Langsung ke konten utama

Melacak Masjid Tempo Doeloe di Jakarta

Memasuki kawasan Pasar Ikan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara pada Kamis (25/12) lalu yang juga bertepatan dengan Hari Natal, tampak ratusan orang berbondong-bondong menuju perkampungan Luar Batang yang terletak di sebelah utara pasar itu.

Mereka sebagian besar datang dengan mengendarai mobil dan bus. Di antaranya membawa istri dan anak-anak, untuk melakukan ziarah ke Masjid Luar Batang.

Dari pelat nomor polisi mobil dan bus, yang diparkir di depan Museum Bahari, menunjukkan bahwa para peziarah datang dari berbagai tempat di Pulau Jawa. Museum Bahari yang pada masa kolonial Belanda merupakan tempat gudang rempah-rempah, letaknya di bagian selatan masjid ini.

Untuk memasuki masjid, para peziarah yang tampak bergabung dengan beberapa wisatawan mancanegara, setelah melalui lorong pasar yang sempit harus pula melewati jembatan penyeberangan dari papan di muara Kali Ciliwung yang tampak hitam, kotor dan penuh sampah. Setiap penyeberang dikenakan biaya sebesar Rp 200, yang uangnya dikumpulkan oleh bagian keamanan masyarakat setempat.

Pada hari-hari biasa, biaya masuk hanya seratus perak per orang. "Tapi karena hari ini merupakan hari ziarah terakhir menyambut Ramadhan, biayanya menjadi lebih dari Rp 200," kata seorang petugas keamanan.

Tidak jauh dari tempat penyeberangan, para peziarah masih harus melalui lorong-lorong di perumahan kumuh, baru dapat mencapai masjid. Di bagian kiri masjid, terdapat sebuah kubah tempat seorang guru agama dimakamkan. Pada nisannya tertulis kalimat: "Telah berpulang ke Rahmatullah Habib Husin bin Abubakar Alaydrus - 17 Ramadhan 1169 H (24 Juni 1756 M)".

Ratusan peziarah tampak tengah membaca ayat-ayat suci Alquran di pemakaman yang sudah berusia sekitar dua setengah abad ini. Sementara para wanitanya duduk terpisah dari pria. Sedangkan di bagian selatan terdapat makam-makam tua dari para pengikut guru agama ini.

Menurut Habib Anwar, salah satu keturunan dari Habib Husein, moyangnya itu datang dari Hadramaut, Semenanjung Arab. Dan sebelum ke Indonesia terlebih dahulu tinggal di Gujarat. Sedangkan menurut Kepala Museum Bahari, Dhermawan Ilyas, kawasan Luar Batang, yang merupakan daerah pemukiman pertama di Jakarta, sejak awal merupakan daerah penyebaran Islam.

Para ulama di sini, telah mengimbangi kegiatan keagamaan Belanda yang dilakukan di benteng (kasteel) VOC. Letak Masjid Luar Batang, pada masa VOC hanya beberapa meter di luar kasteel.

Pada malam harinya, yang kebetulan jatuh pada malam Jumat Kliwon, suasana yang sama juga tampak di makam Pangeran Ahmad Jayakarta, di Jalan Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur. Para peziarah mendatangi tempat ini, dengan menggunakan mobil dan bus. Mereka berdatangan dari Bogor, Bekasi, Tangerang. "Bahkan ada yang dari Madura," kata Rd Mohd Said, salah seorang pengurus masjid.

Di tempat inilah, pada 1619, Pangeran Jayakarta bergerilya, setelah dikalahkan oleh VOC di Sunda Kelapa. Sambil meneruskan perjuangan melawan Belanda ia kemudian membangun sebuah masjid lebih dari tiga setengah abad lalu. Masjid yang diberi nama Salaiyah, di sebelahnya terletak makam Pangeran Jayakarta, yang ketika itu menjadi adipati dari Kerajaan Banten.

Di sini juga dimakamkan sejumlah keluarga dan para pengikutnya. Di antaranya Pangeran Luhut, putera Pangeran Jayakarta, Pangeran Soeria bin Pangeran Padmonegoro. Juga Ratu Rapiah, puteri Pangeran Sanghiyang dan istri Pangeran Sugiri, serta Pangeran Laseri.

Masjid Salafiah, seperti juga masjid Luar Batang, dan sejumlah masjid tua lainnya di Jakarta, di sebelahnya selalu terdapat makam para pendirinya. Di dekatnya juga, terdapat pemakaman umum. Menurut pihak Dinas Museum dan Sejarah DKI, pada masa-masa lalu Tempat Pemakaman Umum (TPU) letaknya memang selalu berdekatan dengan masjid.

Dewasa ini, Pemda DKI Jakarta dengan SK Gubernur No 475 Tahun 1993 tanggal 29 Maret 1993, telah menetapkan 19 masjid yang rata-rata berusia di atas 200 tahun sebagai bangunan cagar budaya yang harus dilindungi dan dilestarikan keberadaannya. Ini belum termasuk sejumlah makam para pejuang pada awal-awal perjuangan melawan kolonial ratusan tahun lalu, yang juga mendapat perlakuan sama. Bahkan keberadaan tempat-tempat bersejarah itu oleh Pemda DKI Jakarta telah dimasukkan dalam paket wisata yang juga disebarkan ke mancanegara.

***

Ketika Pangeran Jakarta dikalahkan oleh Belanda, Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen bukan saja membakar keraton (kini di sekitar Hotel Omni Batavia). Mereka juga melakukan tindakan lebih brutal lagi. Yakni membumihanguskan sebuah masjid yang berada di sekitarnya. Dan pangeran serta pengikutnya kemudian memilih Jatinegara Kaum sebagai markas meneruskan perjuangannya.

Kini, untuk memasuki Jatinegara Kaum tempat 'gerilyanya' Pangeran Jayakarta, kita dapat naik kendaraan mikrolet dari Terminal Jatinegara menuju Pulogadung. Kemudian dari penjara Cipinang berbelok ke kiri. Dari sini, masuk ke Jalan Jatinegara Kaum, sampai terlihat Masjid Salafiyah.

Jatinegara Kaum di zaman dulu merupakan hutan belukar dan rawa-rawa serta terpencil. Tentu saja keadaannya sangat berbeda dengan sekarang. Dengan kondisi daerah yang demikian, tempat itu sangat strategis bagi Pangeran dan pengikutnya untuk bergerilya melawan Belanda. Dan sejarah mencatat, selama lebih 60 tahun setelah itu, para penjajah Belanda yang menduduki Batavia tidak pernah aman dari perlawanan pasukan-pasukan Pangeran dan gerilyawan dari Banten.

Di samping makam Pangeran dan pengikutnya, di samping masjid ini yang terletak di tepi kali Sunter yang kini airnya sudah mengering, juga terdapat pemakaman umum, yang sekarang ini sudah ditutup.

Tak ada yang tahu di mana Pangeran Jayakarta tinggal selama berada di sini ketika itu. Termasuk sejumlah jamaah masjid Shalafiah yang tinggal di sekitar masjid, yang mengaku masih keturunan Pangeran atau pengikutnya. "Kami ini masih keturunan Pangeran Jayakarta," kata Rd Mohd Said, sambil juga menunjuk sejumlah remaja jamaah masjid.

Pemda DKI memberikan penghargaan yang tinggi terhadap makam pahlawan Jakarta ini. Bukan saja para petinggi Pemda DKI yang selalu berziarah ke sini pada tiap HUT DKI, tapi juga dari kalangan militer. "Pada HUT Kodam Jaya yang baru lalu, Pangdam dan para prajurit disertai ibu-ibu berziarah ke tempat ini," lanjut Mohd Said.

***

Kembali ke kota tua Pasar Ikan, tempat VOC pertama kali VOC menjejakkan kakinya di Jakarta, antara pelabuhan Sunda Kelapa dan Taman Impian Jaya Ancol, terdapat sebuah masjid tua--Masjid Kampung Bandan. Nama Banda(n), yang menjadi nama kampung itu, karena Coen setelah menguasai Pulau Banda di Maluku, menawan orang-orang Banda yang melakukan perlawanan terhadap VOC. Kemudian mereka dibawa ke Jakarta sebagai budak, dan ditempatkan di sini.

Di masjid ini, terdapat tiga makam habib yang berasal dari Hadramaut, yaitu Habib Abdurahman bin Alwi Shatri, Habib Ali bin Alwi Shatri (1710 M), dan Habib Muhammad bin Umar Alqudsi (1117 H, 1705 H). Sedangkan di halaman muka dan belakang masjid itu terdapat pula makam-makam tua.

Menyelusuri jalan Pangeran Jayakarta, setelah berbelok ke kiri dari Stasiun Kota, yang sampai abad ke-18 pernah menjadi daerah elite di Batavia sebelum Daendels memindahkan kota lama ke Weltevreden, terdapat Masjid Manggadua.

Di masjid ini, yang terletak agak ke dalam dari jalan raya, di samping terdapat beberapa makam ulama yang berasal dari Hadramaut, juga terdapat makam kerabat kraton dari Jawa Tengah. Seperti Raden Tumenggung Anggakusumah Dalam. Kampung ini dulu dihuni oleh orang-orang Jawa, ketika pemukiman di Batavia oleh Belanda dijadikan berdasarkan etnis-etnis penduduknya.

[] alwi shahab



Sumber: Republika, 4 Januari 1998



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Ritual Nasional yang Lahir dari Perlawanan Surabaya

Oleh Wiratmo Soekito P ERLAWANAN organisasi-organisasi pemuda Indonesia di Surabaya selama 10 hari dalam permulaan bulan November 1945 dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Inggris yang dibantu dengan pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal perang memang tidak dapat mengelakkan jatuhnya kurban yang cukup besar. Akan tetapi, hasil Perlawanan Surabaya itu bukannya  kekalahan, melainkan, kemenangan . Sebab, hasil Perlawanan Surabaya itulah yang telah menyadarkan Inggris untuk memaksa Belanda agar berunding dengan Indonesia sampai tercapainya Perjanjian Linggarjati (1947), yang kemudian dirusak oleh Belanda, sehingga timbullah perlawanan-perlawanan baru dalam Perang Kemerdekaan Pertama (1947-1948) dan Perang Kemerdekaan Kedua (1948-1949), meskipun tidak semonumental Perlawanan Surabaya. Gugurnya para pahlawan Indonesia dalam Perlawanan Surabaya memang merupakan kehilangan besar bagi Republik, yang ketika itu baru berumur 80 hari, tetapi sebagai martir, mereka telah melahirkan satu ri...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

TRAGEDI HIROSHIMA: Maaf Itu Tidak Pernah Terucapkan ....

Di mata rakyat Jepang, nama Paul Warfield Tibbet Jr menyisakan kenangan pedih. Dialah orang yang meluluhlantakkan Kota Hiroshima dalam sekejap pada 6 Agustus 1945 lalu. Yang lebih pedih lagi, Tibbets, seperti juga pemerintah Amerika Serikat, tidak pernah mau meminta maaf atas perbuatannya itu. Akibat bom atom 'Little Boy' berbobot 9.000 pon (4 ton lebih) yang dijatuhkan dari pesawat pengebom B-29 bernama Enola Gay, 140 ribu warga Hiroshima harus meregang nyawa seketika dan 80 ribu lainnya menyusul kemudian dengan penderitaan luar biasa. Sebuah kejadian yang menjadi catatan tersendiri dalam sejarah perang yang pernah ada di muka bumi. Hingga kini seluruh rakyat Jepang masih menanti kata 'maaf' dari pemerintah AS atas perbuatan mereka 62 tahun silam itu. Paling tidak, Tibbets secara pribadi mau menyampaikan penyesalannya. "Tapi ia tidak pernah meminta maaf. Seperti juga pemerintah AS, ia justru beralasan bom itu telah menyelamatkan jutaan orang Amerika dan Jepa...