Langsung ke konten utama

Wacana Baru Islam Jawa

Pakubuwono II gagal menjadi raja-sufi yang kuat. Ia tak mampu menghadapi kehadiran VOC.

ISLAM sinkretis. Istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan Islam di Jawa. Perkembangan Islam di wilayah ini lebih diwarnai proses penjawaan ketimbang sebaliknya. Namun, tidak demikian halnya dengan buku karangan M. C. Ricklefs ini. Lewat kajiannya tentang kebangkitan budaya Jawa pada abad ke-18, tepatnya pada masa kekuasaan Pakubuwono II (1726-1749) di Kerajaan Mataram, ia berkesimpulan sebaliknya. Islam menempati posisi sentral dalam budaya Jawa. Bersama tradisi besar pra-Islam, Hindu-Budhis, Islam memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan budaya Jawa.

Argumen Ricklefs ini memang mewakili kecenderungan baru dalam kajian Islam di Indonesia. Mark R. Woodward menyebutnya sebagai "paradigma yang berpusat pada Islam" (Islam centered paradigm). Meski demikian, pada saat yang sama, harus diingat bahwa pandangan Ricklefs ini mewakili argumen seorang sejarawan. Hubungan Islam-Jawa tidak dilihat secara permanen, melainkan senantiasa diletakkan dalam konteks sejarah, sehingga selalu terbuka bagi kemungkinan perubahan pola hubungan, sesuai dengan semangat baru yang muncul pada periode tertentu dalam perkembangan sejarah tanah Jawa.

Tanah Jawa pada abad ke-18, dan Nusantara pada umumnya, menyaksikan tumbuhnya revivalisme Islam, khususnya neosufisme. Kontak intensif Nusantara dengan Timur Tengah telah menjadi sarana penting dalam proses transmisi intelektual bagi para ulama Nusantara yang belajar khususnya di Mekkah dan Madinah. Dengan terbentuknya "jaringan ulama"--mengutip Azyumardi Azra--neosufisme di Timur Tengah kemudian melahirkan gerakan serupa di Indonesia.

Dalam konteks Jawa, revivalisme Islam ini memang tidak memunculkan gerakan oposisi terhadap sufisme heterodoks, yakni wahdat al-wujud, seperti di dunia Melayu, melainkan justru menjadi basis kebangkitan budaya Jawa. Ini berwujud upaya penghidupan kembali khazanah budaya Jawa pra-Islam, yang dirumuskan dalam tema-tema baru yang banyak dipengaruhi nilai-nilai Islam.

Hal terakhir ini tampak demikian jelas pada wacana yang muncul dalam teks-teks sastra Jawa yang diidentifikasikan ditulis pada periode ini, seperti Carita Iskandar, Kitab Usulbiyah, dan Serat Cabolek. Dalam ketiga teks tersebut, yang dianggap sebagai "teks Jawa-Islam", nilai-nilai Islam membentuk satu substansi utama. Ditulis di lingkungan keraton Jawa, teks-teks tersebut sekaligus memiliki signifikansi politik bagi kerajaan di Jawa. Pakubuwono II saat itu memang dihadapkan pada persoalan politik yang sangat kompleks, baik akibat intrik politik keluarga istana maupun kehadiran VOC di Jawa yang makin kuat. Maka teks-teks itu diarahkan untuk memberikan legitimasi politik bagi penguasa Jawa yang terus-menerus dilanda masalah.

Dimensi politik ini bahkan sangat kentara dalam teks Jawa yang dibahas kemudian, yakni Suluk Garwa Kencana. Dalam teks ini, gagasan politik Jawa dirumuskan secara tegas. Teks ini menyebutkan beberapa prasyarat menjadi raja, seperti melaksanakan perintah agama, dan--ini terpenting--harus seorang sufi sehingga bisa memperoleh pengetahuan supranatural dari realitas ketuhanan. Bahkan, "raja-sufi" dalam suluk ini memperoleh penekanan kuat sebagai satu rumusan penguasa ideal Jawa. Raja adalah penghubung dunia-dunia, makro dan mikrokosmos: raja diharapkan bisa membawa kerajaan pada suasana yang dicitakan secara ideal.

Gagasan raja-sufi ini memang jelas dialamatkan pada Pakubuwono II. Ia diharapkan bisa menjadi raja ideal Mataram, yang terus-menerus dilanda masalah legitimasi sejak meninggalkan Sultan Agung pada 1646. Namun, seperti dijelaskan buku ini, Pakubuwono II tampaknya tidak terlalu kuat untuk bisa tampil sebagai seorang raja-sufi sebagaimana diharapkan. Kondisi politik yang berlaku di Jawa, khususnya yang berkaitan dengan kehadiran VOC, tampak membutuhkan respons yang lebih bijaksana dan kuat ketimbang pola kehidupan sufistik yang eskatik--yang mementingkan akhirat--yang justru makin mewarnai kehidupan Pakubuwono II di Mataram.

Akibatnya, ia tak hanya harus kehilangan kekuasaan, sebelum akhirnya dipulihkan kembali atas bantuan VOC, melainkan juga kemudian mewariskan Kerajaan Mataram yang siap mengalami perpecahan, menjadi empat kerajaan. Dan semua kerajaan itu berada di bawah kontrol VOC.

Kondisi tersebut tak hanya membuat konsep raja-sufi dipertanyakan kembali. Di atas segalanya, ia menjadikan keharmonisan hubungan Islam-Jawa, yang telah menjadi basis kebangkitan budaya Jawa, harus berakhir. Maka, pada abad selanjutnya, konflik dan ketegangan antara Islam dan kejawaan menjadi wacana dominan perkembangan Islam di Jawa.

 

THE SEEN AND UNSEEN WORLDS IN JAVA: HISTORY, LITERATURE AND ISLAM IN THE COURT OF PAKUBUWANA II 1726-1749

Penulis : M. C. Ricklefs

Penerbit: Allen & Unwin and University of Hawaii Press, Honolulu, 1998, 391 halaman


Jajat Burhanudin

Peneliti pada Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat IAIN Jakarta


Sumber: Gatra, 5 September 1998



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...