Langsung ke konten utama

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI


ISTILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan ada istilah putihan, yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan--apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan, karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam".

Istilah abangan menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java (Glencoe, The Free Press, 1960) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta, Pustaka Jaya, 1981). Dalam buku yang berdasarkan hasil penelitiannya di kota yang disebutnya "Mojokuto" (yang sebenarnya sebuah kota di Jawa Timur tetapi namanya diganti disamarkan), Geertz membagi masyarakatnya menjadi tiga golongan, yaitu golongan abangan, golongan santri, dan golongan priyayi. Terhadap penggolongan itu banyak orang merasa keberatan, karena sementara antara santri dan abangan ukurannya adalah ketaatannya dalam melaksanakan syariat agama (Islam), priyayi adalah penggolongan berdasarkan status mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu ada priyayi yang abangan ada juga priyayi yang santri. Prof. Dr. Harsya Bachtiar dengan tajamnya mengekritik Geertz mengenai hal itu.

Saya sendiri mengalami hal yang lucu akibat penggolongan Geertz atas masyarakat "Mojokuto" itu. Ketika saya berkunjung ke Cornell University pada 1972, salah seorang mahasiswa yang agaknya baru membaca bukunya Geertz bertanya apanya saya termasuk golongan abangan, santri, atau priyayi? Tentu saja saya tertawa mendengar pertanyaan itu, dan memberitahukan bahwa meskipun saya berasal dari Jawa (Barat), tetapi di Jawa tidak ada penggolongan demikian.

Meskipun demikian, bagi Indonesianis yang membaca bukunya Geertz itu, penggolongan demikian tampaknya seakan mempunyai garis yang jelas sekali. Padahal meskipun ada golongan abangan dan santri tetapi batasnya tidaklah selalu jelas. Golongan priyayi pun meskipun mempunyai ciri-ciri yang lebih konkret karena kedudukan dan lingkungan hidupnya yang sering terpisah dari para pedagang atau petani, tetapi tidak jelas juga, karena kecuali berdasarkan keturunan (darah), sebutan priyayi itu didasarkan juga kepada kedudukannya dalam pemerintahan. Tidak semua yang berada dalam kedudukan itu keturunan priyayi, bahkan ada juga yang bukan orang Jawa. Di Jawa Barat pada 1920-an ada orang-orang Minangkabau yang diangkat sebagai camat bahkan wedana. Di Jawa Tengah atau Jawa Timur juga niscaya ada orang-orang seberang (luar Jawa) yang ditempatkan sebagai priyayi

Hal lain yang timbul setelah adanya buku Geertz, The Religion of Java  itu adalah orang-orang abangan menjadi berani atau biasa menyebut dirinya abangan. Kalau sebelumnya istilah abangan itu hanya digunakan oleh golongan santri terhadap orang-orang Islam yang tidak menjalankan syariat agama, belakangan orang-orang yang tidak menjalankan syariat agama dengan patuh itu sendiri yang menyebut dirinya abangan. Bahkan sering disertai dengan rasa bangga. Mungkin karena timbulnya anggapan bahwa ada pakar asing yang menyejajarkan abangan dengan santri, padahal tadinya mereka menyebut dirinya sebagai "orang Islam", artinya mau diakui sebagai orang Islam, mungkin karena mereka sadar bahwa ketika kecil disunat, waktu menikah secara Islam, dan kalau meninggal dunia diperlakukan sebagai orang Islam juga: dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dikubur dengan kepala di utara.

Yang menarik adalah istilah abangan yang berasal dari kata dasar abang (= merah). Dalam Baoesastra Djawa susunan W. J. S. Poerwadarmita (Batavia, J. B. Wolters, 1939) istilah abangan diartikan sebagai "(wong abangan) kang ora nglakoni agama". Artinya orang yang tidak menjalankan agama. Tentu saja maksudnya agama Islam.

Dalam bahasa Indonesia istilah merah (= abang) mempunyai konotasi berani atau golongan kiri. Bendera nasional kita Sang Dwiwarna "merah putih" ditafsirkan merah sebagai lambang berani dan putih sebagai lambang suci. Sedangkan orang atau golongan merah diartikan sama dengan golongan kiri. Apakah ada hubungan arti antara merah = tidak menjalankan agama dengan merah = golongan kiri? Mengingat adanya sikap antiagama dalam faham kiri. Lalu bagaimana dengan berani? Sampai sekarang belum ada penelitian mengenai hal itu.***


Penulis, sastrawan.


Sumber: Pikiran Rakyat, 7 Mei 2011


Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan