Langsung ke konten utama

Masjid Para Imigran

Kawasan Glodok pun menyimpan masjid bersejarah. Tempatnya tak jauh di Jl Pengukiran, belakang Pasar Pagi. Agak sedikit terpencil, dan terletak di Jalan Pengukiran II, tak jauh dari Jalan Pejagalan, terdapat sebuah masjid kecil.

Seorang pengurus menyatakan, masjid yang dibangun pada 1648 itu merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta. Masjid yang sekarang ini diberi nama Masjid Al-Anshor itu didirikan oleh para pendatang India dari Malabar.

Sebagaimana masjid-masjid tua di DKI, setelah diperbaharui gaya lamanya telah agak hilang. Dan untungnya tiang-tiang penyangganya masih utuh. Umumnya masjid-masjid tua di Jakarta memiliki empat tiang penyangga, sekalipun sudah berusia lebih dua abad sampai sekarang masih berdiri kukuh.

Ukuran masjid-masjid itu tak lebih dari 10 x 10 meter persegi, mengingat kampung-kampung pada masa itu, penduduknya hanya ratusan orang saja.

Berlainan dengan masjid-masjid tua lainnya, Masjid Al-Anshor, yang dulu di sekitarnya terdapat pemakaman, kini sudah menyatu dengan rumah penduduk. Tak ada lagi yang tersisa untuk pekarangan masjid. Padahal menurut pengurusnya, dulu di sekitar masjid terdapat pekarangan sangat luas.

Tidak diketahui berapa lama masjid ini digunakan oleh para imigran India. Karena para imigran India yang datang belakangan kemudian juga mendirikan sebuah masjid baru tak jauh dari Masjid Pengukiran (Al Anshor). Masjid baru yang terletak di Jalan Bandengan Selatan 34, oleh masyarakat setempat disebut sebagai Masjid Kampung Baru, didirikan pada 1748. Kini hanya tersisa beberapa dari bangunan aslinya, seperti empat tiang penyangga, beberapa pilar kecil pada jendela.

Tidak jauh dari tempat ini, di tepi Kali Angke di Jl Pekojan, terdapat sebuah masjid atau boleh dikatakan surau (langgar), yang diberi nama Langgar Tinggi. Disebut demikian, karena langgar ini berlantai dua. Lantai pertamanya tempat tinggal pengurusnya. Masjid ini didirikan pada 1249 Hijriah atau 1829 Masehi.

Banyaknya orang India tinggal di sini. Nama Pekojan, yang berasal dari kata Koja, adalah sebutan untuk orang India Muslim yang datang dari Malabar. Para Muslim India itu juga berperan dalam membangun Masjid Langgar Tinggi.

Kini hanya beberapa orang keturunan India yang masih tersisa di daerah ini. Dan kawasan Pekojan kemudian terkenal menjadi Kampung Arab, ketika para imigran dari Hadramaut (Yaman Selatan) pada awal abad ke-18 mulai berdatangan. Sedangkan imigran India itu banyak yang bergeser ke daerah lain, khususnya Pasar Baru.

Di Jl Pekojan, terdapat sebuah masjid tua lainnya, yang dibangun oleh orang Arab dari Hadramaut itu. Masjid An-Nawier yang dibangun pada abad ke-18 itu, menurut keterangan dari Dinas Museum dan Sejarah DKI sangat erat hubungannya dengan masjid kuno di Kraton Surakarta dan Kraton Banten.

Wujud hubungannya dengan masjid Surakarta, setiap ada keluarga Sultan atau para ulama yang meninggal di Solo, berita ini disampaikan ke masjid Pekojan agar dilakukan shalat ghaib. Hal semacam ini juga dilakukan di masjid Kraton Solo bila ada tokoh ulama di Jakarta yang meninggal dunia.

Di masjid ini, juga terdapat makam-makam tua yang diperkirakan makam para ulama besar pada masa lalu. Tak heran, banyak orang datang berziarah.

Menurut Dinas Museum dan Sejarah DKI, masjid Pekojan yang dapat menampung sekitar dua ribu jamaah itu, pada masa lalu merupakan salah satu masjid tua yang berperan dalam penyebaran Islam di Jakarta. Masjid jami ini merupakan induk dari belasan dari masjid yang berada di sekitarnya.

Di masjid Pekojan ini terdapat sebuah mimbar yang sangat unik, dan sekalipun sudah berusia ratusan tahun masih terawat baik. Mimbar ini merupakan hadiah dari salah seorang sultan di Pontianak, Kalimantan Barat pada abad ke-18. 

Di depan masjid ini, di tepi Kali Angke terdapat jembatan yang terbuat dari papan. Jembatan ini dinamakan Jembatan Kambing, karena di dekatnya terdapat pasar kambing. Sekalipun sudah berusia ratusan tahun, pasar kambing hingga sekarang tetap masih berdiri di Pekojan. Dan para pedagangnya masih tetap orang-orang keturunan Arab.

Yang menarik bila kita memasuki kawasan Pekojan adalah banyaknya terdapat rumah tua dengan gaya Cina, Arab, dan Moor yang dibangun pada abad ke-17 dan 18. Sayangnya, sebagian dari rumah-rumah kuno itu kini banyak yang dijadikan gudang. Dan tampaknya tidak terawat. Padahal, gedung-gedung tua itu bisa banyak bercerita tentang kota tua Jakarta, dan masyarakatnya yang pernah tinggal dan berperan dalam membangun kota ini.

Cina Muslim

Melihat masjid-masjid tua di Jakarta, tampak sekali sentuhan arsitektur Cina ikut berperan. Terutama pada Masjid Kebon Jeruk, Krukut, dan Angke. Bahkan di Masjid Kebon Jeruk, dekat jembatan penyeberangan Sawah Besar - Ketapang, kubahnya tampak sekali mendapat sentuhan arsitektur Cina.

Berdiri pada 1786, masjid itu merupakan masjid pertama bagi 'peranakan' (istilah orang Cina yang masuk Islam) di daerah Glodok. Di sini terdapat sebuah makam Nyonya Cai, istri pendiri masjid tersebut, Kapiten Tschoa. Kapiten inilah yang ketika itu memimpin masyarakat Muslim Cina di Batavia.

Di Mesjid Angke, yang terletak di Jalan Tubagus Angke, yang didirikan pada 1761, terdapat makam Nyonya Chen, seorang wanita Cina Muslim. Di sini juga terdapat makam Pangeran Syarif Hamid dari Pontianak. Konon, kawasan itu disebut angke, karena di situ pernah terjadi pembantaian oleh orang Belanda terhadap orang-orang Cina.

Insiden killing field tersebut terjadi pada 1740, sebagai reaksi Belanda terhadap orang-orang Cina yang berontak. Tidak kurang 10 ribu orang Cina mati dibantai tentara Belanda. Sekitar 500 orang Cina yang berada di tahanan dan para pasien rumah sakit juga dibantai, dan 700 buah rumah dirusak dan dibakar.

Tapi akibat pembantaian orang-orang Cina, banyak di antara mereka kemudian yang masuk Islam. Akibatnya, penguasa Belanda menganggap perlu mengambil langkah-langkah untuk mencegah. Karena bagi Belanda hal ini merupakan kerugian. Di samping mengurangi penduduk yang dikenai pajak (pribumi tidak kena pajak), dan mempermudah pembaruan orang Cina dengan penduduk asli. Karena itulah pada 1745 mereka dilarang bercampur dengan orang Islam untuk mengelakkan pajak.

Masjid dari Gunung Tambora

Kisah menarik lain dimiliki Masjid Tambora. Masjid yang terletak di tepi kali Blandongan (anak dari kali Ciliwung) itu dibangun oleh orang-orang bekas tahanan Belanda. Kisahnya dmulai lebih dari dua abad lalu.

Ketika itu di daerah yang sekarang berdiri masjid ini datang sekelompok orang dari kaki pegunungan Tambora di Sumbawa. Mereka dibuang ke Batavia untuk melakukan kerja paksa (rodi) karena menentang kekuasaan Belanda. Selama dalam status tahanan, di daerah baru ini, orang-orang Tambora itu melakukan berbagai macam pekerjaan, seperti membuat saluran got, dan mengeruk sungai.

Setelah bebas Belanda, orang-orang Tambora itu tidak pulang ke daerahnya kembali, tapi memilih untuk terus tinggal di daerah ini. Pada 1811 H (1762 H), di bawah pimpinan K Mustadjib, tokoh masyarakat Tambora, mereka mendirikan sebuah masjid. Untuk mengenang nama daerahnya, mereka pun menamakannya masjid Tambora.

Di depan masjid tersebut masih terdapat makam pendiri masjid tersebut. Di dekatnya terdapat makam K Daeng, seorang Makasar yang menjadi teman dari K Mustadjib, dan ikut pula berperan dalam pembangunan masjid.

Hanya beberapa ratus meter dari sini, terdapat sebuah masjid kuno lainnya, yang kini dinamakan Masjid Al Mansyur. Masjid ini didirikan didirikan sekitar permulaan abad ke-18 oleh Abdul Mihat, putera dari Pangeran Tjakrajaya, sepupu dari Tumenggung Mataram. Keberangkatannya ke Jakarta dari Mataram dalam rangka membantu rakyat Jayakarta menentang penjajahan.

Karena usahanya secara fisik tidak berhasil, maka Abdul Mihit berusaha melalui jalan lain untuk menentang penjajahan. Yakni dengan mendirikan masjid pada 1717. Di masjid inilah diadakan ceramah-ceramah tentang pembinaan agama terhadap rakyat Jakarta, dengan penekanan pada semangat menentang penjajahan.

Pada 1947, masjid ini pernah ditembaki pasukan NICA. Pasalnya, KH Moh Mansyur pimpinan masjid ini dengan beraninya memasang bendera Sang Saka Merah Putih di menaranya. KH Moh Mansyur sendiri kemudian ditangkap oleh Belanda. Setelah ia wafat pada 12 Mei 1967, masjid itu pun dinamakan Masjid KH Moh Mansyur. Dan sekaligus menjadi jalan utama di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta Barat itu. [] as



Sumber: Republika, 4 Januari 1998



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan