Langsung ke konten utama

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah.

Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan. 

Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945.

Lapangan terbang Andir merupakan salah satu lapangan terbang yang besar. Zaman penjajahan Jepang lapangan ini mempunyai peranan penting sekali. Berbagai jenis pesawat terbang dari Negara Sakura dipangkalkan di Andir. Oleh karenanya Jepang menyerahkan pasukan dan persenjataan yang kuat untuk mengamankannya. 

Waktu perjuangan fisik tahun 1945-an, belum ada koordinasi secara mantap dan terencana matang di antara para pejuang kita dalam merebut Andir. Tidak seperti sekarang, semua gerakan militer dapat terkoordinir dan tersusun rapi dan terpusat, dengan perlengkapan serta persenjataan yang memadai. Memang sudah ada wadah perjuangan tetapi ada sekelompok pemuda pejuang berjuang sendiri-sendiri yang penting ikut berjuang membela negara. Mereka bergerak berdasarkan kehendak panggilan hati ingin berjuang mempertahankan kemerdekaan. Ada yang terencana tetapi ada juga yang berdasarkan spontanitas.

Demikian pula dalam peristiwa 10 Oktober 1945 di Andir. Dari segala jurusan banyak pejuang menyerang Pangkalan Udara Andir. Di antara para pejuang yang memang semangatnya hebat tak kenal takut, ada yang khusus menyerbu gudang senjata, ada yang menyerang instalasi khusus atau ada juga yang hanya untuk mengibarkan bendera Merah Putih di tower saja. Seorang yang ikut menyerbu lapangan terbang Andir untuk mengibarkan bendera tersebut seorang bernama Mohammad Jacoeb. 

Penyerbuan lapangan terbang Andir pada tanggal 10 Oktober 1945 mulai pukul 10.00 sampai kira-kira 23.30. Pada waktu itu ada yang menyerbu gudang untuk merebut senjata dan ini merupakan kegiatan yang paling ramai. Sedangkan M Jacoeb dan kawan-kawannya menyerang bengkel Persenjataan Artileri. M Jacoeb yang ditunjuk memimpin rombongan kecil sejumlah pejuang, masuk dari jalan jurusan Cimahi melewati rel kereta api, lurus, masuk ke lapangan terbang. Kalau menyerang secara fisik jelas tidak mampu selain orangnya sedikit persenjataannya pun sangat sederhana. Bahkan merupakan suatu usaha yang sia-sia. Maka ia menggunakan taktik lain, yang penting dapat ke tower, mengibarkan bendera Merah Putih. Adapun maksud mengibarkan bendera di tower adalah untuk menggugah semangat bagi para pejuang yang merebut Andir dari berbagai jurusan. Kalau rakyat banyak melihat bendera di tower sebagai tempat tertinggi di kawasan lapangan terbang, tentu menganggap lapangan terbang Andir sudah dikuasai pejuang-pejuang Indonesia.

M Jacoeb dan kawan-kawannya melakukan sesuatu hal yang lucu, seperti main-main saja dan sepertinya masuk akal, tetapi kenyataannya memang demikian. Meskipun tampaknya main-main tetapi disertai kesungguhan hati dengan penuh keberanian. Tanpa keberanian sulit menembus sampai ke tower karena harus berhadapan dengan musuh.

M Jacoeb sebagai pimpinan barisan, berada paling depan membawa bendera Merah Putih. Ia berjalan penuh semangat dan dalam suasana hikmat. Di belakangnya berbaris kawan-kawannya yang jumlahnya sekitar 20 orang bersenjatakan senapan kayu seperti latihan perang-perangan atau mainan anak-anak. Jalan terus, pantang mundur, meskipun kanan kiri jalan kelihatan Jepang berjaga-jaga lengkap dengan senjata atau samurainya. Di antara serdadu Jepang ada yang membawa mitralyur dan puluhan bedil. Beberapa kali dicegah serdadu Jepang tetapi dengan diplomasinya M Jacoeb dan rombongannya tidak ada yang bersenjata api sama sekali. Tentu saja Jepang yang setengah bingung tidak dapat berbuat apa-apa kecuali membiarkan M Jacoeb dan rombongannya menuju ke tower. Dengan keyakinan dan keberanian M Jacoeb naik ke tower dan mengibarkan bendera Merah Putih. Untuk sejenak ia bangga melihat Merah Putih di tower. Ia melihat di bawah di sekitar landasan banyak orang yang menyaksikan kibaran bendera Merah Putih, baik dari pihak lawan seperjuangan maupun pihak lawan yang menguasai Andir.

Begitu turun dari tower ia menjumpai seorang bernama Basir Surya. Orang ini jabatannya waktu itu sebagai Ketua Persatuan Pegawai Lapangan Terbang Andir, dan sekaligus seorang teknisi pesawat terbang yang pandai. Untuk selanjutnya Basir Surya menjadi teknisi penting di AURI. (Sumardjo)



Sumber: Tak diketahui, Tanpa tanggal



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...