Langsung ke konten utama

Kebangkitan Nasional dan Keharusan Masa Kini

Oleh TAUFIK ABDULLAH

Pada 20 Mei 1948, ketika Republik Indonesia sedang mengalami suasana yang memprihatinkan, hari berdirinya Budi Utomo dirayakan sebagai "Hari Kebangkitan Nasional".

Masyarakat-bangsa antusias merayakan hari yang telah diberi makna baru itu meskipun waktu itu sekian banyak "negara bagian" telah berdiri atas inisiatif atau dorongan Belanda. Dengan perayaan ini, pemerintah ingin mengatakan bahwa perjuangan bangsa telah berlangsung lama dan terwujudnya negara yang berdaulat adalah suatu kemestian mutlak.

Tiga dasawarsa kemudian Orde Baru memaknai peristiwa itu sebagai tonggak pertama dalam proses pembentukan bangsa. Tonggak-tonggak simbolik setelah itu ialah Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) dan akhirnya Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945). Jika kedua peristiwa historis menghasilkan mitos, maka Hari Kebangkitan Nasional adalah suatu rekaan mitologis yang imajinatif bagi peneguhan keutuhan bangsa.

Kebangkitan kesadaran

Ketika abad ke-20 dimasuki, pemerintah kolonial tampil dengan janji "politik etis" dengan program memajukan pendidikan, irigasi, dan kolonisasi. Dampak langsung politik ini terjadi di kota-kota. Pesan dari masa perubahan yang menjanjikan "kemajuan" inilah yang ditangkap pelajar STOVIA ketika mereka mendirikan Budi Utomo. Sesuai dengan keharusan zaman, organisasi ini ingin memajukan kehidupan masyarakat Jawa. Ketika organisasi ini didirikan, sebuah tanggal simbolik dari terjadinya kebangkitan kesadaran telah didapatkan.

Namun, bagi masyarakat yang terkena dampak langsung dari eksploitasi kolonial, awal abad ke-20 adalah saat mendebarkan. Politik etis bisa saja hanya bermakna pengesahan kekuasaan asing. Di Sumatera Barat perdebatan terbuka terjadi antara hasrat "kemajuan" dan perlawanan terhadap "ketidakwajaran kekuasaan asing".

Sejak nomor pertama (1901) sampai dengan nomor terakhir (1904), majalah Insulinde yang terbit di Padang tak pernah lupa menyerukan "kemajuan" dan mengajak memasuki "dunia maju". Dalam suasana ini, kampanye bagi pendidikan modern dilancarkan pula.

Namun, di pedesaan keresahan semakin menaik. "Kompeni" memperkenalkan pajak perseorangan walaupun monopoli kopi dihapus. Bujukan orang kota agar masyarakat bersedia membayar pajak dan memakaikan kesempatan bagi kemajuan tak berarti apa-apa. Bukankah bayar pajak pengakuan akan kekalahan?

Sejak Maret sampai Juli 1908 pemberontakan yang terpencar-pencar terjadi di berbagai tempat. Dalam ingatan kolektif masyarakat Minangkabau, peristiwa ini terekam sebagai masa Perang Kamang, Perang Mangopoh, dan perang lainnya.

Sekian banyak tentara didatangkan dari Jawa. Sekian banyak pula anak negeri yang tewas dalam pertempuran, mati di tiang gantungan atau menjadi "orang rantai". Meskipun tradisi perlawanan tak terlupakan, kekalahan hanya menyisakan satu alternatif: "memasuki dunia maju" adalah keharusan. Namun, hanya peristiwa yang dikenang, tak ada tanggal yang bisa diingat.

Tak lama setelah dua corak jawaban yang berbeda terhadap tuntutan zaman dilakukan, berbagai organisasi sukarela bermunculan. Di saat cita-cita "kemajuan" telah masuk dalam kesadaran, gambaran masa depan mulai terbayangkan.

Proses ini diperkuat munculnya kebudayaan cetak yang kapitalistik, tetapi memberi informasi tentang berbagai hal, bahkan mempersamakan keragaman hasrat komunitas yang baru terbentuk itu.

Dalam suasana inilah, keinginan mendapatkan komunitas baru yang melebur segala keasingan mulai tumbuh. Awal proses pembentukan bangsa pun bermula. Dalam gejolak pencarian ini, Sarekat Islam dan Indische Partij berperan penting.

Keduanya menunjukkan realitas subordinasi kolonial dan membayangkan komunitas baru yang melampaui ikatan etnis serta wilayah kelahiran.

Landasan awal

Pada awal dasawarsa kedua abad ke-20, proses nation formation telah menjadi dinamika sosial-politik yang kian penting dan mencapai puncak simboliknya pada 28 Oktober 1928. Hasrat "kemajuan" adalah landasan awal kehidupan sosial di perkotaan yang kini telah kian majemuk. Dalam situasi inilah, keinginan membentuk bangsa yang transetnis tumbuh dan mencapai puncak pada hasrat membentuk negara-bangsa yang modern dan maju.

Jadi, adalah suatu kewajaran historis saja jika cita-cita "kemajuan" harus mengalami kontekstualisasi dengan meletakkannya ke dalam alam pikiran yang melatari terbentuknya negara-bangsa. Salah satu tujuan fundamental mendirikan negara, sebagaimana dalam Pembukaan UUD yang erat hubungannya dengan "kemajuan", ialah "mencerdaskan kehidupan bangsa". Karena itulah, Hari Kebangkitan Nasional yang berasal dari cita-cita "kemajuan" dijadikan sebagai hari peneguhan tujuan ini. Namun, bagaimana?

Barangkali keluhan bahwa nasionalisme telah jauh mundur bukan tanpa alasan. Sekian banyak peristiwa di Tanah Air (gerakan separatisme, konflik horizontal yang bersifat etnis dan agama atau gabungan keduanya, sampai dengan konflik pilkada dan korupsi dalam segala tingkat dan corak) menunjukkan betapa perlu perenungan baru tentang eksistensi bangsa. Betapa jauh kita dari kehidupan bangsa yang cerdas.

Setelah sekian lama benih yang ditanam nasionalisme mencapai tujuan awalnya, berbagai corak kegalauan ternyata belum reda juga, sedangkan tantangan kian kompleks. Tampaklah bahwa nasionalisme tak bisa berhenti pada kesadaran.

Nasionalisme terpancar pada pola perilaku dan terwujud dalam struktur pengelolaan sosial-politik yang sesuai. Itu sebabnya, landasan kehidupan kenegaraan seperti dirumuskan Pembukaan UUD 1945 harus dengan tegas dan konsisten dijadikan pegangan. Jadi, bisalah dikatakan bahwa konsep "mencerdaskan kehidupan bangsa" adalah "tugas kenegaraan" yang paling strategis sebab merangkul semua tugas kenegaraan yang lain.

Dengan menjadikan Pancasila landasan etos dan etik dalam pola perilaku, ada beberapa hal bersifat instrumental yang sebaiknya dijadikan acuan dalam proses pemilihan tindakan dan bentuk struktural.

Pertama, pendalaman kecintaan pada kelestarian lingkungan alam. Kedua, toleransi dan penghargaan pada pluralitas sosial-kultural. Bukankah salah satu harga yang harus dibayar dalam proses modernisasi kehidupan ialah bertambah kompleksnya keragaman sosial-kultural?

Ketiga, pemupukan tanggung jawab akan keutuhan negara dan masyarakat-bangsa demi peneguhan solidaritas sosial dan integrasi nasional. Kemiskinan tak lagi dilihat sebagai perbedaan nasib, tetapi ketidakwajaran sosial yang harus ditiadakan. 

Keempat, penguatan keyakinan bahwa hanyalah sistem dan perilaku publik dan politik yang menghargai hukum serta tegaknya sistem dan organisasi kekuasaan yang sadar akan pentingnya keterbukaan dan pertanggungjawaban demi terciptanya situasi ideal yang dijanjikan sistem demokrasi. Kelima, perluasan kesadaran bahwa tumbuhnya pengetahuan berbasis masyarakat adalah suatu kemestian dalam mengayuh kehdupan yang kian kompleks.

Dalam melakukan semua hal ini perlu disadari bahwa kebenaran dan keadilan tak selamanya memadai. Memang benar, keyakinan akan ketinggian nilai keduanya dapat meningkatkan semangat berbuat yang bermakna, tetapi sekaligus bisa juga mengancam ketergelinciran pada konflik tak terduga. Karena itu, keteguhan hati menegakkan kedua nilai abad ini harus didampingi oleh "kearifan". Dengan beginilah keharusan konstitusional Pembukaan UUD membina "kehidupan bangsa yang cerdas" sebagai landasan dan tujuan normatif kenegaraan dan kebangsaan lebih mungkin didekati.


TAUFIK ABDULLAH

Anggota AIPI; Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2000-2002


Sumber: Kompas, 20 Mei 2011


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Arek-arek Soerobojo Hadang Sekutu

Mengungkap pertempuran bersejarah 10 Nopember 1945 sebagai mata rantai sejarah kemerdekaan Indonesia, pada hakekatnya peristiwa itu tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan titik klimaks dari rentetan insiden, peristiwa dan proses sejarah kebangkitan rakyat Jawa Timur untuk tetap melawan penjajah yang ingin mencoba mencengkeramkan kembali kukunya di wilayah Indonesia merdeka. Pertempuran 10 Nopember 1945--tidak saja merupakan sikap spontan rakyat Indonesia, khususnya Jawa Timur tetapi juga merupakan sikap tak mengenal menyerah untuk mempertahankan Ibu Pertiwi dari nafsu kolonialis, betapapun mereka memiliki kekuatan militer yang jauh lebih sempurna. Rentetan sejarah yang sudah mulai membakar suasana, sejak Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Indonesia: Soekarno dan Hatta tgl 17 Agustus 1945. Rakyat Jawa Timur yang militan berusaha membangun daerahnya di bawah Gubernur I-nya: RMTA Soeryo. Pemboman Kota Hiroshima dan Nagasaki menjadikan bala tentara Jepang harus bertekuk lutut pada ...

Misteri Jangkar Raksasa Laksamana Cheng Ho: Kabut Sejarah di Perairan Cirebon

TINGGINYA menjulang sekitar 4,5 sampai 5 meter. Bentuknya sebagaimana jangkar sebuah kapal, terbuat dari besi baja yang padat dan kokoh. Bagian tengahnya lurus serta di bawahnya berupa busur dengan kedua ujung yang lancip. J ANGKAR kapal berukuran besar itu sampai kini diletakkan di ruangan sebelah utara dari balairung utama Vihara Dewi Welas Asih. Dengan berat yang mencapai lebih dari tiga ton, benda bersejarah itu disimpan dalam posisi berdiri dan disandarkan di tembok pembatas serambi utara dengan balairung utama yang menjadi pusat pemujaan terhadap Dewi Kwan Im, dewi kasih sayang.  Tempat peribadatan warga keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha ini terletak di areal kota tua di pesisir utara Kota Cirebon. Bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2011 ini didirikan pada awal pertengahan abad ke-16, tepatnya tahun 1559 Masehi. Letaknya berada di pesisir pantai, persis bersebelahan dengan Pelabuhan Kota Cirebon. Kelenteng ini berada di antara gedung-gedung tua m...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...