Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 1998

Tanjung Priok Berdarah, Pergulatan antara Islam dan Kekuasaan

AM Fatwa Pengamat Masalah Politik P embantaian umat Islam di Tanjung Priok 12 September 1984 adalah fakta sejarah bahwa pemerintah Orde Baru dengan militerismenya, sampai tahun 1980-an, menempatkan Islam sebagai kelompok radikal yang membahayakan pemerintah. Dalam berbagai kasus, di antaranya pembantaian umat Islam Tanjung Priok, sebenarnya kalau diamati ada juga terselip tujuan misi ideologis, terutama di kalangan elite pemerintah dan militer aktif saat itu. Memang, dalam sejarah rezim Orde Baru, hubungan antara Islam dan kekuasaan tidaklah dalam garis linier. Hubungan yang dikembangkan sering kali memojokkan umat Islam. Secara garis besar, hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama , fase marginalisasi (1968-1986). Dalam fase ini, keberadaan umat Islam sungguh sengsara. Islam dianggap sebagai kelompok pembangkang, dan segala aspirasi politiknya selalu dicurigai. Bahasa politik yang digunakan rezim--seperti Komando Jihad, golongan anti-Pancasila, kelompok ekstrim kan

Gelar 'Pahlawan Nasional' untuk Adam Malik

JAKARTA -- Mantan wakil presiden (almarhum) Adam Malik kemarin mendapat anugerah gelar 'Pahlawan Nasional' dari pemerintah. Gelar yang sama juga dianugerahkan kepada almarhum Tjilik Riwut (mantan Gubernur Kalteng tahun 1957-67), Sultan Pasir Kaltim almarhum La Maddukelleng, serta Sultan Siak Riau almarhum Sultan As-syaidis Syarif Kasim Sani. Gelar itu diserahkan Presiden BJ Habibie kepada ahli waris masing-masing, pada upacara peringatan Hari Pahlawan 10 November, di Istana Merdeka kemarin. Gelar untuk Adam Malik diterima oleh istrinya, Ny Nelly Adam Malik. Tampak hadir pada acara itu antara lain Ny Hasri Ainun Habibie, Ketua DPR/MPR Harmoko, Ketua DPA Baramuli, Ketua MA Sarwata, Menko Polkam Feisal Tanjung, serta Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita. Pada acara tersebut, Kepala Negara juga menyerahkan tanda kehormatan 'Bintang Republik Indonesia' kepada sejumlah tokoh masyarakat yang sudah meninggal, khususnya yang berjasa pada masa perjuangan melawan penjajahan Bela

Wacana Baru Islam Jawa

Pakubuwono II gagal menjadi raja-sufi yang kuat. Ia tak mampu menghadapi kehadiran VOC. I SLAM sinkretis. Istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan Islam di Jawa. Perkembangan Islam di wilayah ini lebih diwarnai proses penjawaan ketimbang sebaliknya. Namun, tidak demikian halnya dengan buku karangan M. C. Ricklefs ini. Lewat kajiannya tentang kebangkitan budaya Jawa pada abad ke-18, tepatnya pada masa kekuasaan Pakubuwono II (1726-1749) di Kerajaan Mataram, ia berkesimpulan sebaliknya. Islam menempati posisi sentral dalam budaya Jawa. Bersama tradisi besar pra-Islam, Hindu-Budhis, Islam memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan budaya Jawa. Argumen Ricklefs ini memang mewakili kecenderungan baru dalam kajian Islam di Indonesia. Mark R. Woodward menyebutnya sebagai "paradigma yang berpusat pada Islam" ( Islam centered paradigm ). Meski demikian, pada saat yang sama, harus diingat bahwa pandangan Ricklefs ini mewakili argumen seorang sejarawan. Hubungan Islam-Ja

Nassau Boulevard Saksi Perumusan Naskah Proklamasi

G edung berlantai dua bercat putih itu masih nampak megah, sekalipun dibangun 80 tahun lalu. Nama jalan gedung ini pada masa pendudukan Belanda, Nassau Boulevard No 1, dan diubah menjadi Meijidori pada pendudukan Jepang. Untuk selanjutnya menjadi Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat sekarang ini. Gedung yang diapit oleh Kedutaan Besar Arab Saudi dan Gereja Santa Paulus dibangun dengan arsitektur gaya Eropa, yang hingga kini masih banyak terdapat pada gedung-gedung di sekitar kawasan Menteng. Pemerintah kolonial Belanda membangun gedung ini bersamaan dengan dibukanya 'kota baru' Menteng, pada 1920, saat kota Batavia, sebutan Jakarta waktu itu, meluas ke arah selatan. Gedung yang kini diberi nama Museum Perumusan Naskah Proklamasi memang pantas dilestarikan oleh pemerintah, karena mempunyai nilai sejarah yang amat penting. Di tempat inilah pada malam tanggal 16 Agustus 1945 bertepatan 7 Ramadhan 1364 H hingga menjelang fajar keesokan harinya para pendiri negara ini merumuskan naskah

Menyelusuri Masjid-masjid Tua: Dari Imigran India hingga Cina

M enyelusuri kawasan kota lama di Jakarta, hingga kini banyak ditemui masjid tua yang keberadaannya hampir bersamaan dengan lahirnya kota ini. Salah satu masjid tertua itu terletak di kawasan Glodok yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari tempat penjarahan dan pembakaran bulan Mei lalu. Masjid Al-Anshor yang dibangun pada 1648 itu letaknya di belakang Pasar Pagi, salah satu pusat perdagangan dan pertokoan di Glodok. Agak sedikit terpencil dan terletak di Jalan Pengukiran II, tak jauh dari Jalan Pejagalan. Masjid yang dulunya sedikit berada di luar tembok kota Batavia, didirikan oleh para imigran India dari Malabar. Orang-orang Islam dari India ini dahulunya banyak bermukim di sini. Sebagaimana masjid-masjid tua di DKI, setelah diperbaharui, gaya lamanya telah agak hilang. Dan untungnya tiang-tiang penyangganya masih utuh. Umumnya masjid-masjid tua di Jakarta yang banyak dibangun sesudah masa itu memiliki empat tiang penyangga. Dan hebatnya, tiang penyangga itu sekalipun sudah ber

Asal-usul Hadirnya Islam di Pulau Dewata

A da beberapa riwayat yang mencatat kehadiran Islam pertama kali di Pulau Dewata. Pertama, menurut catatan sejarah, Islam masuk ke Bali lewat Kerajaan Klukung yang berdiri sejak abad XIV. Awalnya, sekitar tahun 1500 M datanglah Raja Dalam Ketut Sri Kresna Kepakisan dari Pulau Jawa ke Bali. Kedatangannya ke Bali sebagai pelarian karena Kerajaan Majapahit yang dulunya Hindu telah berubah menjadi Islam akibat perluasan kekuasaan kerajaan Demak setelah sebelumnya dihancurkan oleh kerajaan Kediri. Selanjutnya Raja Dalem Ketut mendirikan kerajaan Hindu di Klukung. Tak lama kemudian datanglah Ratu Dewi Fatimah dari Majapahit yang telah memeluk Islam. Kehadirannya ke Bali untuk menengok Raja Dalem Ketut yang masih sepupunya sekaligus kekasihnya sewaktu masih di Jawa. Niatan Ratu Dewi ke Klukung tidak lain mengajak Raja Dalem Ketut memeluk agama Islam, dan bersama sang Raja mendirikan kerajaan Islam. Namun usahanya gagal dan akhirnya Ratu Dewi bermukim di Loloan, tempatnya berasal s

Etnis Cina Menyatu Mesra

Hubungan mesra antara etnis Cina dan pribumi berlangsung sejak abad XV. Menghindari eklusivitas adalah kuncinya. K ERUSUHAN di Jakarta, 13 dan 14 Mei lalu, menyisakan duka lara dan perih menyayat yang tak terhingga. Mayoritas korban adalah warga negara keturunan Cina. Bukan cuma harta benda yang dirampok, nyawa dan kehormatan mereka--terutama para amoinya--juga dirampas. Naluri kemanusiaan bangsa kini digedor, benarkah etnis Cina hanya menumpuk-numpuk kekayaan tanpa peduli dengan lingkungannya? Buku ini memberikan sedikit gambaran tentang kiprah etnis Cina pada abad XV dan XVI Masehi. Sebagai bukti sejarah, antara lain, bisa dilihat dari arsitektur Masjid Demak, Jawa Tengah. Para wali yang menyebarkan Islam di Nusantara juga dikenal sebagai Cina muslim. Sunan Ampel, yang dikenal dengan nama Raden Rahmat, bernama asli Bong Swi Hoo. Raja Demak pertama, Raden Fatah, adalah seorang Cina, dengan nama asli Jin Bun. Buku Cina Muslim  ini adalah buah karya pakar sejarah Jawa asal Belanda, H. J

Ibnu Batuta: Penjelajah Dunia dari Rusia hingga Samudra Pasai

O rang-orang Arab sejak lama dikenal sebagai penjelajah dunia. Boleh dibilang, merekalah pionir-pionir utama yang mengantarkan umat manusia mengenal satu sama lain. Bila Columbus dianggap penemu Dunia Baru atau Benua Amerika, maka anggapan itu perlu diperbarui karena para penjelajah Arab telah mendaratkan perahu-perahu mereka di Dunia Baru tersebut lima abad sebelum kehadiran Columbus. Catatan sejarah yang ada menunjukkan kapal-kapal mereka telah melintasi Selat Bering untuk mengelilingi pantai-pantai Amerika Utara. Salah satu tokoh penjelajah muslim yang namanya diukir dengan tinta emas adalah Ibnu Batuta. Bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati al Tanji, Ibnu Batuta lahir di Tangiers, Maroko, Afrika Utara pada 24 Februari 1304 M. Dibesarkan dalam keluarga yang taat memelihara Islam, Ibnu Batutah giat mempelajari fikih dari para ahli yang sebagian besar menduduki jabatan Kadi (hakim). Selain itu, ia juga mempelajari sastra dan syair Arab. Pada masa hidupnya, Bani

Pembuatan UUD 1945

Oleh Rosihan Anwar Menindaklanjuti keterangan PM Jepang Jenderal Koiso di depan sidang Diet  di Tokyo 7 September 1944 mengenai "akan diberikannya kemerdekaan kepada Hindia Timur di kelak kemudian hari", maka pada HUT Kaisar Tenno Heika 29 April 1945 diumumkan daftar nama anggota Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokoritsu Chosa Jumbi Iin . Badan yang bertugas merancang Undang-undang Dasar suatu negara Indonesia yang berdaulat merdeka diketuai oleh politikus veteran dari zaman Budi Utomo, Dokter Radjiman Wediodiningrat. Anggota-anggotanya terdiri dari pegawai negeri senior, seperti Prof Supomo, Soetardjo, Sumitro Kolopaking, dan politisi seperti Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr Muhammad Yamin, dan Mr Achmad Subardjo. Hanya dua wanita yang ikut, yaitu Mr Maria Ulfah Santoso dan Ny Sunaryo Mangunpuspito. Tujuh anggota berasal dari kalangan Islam, seperti NU dan Muhammadiyah. Seorang akademikus muda Australia, Da

Melacak Masjid Tempo Doeloe di Jakarta

M emasuki kawasan Pasar Ikan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara pada Kamis (25/12) lalu yang juga bertepatan dengan Hari Natal, tampak ratusan orang berbondong-bondong menuju perkampungan Luar Batang yang terletak di sebelah utara pasar itu. Mereka sebagian besar datang dengan mengendarai mobil dan bus. Di antaranya membawa istri dan anak-anak, untuk melakukan ziarah ke Masjid Luar Batang. Dari pelat nomor polisi mobil dan bus, yang diparkir di depan Museum Bahari, menunjukkan bahwa para peziarah datang dari berbagai tempat di Pulau Jawa. Museum Bahari yang pada masa kolonial Belanda merupakan tempat gudang rempah-rempah, letaknya di bagian selatan masjid ini. Untuk memasuki masjid, para peziarah yang tampak bergabung dengan beberapa wisatawan mancanegara, setelah melalui lorong pasar yang sempit harus pula melewati jembatan penyeberangan dari papan di muara Kali Ciliwung yang tampak hitam, kotor dan penuh sampah. Setiap penyeberang dikenakan biaya sebesar Rp 200, yang uangnya di

Masjid Para Imigran

K awasan Glodok pun menyimpan masjid bersejarah. Tempatnya tak jauh di Jl Pengukiran, belakang Pasar Pagi. Agak sedikit terpencil, dan terletak di Jalan Pengukiran II, tak jauh dari Jalan Pejagalan, terdapat sebuah masjid kecil. Seorang pengurus menyatakan, masjid yang dibangun pada 1648 itu merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta. Masjid yang sekarang ini diberi nama Masjid Al-Anshor itu didirikan oleh para pendatang India dari Malabar. Sebagaimana masjid-masjid tua di DKI, setelah diperbaharui gaya lamanya telah agak hilang. Dan untungnya tiang-tiang penyangganya masih utuh. Umumnya masjid-masjid tua di Jakarta memiliki empat tiang penyangga, sekalipun sudah berusia lebih dua abad sampai sekarang masih berdiri kukuh. Ukuran masjid-masjid itu tak lebih dari 10 x 10 meter persegi, mengingat kampung-kampung pada masa itu, penduduknya hanya ratusan orang saja. Berlainan dengan masjid-masjid tua lainnya, Masjid Al-Anshor, yang dulu di sekitarnya terdapat pemakaman, kini sudah menyat
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...