Langsung ke konten utama

Revitalisasi Peristiwa BLA

Oleh REIZA D. DIENAPUTRA

PERNYATAAN kemerdekaan yang dikumandangkan Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak lantas menghentikan arogansi kekuasaan asing di Indonesia. Jepang yang baru saja bertekuk lutut di tangan Sekutu tampak memperlihatkan sikap yang ragu-ragu, untuk tidak mengatakan cenderung merapat kepada keinginan Sekutu. Akibatnya, timbul berbagai reaksi ketidakpuasan rakyat atas sikap Jepang tersebut. Konflik bersenjata dengan Jepang pun pada akhirnya tanpa dapat dihindari pecah di mana-mana.

Di sisi lain, kemenangan Sekutu atas Jepang semakin mengusik kembali mental-mental penindas yang ada dalam diri orang-orang Belanda. Hal ini tampak dari berbagai upaya yang dilakukan Belanda untuk bisa kembali berkuasa di Indonesia. Keinginan kuat Belanda untuk bisa kembali ke Indonesia seakan tinggal menunggu waktu saja manakala Inggris sebagai bagian utama dari kekuatan Sekutu sebelumnya telah terikat oleh Belanda lewat kesepakatan yang dibuat pada tanggal 24 Agustus 1945 (Civil Affairs Agreement).

Realitas pascakemerdekaan yang sarat dengan berbagai kepentingan Sekutu dan Belanda tersebut pada akhirnya tanpa dapat dihindari melahirkan berbagai konflik bersenjata. Konflik bersenjata antara Sekutu dengan rakyat Indonesia ini berlangsung di berbagai tempat di wilayah Indonesia, termasuk Jawa Barat pada umumnya dan Bandung pada khususnya. Dalam situasi tersebut, setiap pergerakan pasukan Sekutu yang mengancam kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka apalagi memperlihatkan pemihakan terhadap Belanda dengan baju NICA-nya (Netherlands Indies Civil Administration) selalu menghadapi perlawanan dari rakyat Indonesia. Perbedaan kualitas persenjataan antara dua kekuatan yang saling berhadapan bukanlah alasan untuk tidak melakukan perlawanan.

Peristiwa BLA

Sebagaimana kota-kota besar lainnya di Jawa, Bandung pun menjadi target penguasaan Sekutu. Oleh karenanya, berbagai cara ditempuh oleh Sekutu untuk dapat menguasai kota Bandung. Sebagai langkah awal Sekutu berupaya membersihkan Bandung Utara dari orang-orang pribumi dan pasukan bersenjata, baik TKR (TRI) maupun laskar-laskar perjuangan. Untuk itu, setelah menghadapi serangan besar-besaran dari para pejuang di Kota Bandung pada tanggal 24 November 1946, kurang lebih tiga hari kemudian atau tepatnya tanggal 27 November 1945, Sekutu mengeluarkan sebuah ultimatum agar rakyat dan semua pasukan bersenjata ke luar dari wilayah Bandung Utara, paling lambat pukul 12.00 WIB siang tanggal 29 November 1946.

Segera setelah batas akhir ultimatum terlewati, serangan-serangan brutal pun dilakukan Sekutu untuk bisa menguasai Kota Bandung, namun serangan ini tidak hanya berlangsung di wilayah Bandung Utara tetapi juga Bandung Selatan. Beberapa peristiwa pertempuran pun pada akhirnya pecah di Kota Bandung seperti pertempuran di daerah Lengkong pada tanggal 2 dan 6 Desember 1945, pertempuran di daerah Cicadas pada tanggal 14 Desember 1945, dan pertempuran di daerah Sukajadi pada tanggal 17 Februari 1946.

Setelah membagi dua Bandung menjadi Bandung bagian utara dan Bandung bagian selatan, dengan batas jalan kereta api yang melintang dari timur ke barat, target selanjutnya Sekutu adalah membersihkan Bandung Selatan dari pasukan TRI dan laskar-laskar perjuangan. Sebagaimana halnya upaya pertama, upaya kedua ini juga dilakukan dengan mengeluarkan sebuah ultimatum pada tanggal 17 Maret 1946. Adapun batas akhir ultimatum adalah tanggal 24 Maret 1946 jam 24.00 WIB.

Secara substansial, ultimatum kedua berbeda dengan ultimatum pertama. Ultimatum pertama yang berupa perintah pengosongan wilayah Bandung Utara ditujukan secara umum, baik kepada rakyat maupun pasukan bersenjata. Ultimatum kedua, yang berisi perintah meninggalkan wilayah Bandung Selatan dalam radius 11 kilometer dari pusat kota, secara khusus ditujukan kepada TRI dan laskar-laskar perjuangan. Sebagaimana halnya ultimatum pertama, ultimatum kedua pun pada awalnya disambut dengan berbagai aksi perlawanan di beberapa bagian Kota Bandung. Adapun peristiwa pertempuran yang relatif besar pascadikeluarkannya ultimatum kedua adalah pertempuran di daerah Fokkerweg pada tanggal 19 Maret 1946.

Di luar serangan bersenjata, Sekutu pun mengembangkan pendekatan teror terhadap penduduk, termasuk politik adu domba, dengan memanfaatkan loyalis-loyalis Belanda, baik yang ada di kalangan pribumi maupun Timur Asing. Khusus para loyalis yang berasal dari penduduk Cina mereka digabungkan dan dipersenjatai dalam organisasi yang bernama Po An Tui. Tujuan teror dan adu domba tidak lain untuk menimbulkan ketidaknyamanan serta sikap saling curiga di antara berbagai elemen penduduk.

Tekanan kuat yang diberikan Sekutu kepada pemerintah RI segera berdampak pula pada perlawanan para pejuang di Kota Bandung. Pada akhirnya, para pejuang harus mau mengikuti strategi yang dikembangkan pemerintah pusat, yang lebih mengedepankan perjuangan diplomasi. Oleh karenanya, ultimatum kedua ini relatif disikapi dengan lebih cermat oleh para pejuang di Kota Bandung. Melalui serangkaian pertemuan dan manuver politik pada akhirnya diambil jalan untuk memenuhi ultimatum Sekutu dengan catatan tidak menyerahkan Bandung Selatan dalam keadaan utuh tetapi membumihanguskannya terlebih dahulu. Sementara itu, meskipun yang diminta keluar dari wilayah Bandung Selatan oleh Sekutu hanya para pejuang bersenjata tetapi pada akhirnya rakyat pun dengan sukarela turut mengikuti pengungsian, demikian pula dengan elemen-elemen pemerintahan Kota Bandung. Proses pengungsian dan pembumihangusan wilayah Bandung Selatan ini dimulai beberapa jam menjelang batas waktu ultimatum kedua berakhir.

Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa peristiwa 24 Maret 1946 bukanlah merupakan peristiwa yang berdiri sendiri tetapi merupakan suatu rangkaian dengan berbagai peristiwa perjuangan lainnya yang terjadi di seluruh Kota Bandung. Tegasnya, peristiwa 24 Maret 1946 merupakan salah satu aksi perlawanan dari sekian banyak aksi perlawanan yang terjadi di Kota Bandung. Aksi pembumihangusan yang dilakukan pejuang dan rakyat Bandung pada tanggal 24 Maret 1946 bila ditelaah lebih lanjut di dalamnya jelas mewariskan berbagai nilai yang dapat dijadikan bahan pelajaran bagi masa kini dan masa yang akan datang.

Nilai-nilai yang baik dari peristiwa BLA, seperti kesadaran yang tinggi akan identitas sebagai bangsa yang merdeka, kerelaan berkorban, serta kemanunggalan tentara dan rakyat dapat dijadikan sebagai penguat daya hidup yang perlu dilestarikan dan diteladani. Sementara itu nilai-nilai yang kurang baik, seperti perilaku anasionalis sebagian masyarakat Bandung, baik pribumi maupun Timur Asing perlu dibuang jauh-jauh agar tidak menjadi sebuah daya mati.

Revitalisasi nilai perjuangan

Berbicara tentang revitalisasi nilai-nilai perjuangan BLA secara implisit berarti berbicara tentang guna sejarah. Dalam kaitan tersebut, T. Ibrahim Alfian (1985) mengemukakan adanya tiga guna sejarah. Pertama, untuk melestarikan identitas kelompok dan memperkuat daya tahan kelompok bagi kelangsungan hidup. Kedua, untuk mengambil pelajaran dan teladan dari peristiwa-peristiwa di masa lalu. Ketiga, sejarah dapat berfungsi sebagai sarana pemahaman mengenai makna hidup dan mati atau mengenai tempat manusia di atas muka bumi ini.

Dalam kerangka berpikir itulah, perlu dilakukan upaya-upaya untuk merevitalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa BLA. Revitalisasi nilai ini tampak menjadi semakin penting manakala Bandung sebagai kota perjuangan saat ini tengah dihadapkan pada berbagai perubahan yang sangat cepat, baik pada tataran fisik maupun nonfisik. Perubahan tersebut secara kasat mata dalam batas-batas tertentu telah mengontaminasi dan mencerabut jati diri Bandung beserta masyarakat pemiliknya.

Kesadaran tentang identitas diri sebagai bangsa yang merdeka yang demikian melekat pada saat peristiwa BLA pecah tampaknya harus kembali dibangun dan diberdayakan. Kesadaran sebagai bangsa merdeka tidak hanya akan melahirkan sense of pride dan sense of belonging terhadap identitas kebangsaan yang bernama Indonesia tetapi juga terhadap lemah cair tatar Bandung beserta segala isi yang terkandung di dalamnya. Revitalisasi identitas sebagai bangsa merdeka ini dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman yang baik tentang perjalanan sejarah bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bandung pada khususnya, terutama manakala berada dalam alam penjajahan. Pemberian gambaran yang utuh dan apa adanya tentang realitas kehidupan rakyat semasa penjajahan dan semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan kiranya dapat menggugah kesadaran tentang betapa bermaknanya arti sebuah kemerdekaan serta betapa pentingnya identitas sebagai bangsa merdeka itu terus dipertahankan.

Agar revitalisasi identitas sebagai bangsa merdeka dapat mencapai hasil optimal maka penting untuk diperhatikan kemasan yang akan ditampilkan untuk mengidentifikasikan peristiwa BLA. Secara umum kemasan tersebut haruslah kemasan yang enak dipandang, memiliki nilai estetis, praktis, serta sarat dengan informasi. Untuk konsumsi umum, bila kemasan akan ditampilkan dalam bentuk cetak, tampilan substansial seperti buku-buku teks pada umumnya tampaknya perlu dihindari. Dengan kata lain, substansi kemasan untuk konsumsi umum haruslah diupayakan tidak seperti buku teks pada umumnya yang belum apa-apa terkesan "berat" untuk dibaca tetapi harus dalam bentuk yang simpel, menggunakan bahasa populer, serta tidak menggunakan model uraian panjang.

Kemasan menarik tentunya diperlukan pula untuk konsumsi dunia pendidikan, terutama pendidikan pada jenjang SD dan SLTP. Sesuai dengan tujuannya, maka substansi kemasan peristiwa BLA untuk jenjang pendidikan SD dan SLTP haruslah sarat dengan transformasi nilai-nilai keteladanan, termasuk nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme. Sementara untuk konsumsi SMU, sejalan dengan tujuannya, yakni mengembangkan kemampuan berpikir sejarah, mengembangkan kemampuan menulis cerita sejarah dan menerapkan cara berpikir sejarah dalam menganalisis peristiwa di sekitarnya, maka substansi kemasan dapat ditampilkan lebih komprehensif dan analitis.

Berkait erat dengan realitas kehidupan kontemporer yang sarat dengan perilaku hedonis tampak semakin menipis pula kesadaran masyarakat untuk mau berkorban, baik tenaga, harta, apalagi nyawa bagi kepentingan orang banyak. Oleh karenanya, revitalisasi nilai-nilai tentang kerelaan berkorban yang dulu dimiliki masyarakat Bandung pun perlu dilakukan. Berpijak pada pemikiran bahwa biasanya kerelaan berkorban berkorelasi dengan adanya rasa senasib sepenanggungan sebagai suatu komunitas maka upaya membangun kembali kerelaan berkorban ini juga harus ditempuh melalui pendekatan sosial kemasyarakatan, misalnya dengan menumbuhkan kembali kebiasaan-kebiasaan untuk bergotong-royong. Dalam batas-batas tertentu, semangat gotong royong tampak masih dimiliki oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan Bandung pada khususnya. 

Namun hal ini perlu terus dilakukan pembinaan agar menjadi semakin kuat sehingga akan tetap menjadi kekayaan masyarakat. Melalui revitalisasi, dalam konteks kini dan esok, perilaku kerelaan berkorban ini akan dapat tertampilkan dalam bentuk tingginya kesadaran untuk memberikan segala yang terbaik untuk membangun Kota Bandung dan memberdayakan berbagai potensi masyarakat yang ada di dalamnya. Kerelaan berkorban akan membuat masyarakat Bandung tetap berada dalam atmosfer silih asih, silih asah, dan silih asuh.

Mengingat realitas "keberhasilan" peristiwa BLA tidak bisa dilepaskan dari adanya kepercayaan rakyat terhadap tentara dan demikian pula sebaliknya maka menjadi hal penting pula untuk terus berupaya menempatkan kemanunggalan tentara dan rakyat sebagai milik bersama masyarakat Bandung pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Tentara dan aparat keamanan pada umumnya haruslah senantiasa berupaya untuk menampilkan dirinya sebagai pelindung dan pembela rakyat. Slogan dari, oleh, dan untuk rakyat, harus benar-benar mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Mereka tidak menempatkan diri sebagai pemegang senjata yang ringan tangan dalam menggunakan "pentungan" terhadap rakyatnya. Harmonisasi hubungan antara tentara dengan rakyat dengan demikian perlu terus dipelihara karena sampai kapan pun akan menjadi kekuatan strategis terutama manakala berhadapan dengan konsep perang semesta. Hubungan yang demikian erat antara rakyat dan tentara selama perjuangan BLA tentunya jangan sampai hanya dijadikan sebagai kenangan manis tetapi justru harus dijadikan sebagai pemacu agar hal tersebut menjadi sebuah kesadaran kolektif untuk turut mempertahankannya bersama-sama.

Untuk menumbuhkembangkan kembali hubungan yang harmonis antara tentara dan rakyat tentu perlu iktikad baik dari kedua belah pihak. Penggelaran kegiatan-kegiatan yang mampu melahirkan partisipasi aktif dan hubungan emosional kedua belah pihak secara optimal dapat kiranya dijadikan alternatif. Bentuk-bentuk kegiatan semacam ABRI Masuk Desa (AMD) perlu kiranya dihidupkan kembali dengan kemasan baru bahkan diperkaya dengan ABRI Masuk Kota (AMK).

Beruntunglah masyarakat Bandung karena relatif memiliki akar sejarah hubungan yang sangat baik dengan tentara sehingga relatif tidak memiliki kendala psikologis dalam membangun dan memberdayakan hubungan yang harmonis. Namun demikian, untuk sampai pada format hubungan yang demikian kental seperti semasa peristiwa BLA tentunya perlu kerja keras bersama.

Di luar itu, unuk meminimalkan bias-bias yang kurang baik sebagaimana tampak dari peristiwa BLA maka perlu pula dilakukan langkah-langkah penataan untuk meminimalkannya atau bahkan agar tidak terjadi kembali. Meskipun perang selalu memunculkan petualang-petualang politik tetapi kelahirannya dapat ditekan seminimal mungkin. Berangkat dari realitas tentang minimnya dukungan masyarakat Cina sewaktu berlangsungnya peristiwa BLA maka jelas perlu dilakukan pembinaan-pembinaan yang terpadu terhadap masyarakat Cina, khususnya yang ada di Kota Bandung. Mendekatkan mereka dengan budaya Sunda pada khususnya dan budaya Indonesia pada umumnya serta meminimalkan terjadinya perilaku diskriminatif terhadap etnis Cina merupakan sebuah alternatif yang dapat dipilih untuk membangun kesadaran dan kecintaan komunitas Cina terhadap bumi tempat di mana mereka berpijak.

Realitas memperlihatkan bahwa pembinaan dan pelibatan masyarakat Cina dalam berbagai hal, terutama kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, terasa sangat minim. Akibatnya, kesenjangan hubungan antara masyarakat Cina dan pribumi di Kota Bandung bukannya berkurang tetapi justru semakin menajam. Hal ini, sekali lagi kalau tidak secepatnya diatasi bisa jadi komunitas Cina, seluruh atau sebagian, akan terus "menjadi musuh dalam selimut" lagi manakala Bandung dihadapkan dengan berbagai ancaman dari luar, dengan segala bentuk dan tampilannya. Sebagian komunitas Cina kembali akan memosisikan dirinya sebagai pihak yang tidak merasa berkepentingan dengan perjuangan masyarakat Bandung pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. ***

Penulis Sekretaris Jenderal Pusat Kajian Lintas Budaya Bandung



Sumber: Pikiran Rakyat, 24 Maret 2005



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan