Langsung ke konten utama

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (2) Memasuki Fase Perjuangan Diplomatik

Oleh AH NASUTION

BERBAGAI pertempuran di semua kota menyebabkan pihak Inggris sangat terjepit, terutama di Magelang dan Surabaya. Posisi mereka ini tidak dapat dipertahankan, bahkan mereka terancam oleh penghancuran sama sekali. Karena tiada mungkin segera mendatangkan bala bantuan, maka markas besar Serikat melakukan diplomasi dan dapat membujuk pemerintah Republik untuk menghentikan pertempuran-pertempuran.

Di Surabaya telah terjadi pengoperan kekuasaan sipil dan militer secara lengkap. Sipil dipimpin oleh Gubernur Suryo dan Residen Sudirman. Militer oleh Dr. Mustopo, Muhammad, Sungkono, Yonosewoyo, dll. Proses pengaturan masih berjalan, waktu Serikat mendarat. Sebenarnya pemimpin-pemimpin Indonesia di Surabaya menolak kedatangan Sekutu, a.l. berdasarkan pengalaman sekitar peristiwa Tunjungan yang telah lalu, dan karena Indonesia telah menguasai keadaan. Akan tetapi karena pemerintah pusat memerintahkan untuk menerima pendaratan Serikat dengan sebaik-baiknya, maka perintah itu ditaati.

Pendirian pemerintah RI mengenai pendudukan Serikat adalah sebagaimana penjelasan Menteri Luar Negeri Akhmad Subarjo, a.l.: "Maka oleh karena itu rakyat Indonesia harus bersiap netral kepadanya, dengan tenang dan tenteram menunjukkan kemauan pasti untuk tetap merdeka, akan tetapi menunjukkan ketertibannya, berdisiplin kepada peraturan-peraturan yang diadakan oleh pemerintahnya sendiri dan oleh pemerintahan bala tentara Sekutu yang bersifat kepolisian itu.

Rakyat Indonesia harus insyaf, bahwa perjuangan kita dalam fase sekarang ini ialah perjuangan diplomatik. Dan perintah dwitunggal Soekarno-Hatta pada tgl. 2 Okt. 1945, a.l.: "Saudara-saudara! Kami berharap hendaklah rakyat semua tenteram dan tenang seperti yang layak bagi seorang ksatria. Jangan kita kena provokasi, tetapi siap-sedia dengan berdisiplin dan jangan bertindak sendiri-sendiri. Jaga keamanan umum. Singkirkan apa yang menggegerkan masyarakat dan yang menimbulkan kesulitan dengan tentara Serikat".

Dalam membahas Bandung Lautan Api saya bertolak dari dalil Clausewitz bahwa perang adalah lanjutan politik dengan cara lain, yakni dengan cara kekerasan. Maka lebih sistematis kiranya saya menyoroti dari "induk menurun ke anaknya", karena taktik adalah berinduk ke strategi dan strategi berinduk ke politik. Politik adalah demi tercapainya cita-cita bangsa dan rakyatnya, strategi adalah demi menang perang dan taktik demi menang pertempuran. Di masa perang kemerdekaan di Nusantara sering pula kami gunakan kata muslihat dan siasat dalam konteks strategi dan taktik. Sesuai dalil Clausewitz tadi maka berbedalah hayatan strategi di tingkat politik dan di tingkat militer sebagai alat politik, oleh karena lebih luaslah dimensi yang dihadapi politik. Militer bertujuan langsung menghancurkan atau mengusir lawan, sedangkan politik ingin mencapai kondisi yang membuat lawan bersedia untuk kompromi atau menerima modes yang diinginkan, bahkan untuk kelak bekerja sama. Dalam sejarah banyaklah contoh perbedaan penghayatan itu antara politisi dan panglima baik dalam urusan perang maupun dalam urusan politik, seperti juga terjadi di pihak Sekutu dan Soviet dalam perang dunia yang lalu.

Akan tetapi dalam konteks "perang rakyat", kedua pihak (politisi dan panglima) terdorong untuk lebih menyatu atau membaur dalam gaya penghayatan itu. Tanpa hendak mengurangi kewenangan mengambil keputusan oleh instansi yang dituntutkan oleh sistem politik yang berlaku, saya yakin bahwa perang bukanlah urusan jenderal-jenderal saja, dan bahwa politik bukan urusan politisi saja, karena yang terpenting ialah pengambilan keputusan yang baik.

Pada tgl. 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak Serikat. Sebagai perlanjutan daripada itu, masuklah tentara penduduk Serikat ke Indonesia di bawah komando Asia Tenggara, dipimpin Laks. Mountbatten. Maka mendaratlah pasukan Australia pada sekitar medio Sept. 1945 di Ambon, Manado, Kupang, Makasar, Banjarmasin, dan Pontianak. Pasukan-pasukan penduduk Inggris mendarat/menduduki Jakarta (29 Sept. 1945), Medan (9 Okt. 1945), Surabaya (25 Okt. 1945), Palembang (12 Okt. 1945), Bandung (12 Okt. 1945), Semarang (20 Okt. 1945) yang melebar ke Ambarawa-Magelang, dsbnya.

Tugas tentara pendudukan Serikat itu adalah: Melindungi dan mengungsikan tawanan-tawanan perang dan orang-orang interniran: melucuti tentara Jepang dan mengembalikan mereka ke Jepang, memelihara ketertiban dan keamanan umum agar tugas tersebut terlaksana sebaik-baiknya.

Sementara itu, bangsa Indonesia telah memanfaatkan saat-saat vakum (kekosongan) yang mengikuti perkembangan kapitulasi Jepang itu dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. Itulah yang tidak diduga oleh Belanda, sehingga didorongkannya persetujuan London tersebut itu.

Dapat disimpulkan bahwa tidaklah dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemerintah kita dewasa itu saat-saat vakum kekuasaan sejak 15 Agustus 1945 sampai pendudukan Serikat selama 1-2 bulan di 6 kota-kota pelabuhan kita, untuk memproklamasikan Peta jadi Tentara Nasional serta merebut senjata dari tangan Jepang. Mestinya sejalan dengan proklamasi tgl. 25 Sept. 1945, meskipun juga terlambat, yang meng-RI-kan semua pegawai negeri.

Oleh sebab itu saat Serikat tiba, 1-2 bulan kemudian tentara kita praktis belum tersusun sebagaimana mestinya dan senjata Jepang--satu-satunya sumber senjata bagi kita dewasa itu--sebagian besar tidak di tangan kita. TKR baru diresmikan pada tgl. 5 Okt., sebagai peningkatan dari BKR yang dibentuk tgl. 22 Agustus 1945, sedangkan usaha-usaha perebutan/pengambilalihan alat peralatan dan kekuasaan sipil dan militer dari tangan Jepang baru dilaksanakan pada sekitar medio Sept.-Okt. 1945. Namun posisi militer kita toh cukup kuat juga untuk mencemaskan pihak Serikat.

Seharusnya waktu itu kita memanfaatkan susunan-susunan dan tenaga-tenaga dsb.

Sebenarnya dewasa itu Peta pada umumnya menunggu isyarat dari Soekarno-Hatta-Kasman di Jakarta, telah luas persiapan untuk menegakkan kenasionalannya. Banyak yang mencari instruksi ke ibukota, tapi tidak mendapatnya, sehingga kesatuan-kesatuan yang masih belum menyerahkan senjata sampai hari-hari itu kemudian menyerahkannya juga.

Batalyon Peta

Pada dewasa itu 55 batalyon Peta lengkap di Jawa dan beberapa puluh ribu Heiho di dalam pasukan-pasukan senjata bantuan serta jawatan-jawatan Jepang. Sebagian besar berada di luar kota, menduduki steling-steling yang siap di pegunungan dan pantai, serta di tengah-tengah rakyat yang membantunya. Tapi kita tidak mempergunakan kesempatan strategis itu.

Di pihak lain justru Belanda berusaha mengisi vakum 1-2 bulan itu, tapi karena insiden-insiden oleh pemuda-pemuda kita, maka Sept. Laks. Mountbatten membatalkan tindakan-tindakan Belanda itu dan melarang kaum interniran keluar sebelum datang pasukan-pasukan Sekutu.

Berhubung pendirian pimpinan nasional kita, bahwa perjuangan kemerdekaan itu ialah dengan jalan diplomasi, maka tidaklah diproklamasikan Peta-Heiho jadi tentara RI, sehingga dihindari tindakan bersenjata, yang mungkin nanti mempersulit diplomasi terhadap Serikat.

Memperhitungkan kemungkinan pemberontakan-pemberontakan, maka tgl. 18 dan 19 dikumpulkan oleh Jepang para daidanco daerah demi daerah. Kabar kapitulasi belum disiarkan. Jepang menguraikan, bahwa taktik serangan musuh berubah, sehingga taktik kita pun diubah. Untuk itu diadakan "perubahan persenjataan". A.l. daidanco Cimahi, yang saya minta bersama-sama kawan-kawan pada malam 19 Agustus untuk berontak, menolak dan menunjuk kepada janji Jepang pada pagi itu untuk mengadakan "reformasi senjata", pemberian artileri, dsbnya. Pada "reformasi" itu 2 jam kemudian ia bersama pasukannya dilucuti.

Panglima-panglima tentara Jepang ke-7 dan ke-16 membubarkan Peta-Heiho, walaupun melanggar perintah Jend. Mac Arthur, untuk memelihara "inventaris" secara utuh. (Pada th 1991 telah saya diskusikan hal 1945 dengan Kol. Shizuo Miyamoto eks-Kepala Operasi (G 2) di markas besar tentara Jepang. Ia khusus datang 2 hari dari Tokyo untuk diskusi tersebut).

Maka insiden-insiden di semua kota menyebabkan pihak Inggris sangat terjepit, terutama di Magelang dan Surabaya. Posisi mereka ini tidak dapat dipertahankan, bahkan mereka terancam oleh penghancuran. Karena tiada mungkin segera mendatangkan bala bantuan, maka markas besar Serikat melakukan diplomasi dan dapat membujuk pemerintah RI untuk menghentikan pertempuran-pertempuran.

Memang tentara Serikat dapat masuk dengan aman di kota-kota kita ialah, karena pemerintah pusat memerintahkan untuk menerima mereka dengan sebaik-baiknya, dan perintah itu ditaati di mana-mana.

Kembali kepada soal kesempatan yang ada di depan kita dewasa itu untuk menyusun pertahanan umumnya dan ketentaraan khususnya, sbb.: Walaupun perlucutan Jepang hanya terbatas pada daerah-daerah luar ibukota serta Bandung, dan terjadi terlambat, namun daftar peralatan yang direbut di Jawa Tengah dan Timur saja ialah sebagai yang tertera di bawah ini, menurut perhitungan Serikat sesudah mempelajari daftar-daftar Jepang:

26.000 pucuk senapan dengan 27 juta peluru,

1.300 pucuk senapan otomatik dengan 3 1/2 juta peluru,

600 pucuk senapan mesin dengan 12 juta peluru,

9.500 granat tangan,

700 pucuk mortir dengan 23.000 peluru, 

40 pucuk meriam anti tank dengan 8.000 peluru, 

16 pucuk howitzer dengan 10.000 granat, dan 

30 pucuk senjata pembakar.

Mengenai personel terlatih dewasa itu adalah lebih 150.000 Peta, Heiho, dan eks-Knil. Bahkan jika diteruskan susunan-susunan kesatuan dari masa Jepang, telah ada k.l. 100 batalyon inf (daidan) di Jawa-Sumatera, serta sekadar batalyon-batalyon artileri, angkutan dan sebagainya (bekas Heiho), yang sebagai kesatuan sudah terlatih dan berpengalaman, sehingga tinggal harus dipersenjatai lagi untuk segera siap buat perang. Dikombinasikan dengan faktor material tadi, maka dapatlah dibentuk tentara reguler yang berisi k.l. selusin res tim pertempuran, yang terdiri atas tenaga terlatih dan bersenjata lengkap, dan k.l. sejumlah itu pula batalyon-batalyon teritorial yang terlatih dan bersenjatakan kurang lengkap.

Dan di belakang ini masih lengkap barisan-barisan rakyat yang berpuluh-puluh juta, yang telah mendapat latihan dasar untuk menjadi partisan-partisan rakyat, yang dipersenjatai terutama dengan senjata-senjata tajam, berserta di sana-sini beberapa pucuk senjata api yang dimiliki oleh Pelopor, Hisbullah dsbnya. Juga pertahanan sipil masih lengkap dengan Rukun Tetangga, Keibodan, PBO, dll.

Semangat menyala

Jadi badan-badan praktis sudah ada, dan semangat mereka sudah menyala-nyala, tinggal perlu disusun badan-badan pimpinan di tingkatan-tingkatan atasnya. Dan sebagian besar sudah bisa diajukan segera ke medan pertempuran, karena daidan-daidan, batalyon artileri sasaran udara dsbnya telah berlatih dan berpraktek selama 1-2 tahun di masa Jepang.

Di pihak lain teramat bahaya posisi Sekutu dan Jepang dewasa itu karena Sekutu kurang pasukan dan Jepang patah semangat. Sebagai contoh: Panglima Jepang di Kalimantan Timur telah mengawatkan, agar segera Sekutu datang, karena ia sangsi menghadapi bahaya pihak Indonesia.

Kiranya tidak akan mungkin adanya kemudian aksi-aksi militer Belanda, jika kesempatan strategis tadi kita pergunakan pada waktunya, dengan menyusun tenaga-tenaga serta material tsb. Kita ternyata dapat mengusir pasukan-pasukan Sekutu yang baru mendarat dewasa itu, seperti yang dibuktikan di Surabaya dan Magelang/Ambarawa, yang menghadapi kemusnahannya sesudah beberapa lama bertempur dan hanya tertolong oleh intervensi politik.

Maka Inggris terpaksa membatasi tempat-tempat pendudukan hanya kepada beberapa kota, terpaksa menarik atau mengurungkan pendudukan-pendudukan di pedalaman, seperti Malang, Magelang, Ambarawa, Bukittinggi, Brastagi dsb-nya. Bahkan brig Malaby di Surabaya terkepung, terpecah-pecah dan hampir kehabisan peluru setelah pertempuran 1 hari sehingga menghadapi kemusnahannya. Begitu pula di Magelang, Serikat dapat menyelamatkan dirinya hanya dengan meminta bantuan Pres. kita, agar memerintahkan penghentian penembakan. Dengan jalan diplomasi mereka menciptakan waktu dan ruangan untuk mendatangkan bala bantuan 1 div bagi Surabaya, yang kemudian memungkinkan mereka untuk merebut Surabaya dalam pertempuran 10-25 Nov. 1945.

Berhubungan posisinya yang sulit itu, maka pada tgl. 23 Nov. 1945 dilangsungkan konferensi yang dihadiri oleh panglima-panglima Serikat dan Belanda di istana Jakarta, di mana Jend. Dempsey, panglima tentara Serikat untuk seluruh Asia Tenggara, mengusulkan agar Surabaya dikosongkan saja, karena takkan cukup pasukan-pasukan untuk mempertahankan semua tempat, jika kelak berkobar lagi pertempuran-pertempuran. Ia usulkan, supaya Serikat memusatkan tenaganya di Jawa Barat saja.. Pada tgl. 6 Des. 1945 dalam konferensi panglima-panglima di Singapura, di mana juga hadir Marskal Alanbrook. KSU Kerajaan Inggris, usul tsb. dipertimbangkan lagi. Akan tetapi pihak Belanda dapat membujuk Inggris, agar sementara bertahan dulu, karena Belanda akan sudah punya 19 batalyon. Pada kunjungan saya ke London th 1961 oleh Laks. Mountbatten, yang jadi Panglima Tertinggi Sekutu th 45 di Asia Tenggara, diuraikan pula perbedaan penilaiannya dengan pihak Belanda tentang keadaan militer, yakni Belanda tidak menilai pihak kita sebagai lawan yang berat. Untuk menambah informasi baginya, dititipkannya pula tugas tidak resmi pada istrinya dengan pergi ke Jakarta.

Memang nyatanya Inggris hanya dapat mengirim dengan susah payah 2 div ke Jawa dan Sumatera kemudian 1 div lagi ke Surabaya, sedangkan minimal diperhitungkannya perlu 6 div untuk semua kota-kota yang besar. Dua hal utama yang menahan maksud Serikat harus disebut: (a) tantangan Belanda yang tak habis-habisnya, dan (b) hasil-hasil diplomasi, seperti perjanjian Soekarno-Hawthorn di Surabaya, perjanjian Soekarno-Bethell di Jawa Tengah, perintah pemerintah RI supaya TKR mengosongkan Jakarta, dsbnya.

Sikap pemerintah itu diumumkan oleh Pres. pada tgl. 31 Okt. 1945: "... Berdasarkan atas pertimbangan di atas, maka saya telah memerintahkan, supaya segala pertempuran untuk melawan Sekutu dihentikan, bukan saja di Surabaya, tetapi juga di Magelang. Tidak ada sebab yang sah bagi kita pada masa ini untuk memerangi Sekutu. Sekutu datang kemari tidak untuk berperang dengan bangsa Indonesia. Mereka hanya melakukan pekerjaan memperlucuti senjata tentara Jepang dan mengirimkan tawanan perang, serta menjaga keamanan umum di dalam daerah yang diduduki mereka itu. Dengan bekerja bersama-sama dengan Sekutu, dapat kita mencapai tujuan kita."

Sebenarnya sementara itu daerah-daerah luas di pedalaman tetap utuh untuk pembangunan tentara kita. Maksimum kekuatan Serikat dalam tempo 6 bulan yang pertama adalah cuma l.k. 60.000 serdadu Inggris dan 20.000 serdadu Belanda.

Faktor waktu pun adalah baik bagi kita dan sangat jelek bagi lawan. Pertama, karena Inggris tak dapat lagi menambah tenaga, bahkan janji tambahan 1 div lagi terpaksa dibatalkan juga. Inggris terpaksa mempertahankan diri dengan jalan diplomasi untuk menghindari pertempuran secara luas dan serentak, yang sulit untuk dihadapinya berhubung kekurangan tenaga. Kedua, karena Belanda memerlukan waktu sampai akhir 1946 untuk dapat menyusun dan mendatangkan tentara yang cukup (k.l. 100.000 orang) untuk mempertahankan kedudukan-kedudukan di kota-kota. Maka sampai saat itu mereka menciptakan waktu dan ruang dengan jalan dplomasi, yang dibarengi oleh aksi-aksi kekerasan setempat secara parsial.

Sebagai contoh ialah peristiwa Surabaya yang di atas saya sebut. Tgl. 25 Okt. 1945 mendarat brig Mallaby di Surabaya yang berkekuatan 3 batalyon dengan jumlah 3.000 orang. Serikat berjanji seperti dulu di Jakarta, tidak akan mencampuri pemerintahan dan hanya akan mengurus Apwi dan tentara Jepang serta membantu keamanan. Pemerintah daerah mengatur hal-hal itu dengan mereka dalam suatu perjanjian resmi.

Tapi kemudian, sesudah kedudukan mereka tertanam di Surabaya, maka disebarkanlah pamflet-pamflet, memerintahkan supaya rakyat menyerahkan senjata-senjatanya, dan kalau tidak akan dijatuhi hukuman-hukuman berat. Bukan itu saja, brigade pendudukan merebut pula gedung-gedung yang dikuasai oleh pemerintah kita dan Nica mulai beraksi pula.

Pertempuran pecah

Insiden-insiden mulai dan pada tgl. 28 pecahlah pertempuran yang dahsyat, di mana TKR, polisi dan pemuda-pemuda menggempur brig Mallaby sedemikian serunya, sehingga dalam tempo 12 jam kedudukan Inggris sangat terjepit. Pasukan-pasukannya terpecah-pecah, terkepung-kepung dan terus bertahan mati-matian, sehingga hampir kehabisan peluru dan makanan, bahkan demikian pulalah keadaan markas Jend. Mallaby sendiri. Pelanjutan pertempuran akan berarti kemusnahan mereka atau penyerahan sepenuhnya. Mereka telah disapu bersih pula dari sektor Wonokromo.

Bala bantuan pada dewasa itu tidaklah mungkin, karena pada saat itu baru div ke-23 yang ada di Jawa, dan bantuan harus didatangkan dari Malaya, yang memerlukan waktu yang agak lama. Bantuan dari Jawa Barat dan Tengah tak mungkin, karena di sini pun Inggris sedang terjepit belaka, dan pemindahannya memerlukan waktu. Pendatangan dari udara hanya mungkin sesudah lapangan-lapangan udara dikuasai sepenuhnya, di mana pada waktu itu lapangan tsb. masih di dalam kepungan kita serta dalam kekuasaan tembakan kita.

Untuk menyelamatkan tentara Inggris, maka Jend. Cristison minta kepada Pres. Soekarno untuk memerintah tentara Indonesia, supaya selekas mungkin menghentikan penyerangan, karena mungkin dalam tempo 1 hari lagi peluru mereka sudah habis. Perbekalan dari udara praktis tak mungkin karena Inggris cuma menduduki beberapa kompleks bangunan yang terkepung rapat sama sekali dan pemboman adalah sulit, karena rapatnya pengepungan kita sebelum dapat menemui pemimpin-pemimpin kedua belah pihak. Soekarno-Hatta menempuh ancaman maut untuk dapat menghentikan pertempuran. Dan pada petang harinya Pres. beserta Jend. Mallaby mengumumkan perletakan senjata di depan radio. Penyelesaian strnya harus menunggu kedatangan panglima Hawthorn pada keesokan harinya. 

Pres. beramanat: "Tunjukkan, bahwa kita rakyat yang berdisiplin." Beliau anjurkan, agar rakyat Surabaya tunduk kepada perintah Pres. Dan rakyat tunduk. Segera penembakan berhenti dan brig Mallaby dapat bernafas kembali. "Saya sedia melakukan apa yang saya dapat lakukan untuk menghentikan pertempuran," kata Pres., waktu diminta bantuannya, agar dapat dikirim perbekalan ke markas Jend. Mallaby, yang terkepung dan menderita kehabisan perbekalan itu.

Terpaksalah Inggris menarik kembali perintah perlucutan rakyat dan mengatur pembatasan kedudukan dan tugas Serikat. Mereka dapat tinggal terus sebagai "tamu" belaka. Suatu badan kontak menyelenggarakan penyelesaian cease-fire.

Sesungguhnya Inggris memerlukan waktu untuk mendatangkan div ke-5 dari Malaya ke Surabaya, yang akan memakan tempo lebih dari 1 minggu. Dan penduduk Belanda harus diselamatkan dulu di pelabuhan. AU-pun didatangkan, demikian pula suatu bagian AL yang langsung dipimpin oleh Laks. Patterson, panglima AL Inggris di Indonesia.

Setelah semua lengkap maka pada tgl. 8 Nov. 1945 mulailah Jend. Mansergh mengumumkan ultimatumnya yang tersohor, yakni sangat menghina bagi kita, dan diplomasi serta perjanjian-perjanjian resmi tidak berlaku lagi baginya. Terjadilah 10 Nov. yang bersejarah itu, pertempuran rakyat Surabaya yang habis-habisan.

Sementara itu Inggris berdiplomasi memenangkan front Jakarta, Bandung, dan Semarang. Tgl. 10 November 1945 Jend. Bethell, panglima Serikat di Jawa Tengah berpidato di muka radio, di mana mengemukakan, bahwa berhubungan dengan peristiwa Surabaya yang sedang menyala-nyala, maka pimpinan Serikat di Jawa Tengah tidak akan mengikuti atau turut campur dalam perselisihan Surabaya. Pidato tsb. disusul oleh pidato Gubernur Wongsonegoro, yang mengatakan, a.l. agar rakyat jangan lekas percaya kepada kabar-kabar angin. Selidikilah tentang kebenarannya dan laporkanlah segala hal yang diketahui oleh rakyat kepada kontak komite.

Dengan diplomasi tsb. tertahanlah peledakan pertempuran secara besar-besaran di Jawa Tengah. Tapi akhirnya kita bergerak juga, tapi justru setelah Inggris berhasil untuk mematahkan perlawanan kita di Surabaya. Pada saat kita mendapat hantaman di Surabaya, maka pasukan-pasukan kita di Jawa Tengah berdiam diri.

Di Bandung brig Mac Donald mencabut order penyerahan senjata rakyat pada tgl. 17 Nov. 1945. Dengan gembira oleh Gubernur Sutarjo disampaikan perubahan sikap musuh itu terhadap rakyat. Karena itu untuk sementara diundurkanlah peletusan pertempuran di Bandung.

Pada tgl. 17 Nov. 1945 berlangsunglah pertempuran antara pemerintah Rep. dengan Inggris dan Belanda di Jakarta. Dengan ini dimulailah kegiatan diplomasi di pusat, yang oleh Sekutu pertama-tama dimaksudkan untuk menghindari kerusuhan-kerusuhan.

Pada tgl. 19 Nov. 1945 pemerintah RI memerintahkan kepada TKR untuk keluar dari ibukota Jakarta. Justru pada dewasa itu baru terbentuk lasykar rakyat Jakarta Raya yang berpusat di Tanah Tinggi.

Memang Inggris akan sangat terjepit, kalaulah tidak terusir sama sekali, jika waktu itu serentak terjadi penyerangan di semua tempat di Indonesia, karena kekuatan pasukannya di tiap-tiap tempat adalah maksimal seperti kekuatan Mallaby dulu, dan pendatangan bala bantuan dari Malay dll. pangkalannya praktis tak mungkin, dan jika mungkin, akan memerlukan waktu pula. Inggris akan celaka, jika anjuran radio pemberontakan Surabaya dipenuhi, yakni supaya Semarang, Magelang, Bandung, Pondokgede, Cililitan, Klender dan sebagainya serentak menyerang Serikat.

Demikianlah kondisi politik dan militer se-Indonesia yang mengantarkan kita kepada peristiwa Bandung Maret 1946.***

(BERSAMBUNG).-



Sumber: Pikiran Rakyat, 25 Maret 1992



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan