Langsung ke konten utama

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker.

Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa.

Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij.

Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan.

Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss).

Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang besar. Melihat penindasan dan penjajahan di tempat kelahirannya, hatinya tersentuh dan mendorongnya tampil sebagai pejuang kemerdekaan yang sejati.

Dalam tahun 1900, Danudirjo turut serta terjun dalam Perang Boer, yang berkecamuk di Afrika Selatan. Ia berperang di pihak penduduk Belanda yang berdiam di sana melawan tentara Inggris yang datang hendak menjajah mereka. Ikutnya Danudirjo (pada saat itu masih bernama Douwes Dekker) dalam perang itu membuktikan betapa besar semangat dan jiwa kemerdekaannya.

Siapapun yang tertindas, ia akan tampil dan siap membelanya. Kalau dalam Perang Boer itu ia mengangkut senjata membela penduduk Belanda melawan penjajah yaitu Inggris, maka sekembalinya ia ke Indonesia, ia meneteskan keringat dan menyumbangkan tenaga dan jiwa raganya, berjuang di pihak rakyat Indonesia melawan pemerintah kolonial Belanda.

Sepulangnya dari Afrika Selatan, Danudirjo menetap di Bandung. Dalam perjuangannya melawan pemerintah kolonial Belanda, ia memilih dunia jurnalistik sebagai medannya. Ia mendirikan majalah Het Tijdschrift, dan suratkabar De Expres, yang isinya selalu dengan tajam menyerang tindakan, kebijaksanaan, dan tingkah laku pemerintah kolonial.

Dalam kedua penerbitan itulah banyak pejuang terkemuka menuliskan ide gagasannya. Dua di antaranya adalah Suwardi Suryaningrat dan Dr. Cipto Mangunkusumo.

Kemudian pada tahun 1912 bersama-sama Suwardi dan Dr. Cipto, Danudirjo mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik yang pertama kali didirikan di Indonesia. Sejak saat itulah ketiga tokoh perjuangan ini dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai.

Karena tulisan-tulisan yang mengecam pemerintah kolonial pada kedua penerbitan itu yang diasuh oleh Danudirjo, maka Danudirjo ditangkap. Lagi-lagi ia ditangkap bersama-sama Suwardi dan Dr. Cipto lalu dibuang. Suwardi dibuang ke Bangka kemudian ke negeri Belanda, Dr. Cipto dibuang ke Banda, dan Danudirjo dibuang ke Kupang (Timor).

Semangat Danudirjo tidak pudar setelah habis masa pembuangannya. Malah sebaliknya, justru semakin membara. Tidak lama setelah itu, ia mendirikan National Indische Partij, sebagai kelanjutan dari Indische Partij yang karena pemimpin-pemimpinnya dibuang menjadi tidak bergerak. Aktivitasnya tak kunjung henti sampai menjelang meletusnya Perang Pasifik, ketika ia kembali ditangkap dan diasingkan ke Suriname.

Pada saat kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Danudirjo berusaha pulang dari tempat pengasingannya. Usahanya itu baru berhasil tahun 1947. Dengan menumpang kapal laut, Danudirjo mendarat di tanah airnya yang tercinta dan langsung menggabungkan diri dengan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia. Oleh Sutan Syahrir yang menjadi Perdana Menteri pada saat itu, Danurdirjo segera diangkat menjadi Menteri Negara. Peranannya sangat menonjol pada waktu perundingan Linggarjati, terutama dalam kedudukannya sebagai anggota panitia ekonomi dan politik.

Setelah Kabinet Syahrir jatuh, Danudirjo diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kemudian pada tahun 1950 menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara.

Setelah keaktifannya dalam kancah politik, sebenarnya ia ingin terus tampil berjuang di tengah-tengah bangsa Indonesia. Namun nasib Danudirjo menyatakan lain. Danurdijo dipanggil ke hadapan Tuhan, ia meninggal pada tahun 1952.

Yang patut kita teladani dari Danudirjo adalah jiwa kemerdekaannya yang sangat tebal. Ia mencurahkan jiwa raganya bagi siapa saja yang tertindas. Di Indonesia ia berjuang di pihak rakyat Indonesia melawan Belanda, sekalipun ia sendiri sebenarnya keturunan Belanda. Moga-moga apa yang ada dalam diri Dr. Danudirjo Setiabudi dapat menjadi cermin bagi kita sebagai generasi penerus. Semoga. (K - M. Suarsana).-



Sumber: Tidak diketahui, 26 Juni 1983



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...