Langsung ke konten utama

Etnis Cina Menyatu Mesra

Hubungan mesra antara etnis Cina dan pribumi berlangsung sejak abad XV. Menghindari eklusivitas adalah kuncinya.

KERUSUHAN di Jakarta, 13 dan 14 Mei lalu, menyisakan duka lara dan perih menyayat yang tak terhingga. Mayoritas korban adalah warga negara keturunan Cina. Bukan cuma harta benda yang dirampok, nyawa dan kehormatan mereka--terutama para amoinya--juga dirampas. Naluri kemanusiaan bangsa kini digedor, benarkah etnis Cina hanya menumpuk-numpuk kekayaan tanpa peduli dengan lingkungannya? Buku ini memberikan sedikit gambaran tentang kiprah etnis Cina pada abad XV dan XVI Masehi.

Sebagai bukti sejarah, antara lain, bisa dilihat dari arsitektur Masjid Demak, Jawa Tengah. Para wali yang menyebarkan Islam di Nusantara juga dikenal sebagai Cina muslim. Sunan Ampel, yang dikenal dengan nama Raden Rahmat, bernama asli Bong Swi Hoo. Raja Demak pertama, Raden Fatah, adalah seorang Cina, dengan nama asli Jin Bun.

Buku Cina Muslim ini adalah buah karya pakar sejarah Jawa asal Belanda, H. J. de Graaf dan Pigeaud. Buku ini berupa tanggapan kritis terhadap teks "Catatan Melayu" yang menjadi lampiran buku Tuanku Rao, karya M. O. Parlindungan, yang terbit pada 1964. Sepuluh tahun kemudian, analisis atas "Catatan Melayu" terbit dalam bahasa Inggris. Melalui kerja sama penerjemahan dengan Monash Asia Institute, Penerbit Tiara Wacana menghadirkannya untuk pembaca di Tanah Air.

Dalam melakukan analisisnya, kedua penulis menggunakan perbandingan dengan tiga sumber utama sejarah Jawa: catatan perjalanan pengembara Portugis, Tom Pires; catatan-catatan dokumenter Cina Daratan; dan Babad Tanah Jawa. Pendekatan ini mampu menguak mana yang fakta dan mana yang hanya khayalan sang penulis "Catatan Melayu". Hubungan etnis Cina dengan pribumi juga tergambar jelas. Kehadiran Sunan Ampel dan Raden Fatah, misalnya, adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan. Komunitas pribumi dengan etnis Cina muslim sudah menyatu dengan mesra. 

Lalu, bagaimana hubungan pribumi dengan etnis Cina yang nonmuslim? Tan Sam Cai alias Syafi'i, yang dikenal sebagai Tumenggung Arya Dipa Wira Cula, adalah pemeluk Khonghucu tulen. Tan Sam Cai dikenal sebagai administratur profesional yang bekerja di Kesultanan Cirebon yang muslim. Ia bekerja di kesultanan pada era pemerintahan pengganti Sunan Gunung Jati--yang waktu itu masih kecil. Ketika pada 1585 Tan Sam Cai meninggal dunia, Cirebon kehilangan salah seorang pembesarnya. Tan Sam Cai terukir sebagai salah seorang pemimpin yang mendirikan Cirebon pada abad XVI.

Hubungan masyarakat yang beretnis Cina dengan pribumi berjalan baik. Lihat, misalnya, betapa masyhurnya nama Can Cin Kie di wilayah Cirebon--dan di daerah pesisir--sebagai konglomerat yang memiliki sejumlah pabrik gula. Meski ahli dalam manajemen dan keuangan, Can Cin Kie menggunakan orang Belanda untuk duduk sebagai eksekutifnya.

Sebelum hijrah ke Cirebon, Can Cin Kie--yang di negerinya dikenal sebagai seorang tentara berpangkat mayor--pernah mendapatkan Bintang Mandarin Kelas II dari gubernur kekaisaran di Peking. Ketika ia berada di Cirebon, atas jasa-jasanya, pemerintahan kolonial Belanda memberinya penghargaan berupa tanda jasa.

Sebagai tempat tinggal konglomerat, rumah Can Cin Kie yang terletak di pusat kota dibangun dengan arsitektur Cina, berhalaman luas dan berpagar tembok, dengan beberapa pintu gerbang. Rumah tersebut tak kalah megahnya dengan rumah yang dihuni para elite keraton. Hidup sebagai konglomerat ternyata tak membuat Can Cin Kie hanya bergaul di lingkungan elite, melainkan dengan siapa saja.

Sebagai warga yang bukan pribumi, Can Cin Kie menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat setempat. Pesta-pesta yang diadakan di rumahnya tak hanya dihadiri kalangan atas, melainkan juga masyarakat umum. Soalnya, ketika pesta digelar, pintu gerbang dibuka, dan siapa saja bisa masuk, tanpa kecuali. Pementasan dengan gamelan dan tari topeng selalu menjadi acara utamanya. Ada juga wayang kulit yang digelarnya semalam suntuk. Rumahnya yang luas dipenuhi koleksi-koleksi dari sentuhan tangan-tangan terampil masyarakat Jawa. Keterbukaan terhadap lingkungan ini mampu menanggalkan sekat-sekat antaretnis.

Tak ada gading yang tak retak, tentu. Buku ini pun tak lepas dari kelemahan. Yakni, pembaca sering terganggu oleh teknis penulisan yang sarat kutipan dari sumber-sumber rujukan. Untuk konsumsi umum, mestinya buku ini bisa tampil lebih ngepop, tanpa kehilangan nuansa keilmiahannya. Caranya, kutipan bisa berbentuk catatan kaki, sementara cerita bisa meluncur lancar tanpa terganggu di tengah jalan.

Herry Mohammad



CINA MUSLIM DI JAWA ABAD XV DAN XVI, ANTARA HISTORISITAS DAN MITOS
Penulis : H. J. de Graaf dkk.
Pengantar : M. C. Riclefs
Penerbit : PT Tiara Wacana, Yogyakarta, 1998, xxxiii + 217 halaman



Sumber: Gatra, 27 Juni 1998



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan