Langsung ke konten utama

Nassau Boulevard Saksi Perumusan Naskah Proklamasi

Gedung berlantai dua bercat putih itu masih nampak megah, sekalipun dibangun 80 tahun lalu. Nama jalan gedung ini pada masa pendudukan Belanda, Nassau Boulevard No 1, dan diubah menjadi Meijidori pada pendudukan Jepang. Untuk selanjutnya menjadi Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat sekarang ini.

Gedung yang diapit oleh Kedutaan Besar Arab Saudi dan Gereja Santa Paulus dibangun dengan arsitektur gaya Eropa, yang hingga kini masih banyak terdapat pada gedung-gedung di sekitar kawasan Menteng. Pemerintah kolonial Belanda membangun gedung ini bersamaan dengan dibukanya 'kota baru' Menteng, pada 1920, saat kota Batavia, sebutan Jakarta waktu itu, meluas ke arah selatan.

Gedung yang kini diberi nama Museum Perumusan Naskah Proklamasi memang pantas dilestarikan oleh pemerintah, karena mempunyai nilai sejarah yang amat penting. Di tempat inilah pada malam tanggal 16 Agustus 1945 bertepatan 7 Ramadhan 1364 H hingga menjelang fajar keesokan harinya para pendiri negara ini merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan RI. Untuk kemudian diproklamirkan di kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi) 56, Jakarta Pusat.

Situasi kota Jakarta sendiri menjelang 17 Agustus benar-benar sangat mencekam dan rakyat terutama para pemudanya dalam semangat proklamasi. Para pemuda dan mahasiswa yang mendengar bertekuk lututnya Jepang tanpa syarat pada 14 Agustus 1945 kepada Sekutu melalui siaran radio luar negeri, secara berbisik-bisik dan berbagai cara lainnya telah menyebarkan kekalahan itu. Akibatnya semakin banyak rakyat yang mengetahuinya, sekalipun kekalahan itu selalu ditutup-tutupi oleh pemerintah militer Jepang.

Para pemuda dan mahasiswa inilah yang kemudian mendesak Bung Karno agar segera mengumumkan kemerdekaan. Puncaknya terjadi pada 16 Agustus ketika mereka di bawah pimpinan Sukarni pukul 04.30 setelah sahur menculik Bung Karno dan Bung Hatta. Bersama dengan Fatmawati dan Guntur yang masih bayi, mereka membawanya ke Rengasdengklok, Kabupaten Krawang, 75 km sebelah timur Jakarta. Karena Bung Karno dan Bung Hatta tetap menolak, maka proklamasi kemerdekaan gagal diumumkan di Rengasdengklok.

Malam harinya, sekitar pukul 22.00 sepulang dari Rengasdengklok, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mr. Ahmad Soebardjo datang ke rumah Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol 1. Maeda adalah penghubung AL Jepang, yang bersedia bila kediamannya dijadikan tempat rapat persiapan proklamasi. Menurut Bung Hatta ketika mereka tiba sekitar 40 sampai 50 orang telah berada di gedung tersebut. Sedangkan di luar pekarangan banyak pemuda yang telah menunggu.

Tapi tampaknya, persiapan untuk merumuskan naskah proklamasi tidak berjalan lancar. Karena Laksamana Maeda menyampaikan pesan dari Gunseikan yang meminta Bung Karno, Bung Hatta, dan Ahmad Soebarjo datang ke kediaman Panglima Tentara Jepang itu yang terletak di Jalan Madiun sekarang ini. Pertemuan di Gunseikan sangat mengecewakan, karena pihak Jepang tidak memberikan izin untuk memproklamirkan kemerdekaan. Menurut pihak Jepang, sebagai tentara yang kalah perang, negaranya harus taat pada keputusan sekutu untuk menjaga status quo di Indonesia. Saking marahnya, Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan bahwa Jepang menyalahi janjinya.

ooo

Kemudian, tanpa menghiraukan larangan pihak Jepang, pada tengah malam buta mendekati 17 Agustus 1945, Bung Karno dan rombongan kembali mendatangi kediaman Laksamana Maeda. Kepada Maeda, Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan bangsa Indonesia menolak dijadikan sebagai barang inventaris yang harus diserahkan Jepang kepada sekutu. Dan mereka menyatakan siap untuk merdeka sekarang ini. Maeda kemudian mengundurkan diri menuju kamar tidurnya di bagian atas, dan membiarkan para pemimpin bangsa Indonesia itu untuk mengadakan rapat.

Di ruang tamu kediaman Maeda inilah, pada pukul 03.00 dini hari, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mr. Ahmad Soebardjo mulai mempersiapkan naskah proklamasi kemerdekaan. Kemudian ketiganya menuju ke ruang makan dan duduk di meja bundar yang bersebelahan dengan ruangan tamu, diikuti Soediro (Mbah) dan BM Diah yang duduk di ruang agak belakang.

Menurut Hatta, saat hendak membuat teks proklamasi tidak seorang pun di antara mereka yang mempunyai teks resmi yang dibuat tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut sebagai Piagam Jakarta. Sedangkan rumusan teks proklamasi, menurut Bung Karno, didapatnya dari seseorang dengan memberikan buku catatan bergaris biru.

Seperti yang ditulis Bung Hatta dalam buku "Sekitar Proklamasi", pada saat itu Bung Karno mengatakan kepadanya: "Saya persilakan Bung Hatta untuk menyusun teks ringkas itu, sebab bahasanya saya anggap yang baik. Setelah kita memperoleh persetujuan kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir di ruang tengah." Saya menjawab: "Kalau saya mesti memikirkannya, lebih baik Bung menuliskan, saya mendiktekannya," ujar Hatta.

Setelah naskah proklamasi selesai dibuat, Bung Karno dengan suara mantap kemudian membacakan perlahan-lahan dan berulang-ulang kepada para hadirin yang sudah menunggunya di ruang tengah. Mereka serentak menyatakan setuju. Kemudian Bung Karno minta Sayuti Melik untuk mengetiknya di ruang bawah tangga dekat dapur, ditemani BM Diah. Pada mulanya Bung Karno mengusulkan agar semua yang hadir ikut menandatangi. Tapi atas usul beberapa pemuda, termasuk Sukarni, Chaerul Saleh, dan BM Diah mereka mengusulkan agar Bung Karno dan Bung Hatta saja yang menandatanganinya atas nama bangsa Indonesia.

Semula, konsep yang telah disetujui itu tidak dapat langsung diketik karena di rumah Meda tidak tersedia mesin tik. Untuk itu, Satzuki Mishima, pembantu Maeda dengan mengendarai jeep pergi ke kantor militer Jerman untuk meminjam mesin tik. Waktu itu Jerman merupakan sekutu Jepang dalam perang dunia ke-II. Setelah diketik, Sayuti Melik meletakkan konsep naskah proklamasi tulisan Bung Karno begitu saja di meja, tanpa terpikir sedikit pun betapa pentingnya teks itu bagi peninggalan sejarah. BM Diah yang ketika hendak kembali ke kediamannya melihat teks itu tergeletak di meja, lalu mengambilnya. Ia kemudian mencetak dan menyebarkannya. Kini konsep tersebut disimpan di Arsip Nasional. BM Diah dalam bukunya berjudul "Butir-butir Padi" menyatakan: "Saya tak menyangka bahwa kertas tersebut menjadi dokumen penting di kemudian hari."

Setelah naskah itu ditandatangani Soekarno-Hatta, pukul 04.00 tanggal 17 Agustus 1945, timbul persoalan mengenai tempat proklamasi kemerdekaan akan diumumkan. Mulanya diusulkan agar dilangsungkan di Lapangan Ikada (Monas). Tapi untuk menghindarkan kemungkinan bentrokan antara massa rakyat dengan tentara Jepang, maka proklamasi kemerdekaan akan diadakan di kediaman Bung Karno, Pegangsaan Timur 56 (sekarang Gedung Pola) pukul 10.00. Apalagi pihak Jepang sudah mencium rencana tersebut.

BM Diah dalam bukunya itu menyatakan: "Kalau bolehlah saya katakan udara fajar di luar rumah kediaman Laksamana Maeda itu sangat cerah. Langit merona agak keputihan. Udara terang karena ditabur bintang. Dan orang yang berpuasa masih boleh makan sahur."

Untuk melestarikannya maka ruangan-ruangan yang berkaitan peristiwa bersejarah di Museum Perumusan Naskah Proklamasi dibagi menjadi empat ruangan. Yakni, Ruang Pra Perumusuan, Ruang Perumusan, Ruang Pengetikan, dan Ruang Pengesahan/Penandatanganan Naskah Proklamasi.

Tapi sayangnya, dokumen sejarah yang sangat penting ini, yang masih benar-benar otentik sekarang ini tinggal gedungnya saja. Sedangkan kursi, meja, mesin tik, dan pulpen yang digunakan saat Bung Karno dan Bung Hatta menandatangani naskah proklamasi tidak ketahuan lagi rimbanya. Bahkan, seperti dinyatakan oleh pihak museum, tidak diketahui di mana tempat duduk masing-masing yang hadir di antara deretan-deretan kursi di ruang-ruang gedung tersebut. "Jadi kursi, meja, mesin tik yang sekarang ini berada di museum hanya diupayakan bentuknya sama seperti yang terjadi 53 tahun lalu. Yang asli entah ke mana," kata seorang petugas di sini.

Gedung ini sendiri yang pernah menjadi kantor asuransi Belanda 'Nilmij', dan kemudian menjadi Konjen Inggris sebelum pecah Perang Pasifik, setelah kemerdekaan telah beberapa kali ganti penghuni. Setelah sekutu mendarat di Indonesia, September 1945, gedung ini dijadikan markas tentara Inggris. Kemudian menjadi kediaman resmi dubes Inggris. Setelah terjadi aksi nasionalisasi terhadap milik bangsa asing di Indonesia, pada tahun 1961, perusahaan asuransi Jiwasraya kembali mengontrakkannya kepada kedubes Inggris untuk selama 20 tahun. Rupanya selama 44 tahun, tidak ada yang terpikir untuk mengamankan gedung beserta isinya. Bahkan, rumah kediaman Bung Karno tempat kemerdekaan diproklamirkan kini pun telah berubah fungsi menjadi Gedung Pola. Kehilangan benda-benda bersejarah ini merupakan kelalaian yang harus dibayar mahal. Karena generasi muda kemudian tidak dapat lagi melihat benda-benda yang sangat bersejarah itu.

[] alwi shahab



Sumber: Republika, 10 Agustus 1998



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan