Langsung ke konten utama

Tanjung Priok Berdarah, Pergulatan antara Islam dan Kekuasaan

AM Fatwa
Pengamat Masalah Politik

Pembantaian umat Islam di Tanjung Priok 12 September 1984 adalah fakta sejarah bahwa pemerintah Orde Baru dengan militerismenya, sampai tahun 1980-an, menempatkan Islam sebagai kelompok radikal yang membahayakan pemerintah. Dalam berbagai kasus, di antaranya pembantaian umat Islam Tanjung Priok, sebenarnya kalau diamati ada juga terselip tujuan misi ideologis, terutama di kalangan elite pemerintah dan militer aktif saat itu.

Memang, dalam sejarah rezim Orde Baru, hubungan antara Islam dan kekuasaan tidaklah dalam garis linier. Hubungan yang dikembangkan sering kali memojokkan umat Islam. Secara garis besar, hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, fase marginalisasi (1968-1986). Dalam fase ini, keberadaan umat Islam sungguh sengsara. Islam dianggap sebagai kelompok pembangkang, dan segala aspirasi politiknya selalu dicurigai. Bahasa politik yang digunakan rezim--seperti Komando Jihad, golongan anti-Pancasila, kelompok ekstrim kanan yang mempunyai cita-cita ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII)--memang dimaksudkan untuk mendiskreditkan Islam. Islam secara politik berada di tempat marginal. Mengapa hal ini terjadi?

Dalam pandangan penulis, karena (i) Pemerintah Orde Baru yang bersifat militeristik masih dibayangi oleh trauma sejarah terhadap pemberontakan yang dilakukan kelompok Islam dan masih dianggap sebagai faktor pengganggu stabilitas dan kesatuan bangsa; (ii) Rezim Orde Baru didominasi oleh figur/kelompok-kelompok yang anti-Islam dan Islamo-phobia. Kadangkala kebijakan yang diambil seringkali bersifat subjektif-ideologis. Kekuatan "politik Islam" masih powerless.

Kedua, fase understanding (1986-1989). Ditandai oleh proses interaksi dan dialog antara kekuatan Islam (politik) dengan pemerintah. Secara politik, kaum muslim terpelajar dan mempunyai komitmen keislaman sudah mulai mengisi di middle dan upper-structure pemerintahan. Simbol-simbol Islam mulai diperlihatkan, meskipun masih sebatas ritual-formalistik. Ini yang mempengaruhi pemerintahan Orde Baru dalam melihat tentang Islam.

Ketiga, fase akomodasionis (1989-1998). Ditandai dengan berdirinya ICMI dan mulai masuknya figur-figur muslim dalam proses politik, dan sedikit banyak mempengaruhi policy pemerintah. Oleh sebagian pengamat, hubungan yang simbiosis-mutualisme ini sering dikaitkan dengan pengalaman keagamaan Soeharto sebagai pemeluk Islam. Bisa jadi memang demikian halnya. Tetapi menurut penulis, mengapa masih saja terjadi praktik-praktik KKN yang justru berlawanan dengan ajaran Islam? Umat Islam sudah tidak lagi dianggap--meminjam istilah Natsir--sebagai the cats with ringworm (kucing kurap).

Era reformasi saat ini, bisa dikatakan sebagai fase keempat, yaitu fase transisional kritis (1998-2000). Kekuatan Islam ditafsirkan telah menjelma dalam Pemerintahan BJ Habibie. Meskipun ini berbau simplistis, namun buktinya bisa diukur dalam realitas keseharian: Ketika BJ Habibie dihujat, yang sering membela adalah kelompok Islam. Hal ini akan menciptakan hubungan kelompok Islam vis a vis non-Islam. Apalagi saat ini telah lahir kembali partai politik Islam dan pencabutan Pancasila sebagai asas tunggal, maka akan memunculkan konfigurasi baru dalam menatap arti pluralisme. Fase ini akan ditandai oleh munculnya kembali sejumlah istilah-istilah, seperti Islam antek kekuasaan, akan munculnya NII, dan sebagainya, yang membahayakan rasa nasionalisme kita.

Dari fase sejarah yang memotret hubungan antara Islam dan kekuasaan, kita bisa menarik konklusi bahwa sebenarnya hubungan di antara keduanya memang tidak dalam warna tunggal selamanya.

Islam dan demokrasi

Wacana yang berkembang dalam fase marginalisasi di atas dengan jelas telah memposisikan "Islam politik" sebagai kelompok fundamentalis dan antidemokrasi. Kalau melihat perkembangan teori demokrasi (Barat), para pemikir demokrasi--di antaranya Samuel P Huntington, Francis Fukuyama, dan Seymour Martin Lipset--tidak memasukkan negara-negara Arab yang dianggap representasi dari model "negara Islam" ke dalam penelitiannya tentang perkembangan demokrasi. Mungkin saja hal ini disebabkan karena pertama, Islam secara inheren tidak sesuai dengan demokrasi; dan kedua, Islam tidak mempunyai pengalaman demokrasi yang memadai sehingga tidak memiliki prospek untuk melakukan proses transisi, kendatipun hanya ke semidemokrasi.

Pendapat yang minor saat itu banyak mendapat tanggapan para pengamat politik Islam untuk melihat secara jernih dan objektif terhadap hubungan antara Islam dengan sistem politik modern, di mana demokrasi adalah salah satu unsurnya. Dalam sebuah simposium yang diselenggarakan oleh United State Institute for Peace Studies di Washington DC, 15 Mei 1992, sebagaimana yang dikutip Masika (1994), dibicarakan empat tema besar.

Pertama, bercampurnya agama dan politik tidaklah khas Islam dan tidak hanya terjadi di dunia Islam, melainkan juga di tempat-tempat lain. Pada saat yang sama, tindakan politik yang "religius" (religious political action) tidaklah selalu fundamentalistik, antidemokrasi. Pada kenyataannya, justru pada saat tertentu malah menyokong tujuan-tujuan demokrasi.

Kedua, istilah penggunaan fundamentalisme untuk menggambarkan aktivitas politik Islam dan seringkali mengakibatkan kebingungan dan kesalahpahaman, baik di dunia Islam maupun di Barat sendiri.

Ketiga, demokrasi mengandung arti yang berbeda bagi kalangan yang berbeda. Konsep demokrasi atau otoritarian dalam perkembangannya ternyata mengalami proses dialog dan kadangkala menciptakan cita-cita baru dalam pemerintahan tersebut.

Keempat, persepsi mengenai ancaman Islam selalu diprediksikan selalu di atas preferensi bagi berlanjutnya status quo. Dan ketika kelompok-kelompok Islam sukses dalam memobilisasi massa sebagai bentuk partisipasinya secara demokratis, maka mereka cenderung dilihat sebagai ancaman terhadap kepentingan Barat dan tatanan yang sudah mapan.

Dalam konteks tersebut, arus pemikiran yang mendiskreditkan Islam sebagai ancaman demokrasi sudah diderivasi ke dalam berbagai teori-teori sosial (demokrasi). Pendapat semacam ini, menurut penulis, karena adanya pandangan yang monolitis terhadap Islam. Mungkin saja, yang dijadikan penelitiannya adalah melihat pada kegiatan para aktivis muslim yang militan dan radikal, khususnya yang berkembang di Timur Tengah. Kegiatan kekerasan (violence) selalu dialamatkan ke Islam daripada melihat terjadinya proses penafsiran Islam yang salah bagi kelompok tertentu. Terma militan dan radikal kemudian dipakai secara general dan sembarangan ketika membicarakan tentang pemimpin Islam, negara Islam, dan organisasi Islam.

Pemerintah Orde Baru yang ditulangpunggungi oleh militer memiliki persepsi yang khas terhadap Islam. Persepsi ini kadangkala memusuhi, kadangkala berkawan, kadangkala dimanfaatkan. Islam kemudian menjadi komoditas politik.

Terjadinya peristiwa Tanjung Priok memberikan bukti bahwa persepsi militer yang khas terhadap Islam memang menempatkan Islam sebagai faktor instabilitas. Padahal menurut penulis, peristiwa tersebut bukan hanya itu, atau sekadar pelanggaran HAM oleh rezim Orde Baru dan militer, tetapi lebih-lebih lagi karena ada skenario besar untuk menyudutkan kelompok Islam sebagai kelompok antidemokrasi, kelompok fundamentalis, dan sejumlah image negatif lainya. Oleh karena itu harus dimonitor terus-menerus. Skenario tersebut, menurut penulis, mengandung unsur-unsur ideologi tertentu yang sangat halus dan tersembunyi agar tetap terus berkuasa.

Tanggung jawab politik

Meskipun peristiwa Tanjung Priok Berdarah sudah berlalu 14 tahun yang lalu, tetapi kita sebagai bangsa yang hidup di negara hukum, bukan berarti harus menganggap aspek-aspek pertanggungjawaban politik, khususnya para individu-individu, dalam peristiwa itu sudah berlalu. Diperlukan sebuah pengusutan yang tuntas, tidak saja terhadap peristiwa Tanjung Priok, tetapi juga terhadap beberapa peristiwa lainnya, antara lain DOM, Lampung, dan sebagainya, yang melibatkan tapol/napol Islam. Mengapa demikian?

Pengusutan ini memberikan pelajaran sejarah kepada rakyat Indonesia bahwa dalam membangun sebuah negara demokrasi, adanya rule of law harus ditegakkan. Sudah seharusnya budaya rekayasa, penggarapan, intimidasi suatu rezim terhadap rakyat, harus ditinggalkan. Di samping bertentangan dengan ajaran Islam, tindakan itu juga tidak sesuai dengan kehidupan demokrasi. Dalam sebuah negara demokrasi, nilai keadilan, kejujuran, keberadaban, dan sopan-santun dalam hidup berdemokrasi harus dijalankan. Bagaimana cara mempertanggungjawabkan para aparat pemerintah waktu itu dalam kasus Tanjung Priok?

Barangkali pernyataan Leonardus Benyamin Moerdani--yang pada tahun 1983-1988 menjabat Panglima ABRI dan Pangkopkamtib--bisa membantu mata hati kita untuk melihat secara jernih persoalan ini dan selanjutnya diproses secara hukum. Dalam buku Tanjung Priok Berdarah: Tanggungjawab Siapa? (1988), ia mengatakan: "Waktu saya jadi Pangkopkamtib, saya hanya dikasih wewenang. Pangkopkamtib dari dulu ada pada Soeharto. Jadi, kami jadi pelaksana saja atas nama beliau melakukan apa yang disebut dalam Ketetapan MPR."

Apalagi dalam era keterbukaan ini, semua para elite rezim Orde Baru waktu itu, dari atas hingga ke bawah, sangat memungkinkan untuk segera membuat pertanggungjawaban politik. Bagaimanapun juga, tanggung jawab itu sebagai suatu kewajiban moral dan politik dari rezim Orde Baru. Jadi, tanggung jawab politik adalah juga merupakan tanggung jawab sejarah! []



Sumber: Republika, 10 Desember 1998



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

RUNTUHNYA HINDIA BELANDA: Menyerahnya Gubernur Jendral AWL TJARDA dan Letnan Jendral TER POORTEN kepada Letnan Jendral IMMAMURA Panglima Perang Jepang 8 Maret 1942

Generasi kita sekarang, mungkin tidak banyak yang mengetahui terjadinya peristiwa penting di tanah air kita 35 tahun yang lalu, yaitu menyerahnya Gubernur Jenderal dan Panglima Perang Hindia Belanda "Tanpa Syarat" kepada Panglima Perang Jepang yang terjadi di Kalijati Bandung pada tanggal 8 Maret 1942. Peristiwa yang mengandung sejarah di Tanah Air kita ini telah ditulis oleh Tuan S. Miyosi seperti di bawah ini: Pada tanggal 8 Maret 1942 ketika fajar kurang lebih jam 07.00 pagi, kami sedang minum kopi sambil menggosok mata, karena kami baru saja memasuki kota Jakarta, dan malamnya banyak diadakan permusyawaratan. Pada waktu itu datanglah seorang utusan dari Markas Besar Balatentara Jepang untuk menyampaikan berita supaya kami secepat mungkin datang, walaupun tidak berpakaian lengkap sekalipun. Kami bertanya kepada utusan itu, apa sebabnya maka kami disuruh tergesa-gesa? Rupa-rupanya balatentara Hindia Belanda memberi tanda-tanda bahwa peperangan hendak dihentikan! Akan ...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Pemuda Penjuru Bangsa

"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". (Ir Soekarno) JAKARTA, KOMPAS -- Pernyataan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, itu menggambarkan betapa pemuda merupakan potensi yang luar biasa, tidak hanya untuk pembangunan bangsa, tetapi juga untuk mengguncangkan dunia. Dalam perkembangan bangsa ini, kaum muda banyak mewarnai sejarah Indonesia. Tidak hanya dimulai dengan digelarnya Kongres Pemuda II tahun 1928, yang menegaskan "bertanah air dan berbangsa yang satu, bangsa Indonesia serta berbahasa persatuan, bahasa Indonesia", tetapi peristiwa pembentukan negeri ini, misalnya lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908, pun digagas pemuda. Bahkan, organisasi kebangsaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, tidak bisa dipisahkan dari peranan kaum muda. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang diakui sebagai pemuda adalah warga negara yang m...