 tadi dengan div III Priangan.

Semula dengan izin pemerintah RI oleh Inggris diusahakan logistik div 23 di Bandung dari Jakarta dengan kereta api melalui Cikampek. Tapi trayek ini dapat gangguan oleh pertempuran-pertempuran di Klender, Kranji, dan Bekasi, dan terakhir satu angkutan lengkap diserobot oleh res 6 di Cikampek, sehingga kita memperoleh sejumlah besar makanan awet Inggris, terkenal dengan nama "kompo". Sekadar lelucon historis, komandan res 6 ke-3, mayor Sadikin menyampaikan hadiah pada perkawinan saya tahun 1947, ialah berupa satu peti "kompo" tersebut.

Pula kurang diperingati, bahkan peristiwa-peristiwa Maret 1946 itu, yang berpuncak pada pertempuran konvoi serta "Bandung Lautan Api" itu adalah salah satu pendorong bagi "panitia besar Urip Sumoharjo" (guna reorganisasi TRI) untuk mempersatukan divisi I, II, dan III jadi divisi I Siliwangi, minus resimen II Tasik serta resimen 12 dan 13 Cirebon, yang digabungkan ke divisi II (Gatot Subroto), sebagai divisi pembantu bagi divisi I.

Kembali kepada prolog Bandung Lautan Api, perlu dicatat, bahwa dalam kondisi politik serta militer yang berlaku dewasa itu maka posisi kita sungguh terasa terjepit dan terancam terus-menerus. Sebagai militer jelas bahwa Inggris setiap waktu bisa menduduki bagian Selatan Kota Bandung, di mana kita berada. Pos Komando saya terletak hanya beberapa ratus meter dari rel kereta api yang merupakan garis demarkasi, serta pertempuran insidental bisa saja meluas seluruh kota, seperti terjadi Okt-Nop 1945.

Saya sering berkata, kita harus sedia bahwa setiap waktu bisa saja pos komando kita dimortir, bahkan bisa saja mendadak beberapa tank Inggris berhenti di depan rumah. Kita harus sedia setiap waktu menghilang ke belakang dan terus ke kampung-kampung.

Dari pertimbangan rasional dapat juga dibenarkan pendapat pemerintah, bahwa musuh takkan dapat diusir dengan kekuatan militer kita yang tersedia, melainkan hanya dengan hasil diplomasi atas dasar memperjuangkan pengakuan de fakto, disusul pengakuan de jure, nanti kota-kota akan membali kepada kita.

Namun saya berpendapat, jika seandainya kita gunakan kesempatan pada bulan-bulan pertama, selama lawan belum banyak, dengan satu strategi yang menyeluruh, maka kita dapat membuntukan musuh, bahkan membuat "Ambarawa 2" baru, yakni dengan kota pedalaman seperti Bandung dan Cianjur. Kuantitatif musuh tak cukup tenaga untuk mempertahankan keamanan semua kota pendudukan, jika semua serentak diserang terus-menerus secara nonkonvensional.

(Ambarawa terpaksa dikosongkan oleh Inggris di satu pihak karena serangan-serangan kita terus-terusan dan karena kekurangan pasukan lawan di pihak lain.)

Keadaan yang berlaku dewasa itu, yakni akibat politik pemerintah RI, membuat kita tidak dapat berinisiatif. Ini adalah suatu keadaan yang paling tidak baik bagi seorang komandan.

Penutup

Sejarah bangsa dengan tonggak-tonggak 1908-1928-1945 telah mewarnai dan memberi jati diri perjuangan kita. Atas dasar itulah tumbuh identitas TNI "pejuang dulu baru prajurit dengan disiplin hidup" (kata Pak Dirman), bukan sekadar disiplin kepada atasan, tapi pertama-tama disiplin perjuangan. Proklamasi meledakkan militansi perjuangan. Tak kurang dari Jend Imamura sendiri mengakuinya, yang bersama anak-anak kita jadi tahanan Belanda di Cipinang; "Tak mengira dulu pemuda Indonesia jadi begitu militan."

Tampilnya TNI adalah sebagai "anak kandung" rakyat. Sehingga kelak jadi salah hitungnya Jend Spoor dengan serangan kilatnya merebut Yogya dan menawan Sukarno-Hatta. Perang rakyat total akhirnya membuntukan siasatnya. Karena itu tepatlah pesan terakhir Pak Dirman: "Sebenarnya menjadi suatu kewajiban bagi kita sekalian, yang senantiasa hendak tetap mempertahankan tertegaknya proklamasi 17 Agustus 1945, untuk tetap memlihara, agar supaya satu-satunya hak milik nasional Republik yang masih utuh itu tidak dapat diubah-ubah oleh keadaan yang bagaimanapun juga."

Perjuangan "Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur" kini beralih ke bantu generasi penerus. Dua kata terakhir masih terbengkalai. Kita yakin, bahwa untuk itu perlu tertegak teguh prinsip terkandung dalam UUD.

Dalam kuliah saya terakhir di Seskoad (1969) saya simpulkan bahwa dalam praktek kekaryaan TNI perlu berangsur-angsur diakhiri unsur-unsur darurat dan transisi. Sesungguhnya adanya suatu kehidupan yang lebih baik, ialah amat ditentukan oleh adanya suatu tananan sistem politik yang sehat. Kita berkeyakinan, bahwa sistem politik yang murni menurut UUD 45 itulah, yang memberikan tatanan yang diperlukan itu.

Amanat-amanat para pendirinya telah menuntun perjuangan TNI dan tonggak-tonggak historisnya telah mengembangkan doktrin-doktrin perjuangan itu. Baik kita renungkan amanat terakhir Pangsar: "Jika para pemimpin kita tetap teguh dan konsekuen dalam pendiriannya semula, maka Insya Allah AP Kebangsaan kita akan berdiri tegak selama-lamanya dengan mampu dan sanggup menjamin keamanan dan keselamatan Nusa dan Bangsa kita."

Atas pengalaman sejarah kami berpendapat, bahwa tentara harus lah pertama berkesanggupan pejuang seperti tersebut dalam marga ke-1, 2, 3, dan 4 Saptamarga, baru kemudian berkemampuan profesi prajurit, seperti tersebut dalam marga ke-5, 6, dan 7. Dengan itu dapat dirumuskan apa yang diajarkan pangsar Sudirman tentang disiplin, yakni harus teguh disiplin perjuangan sebagai dasar bagi disiplin ke prajurit. Hal mana adalah menjadi pernyataan beliau sejak semula, sebagaimana diikrarkan oleh beliau selaku Pangsar Tentara pada tgl 15 Mei 1946: (1) Sanggup mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Negara RI, yang telah diproklamasikan pada tgl 17 Agustus 1945 sampai titik darah penghabisan. (2) Sanggup taat dan tunduk pada pemerintah Negara RI yang menjalankan kewajiban menurut UUD Negara RI dan mempertahankan kemerdekaannya sebulat-bulatnya.

Atas pengalaman sejarah saya tetap berkeyakinan, bahwa berhasil atau tidaknya kita dalam pertahanan, adalah pertama tergantung pada dihayati atau tidaknya doktrin demikian; pada dihayati atau tidaknya nilai-nilai 45 yang bersumber kepada cipta-rasa-karsa buat mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, sebagaimana disebutkan di dalam Pembukaan UUD 45:

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat santosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." ***



Sumber: Pikiran Rakyat, 28 Maret 1992



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Makam Imam Al-Bukhori

Menarik membaca tulisan Arbain Rambey berjudul "Uzbekistan di Pusaran Sejarah" ( Kompas , 20 Oktober 2019).  Berdasarkan kisah dari pemandu wisata di Tashkent, diceritakan peran Presiden Soekarno memperkenalkan Makam Imam Al-Bukhori di Samarkand yang nyaris terlupakan dalam sejarah. Kisah Soekarno dimulai ketika dalam kunjungan ke Moskwa minta diantar ke makam Imam Al-Bukhori. Menurut buku The Uncensored of Bung Karno, Misteri Kehidupan Sang Presiden  tulisan Abraham Panumbangan (2016, halaman 190-193), "Pada tahun 1961 pemimpin tertinggi partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khruschev mengundang Bung Karno ke Moskwa. Sebenarnya Kruschev ingin memperlihatkan pada Amerika bahwa Indonesia adalah negara di belakang Uni Soviet".  Karena sudah lama ingin berziarah ke makam Imam Al-Bukhori, Bung Karno mensyaratkan itu sebelum berangkat ke Soviet. Pontang-pantinglah pasukan elite Kruschev mencari makam Imam Al-Bukhori yang lah...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...