Langsung ke konten utama

Film yang Bertentangan dengan Sejarah Indonesia: "MaRuJiKa" Propaganda Terbesar Militer Jepang

Oleh KABOEL SUADI

PADA akhir minggu ke-2 bulan Mei 2001, salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia menayangkan sebuah promosi film yang akan diperdanakan di Jepang.

Film berjudul MaRuJiKa (Merdeka) itu merupakan sebuah film yang menggambarkan Balatentara Dai Nippon melawan tentara Belanda pada tahun 1945 dalam membantu bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya.

Menurut sang komentator, film yang bertentangan dengan kenyataan sejarah ini akan dipasarkan ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.

Film baru, nafas lama

Di tengah-tengah ramainya berbagai informasi menyedihkan mengenai ekonomi, politik, dan keamanan yang merisaukan, penayangan promosi dua buah film Jepang yang baru ini, cukup mengejutkan.

Dari beberapa penggalannya terlihat pengerahan heitai-san (tentara) dengan seragam lengkap bertopi baja, senjata bersangkur serta melibatkan sejumlah kendaraan berlapis baja, dalam adegan pertempuran yang dahsyat.

Di samping itu, tampak pula sejumlah penduduk Indonesia kurus-kering "sujud" berterima kasih kepada Saudara Tua yang bercucuran air mata. Wajah tentara Jepang itu terkesan haru yang mendalam, karena berhasil membantu bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah.

Menurut si pembawa komentar, film yang dalam waktu dekat akan diperdanakan di negaranya sendiri ini, juga akan diedarkan ke seluruh dunia termasuk Indonesia!

Kisah dalam film MaRuJiKa, mengingatkan pada sebuah film propaganda berjudul Marai no Tora (Harimau Melayu) yang diputar di bioskop sejumlah kota oleh penguasa militer Jepang, sesaat sesudah mendarat di Jawa pada tahun 1942.

Film ini bermasa putar dua jam dan mengisahkan kepahlawanan seorang pemuda yang berhasil memimpin gerilya bangsa Melayu dalam merebut Shonanto (Singapur).

Wajah tampan seorang pahlawan yang dikenal dengan nama Harimau Melayu, bermata sipit, berpeci dan berpakaian teluk belanga ditampilkan pada pembukaan film itu dari balik pipa penyulingan minyak dalam sorotan close-up. Ternyata pahlawan bernama Harimau Melayu itu ... orang Jepang! dan seperti umumnya tugas kolone kelima, para gerilyawan harus mampu melawan musuh dari garis belakang dengan bersenjatakan golok, parang, dan tombak, sambil menunggu pendaratan balatentara Dai Nippon. Inilah kisah kepahlawanan Harimau Melayu berbangsa Jepang, pemimpin pembebasan orang Melayu dari Kolonialis Inggris.


Kegiatan propaganda besar-besaran

Dalam mengobarkan Perang Dunia II di Asia yang dinamakannya "Peperangan Asia Timoer Raja", kaum militer Jepang menyadari benar kendala yang kelak akan dihadapinya.

Sekalipun menurut perhitungan Hindia Belanda akan dapat diduduki dengan mudah, tetapi pembalasan Sekutu yang berkepanjangan, pasti akan merepotkan diri sendiri. Menyadari akan kelemahannya, peperangan ini harus dibarengi strategi khusus dalam bentuk propaganda dan tipu daya yang meyakinkan.

Dalih mereka terhadap penyerbuannya: untuk membebaskan dari belenggu sekutu di antaranya dengan berlaga seakan-akan mau mengangkat harga diri bangsa jajahan yang sedang gandrung kemerdekaan yaitu dengan mempersamakan derajatnya sebagai sesama bangsa Asia, di samping merendahkan dominasi budaya Barat yang telah dikultuskan.

Semua itu agar kesewenang-wenangannya sebagai penjajah terlindungi oleh sikap simpatik di mata bangsa Indonesia.

Jauh sebelum melakukan invasi, Jepang telah menyusun strategi dengan mengangkat seorang pakar propaganda Hitosi Shimitzu dan menyiapkan berbagai perangkatnya:

1. Dalam media film semi dokumenter yang bertemakan perang seperti Marai No Tora, dan sejumlah film dokumenter lainnya yang memperlihatkan supremasi Jepang di dalam berbagai pertempuran di darat, laut, dan udara. Di antaranya seperti di Cina, di Birma, dan di tempat lainnya. Film-film perang mereka yang dahsyat gegap gempita, membuat telinga pekak dan jantung berdebar-debar. Bunyi bedil, mitraliur, geranat, mortir, meriam, dan ledakan bom sejak dimulai sampai diakhirinya film dengan pengibaran bendera Hino Maru. Di antaranya berjudul Barisan Tank Nisizumi dari Rikugun (angkatan darat), Ditenggelamkannya Tiga Kapal USA dari Kaigun (angkatan laut) yang untuk pertama kalinya menciptakan seorang Jibakutai yaitu pilot yang "bunuh diri" demi Tenno Heika, dengan cara menjerumuskan kapal terbangnya ke dalam cerobong asap dalam meledakkan kapal Repulse di Samudera India. Juga termasuk film Melayang ke Selatan.

Mereka juga membuat film hiburan, seperti Kucing Galak dan Bom Penghibur yang memperlihatkan kehidupan modern orang Jepang, yang tidak berbeda dengan di Barat!

2. Dalam media musik, mereka membuat sejumlah piringan hitam dari lagu-lagu yang populer di saat itu, seperti Bengawan Solo dan China no Yoru (Cina di Waktu Malam). Termasuk pula lagu Indonesia Raya yang pada saat itu dikenai larangan untuk dinyanyikan di Hindia Belanda oleh pemerintah Kolonial.

3. Dalam media pers di antaranya mencetak sejumlah majalah berilustrasi dengan foto kehidupan modern dan tradisional di Jepang. Hanya anehnya, seluruh majalah itu berhuruf kanji yang sudah tentu sukar untuk dibaca orang Indonesia!

4. Dalam media pendidikan. Pembuatan pinsil dan buku tulis merek Sakura serta komik Momotaro untuk hadiah yang kelak dibagi-bagikan kepada murid Sekolah Rakyat.

Dimulai dengan mengumandangkan lagu Indonesia Raya berminggu-minggu sebelum hari penyerbuan ke Indonesia, mereka melakukan siaran propaganda pagi, siang, dan malam, melalui stasiun radio Hosokyooku dari Tokio.

Kemudian, seseorang yang menamakan dirinya Profesor Sudjono berpidato dalam bahasa Indonesia. Isinya memuji-muji Dai Nippon sebagai Saudara Tua, sambil mencaci-maki Belanda dan sekutunya. Tiga hari sebelum balatentara ke-16 di bawah pimpinan Jenderal Hitoshi Imamura mendarat di Jawa pada tanggal 1 Maret 1942, kapal terbang Jepang meraung-raung di udara untuk menyebarkan pamflet di atas sejumlah kota di Pulau Jawa.

Di dalam pamfletnya, mereka mensitir ramalan Joyoboyo: "Raja Djoyoboyo di Kediri pernah berkata, bangsa kulit kuning akan datang untuk menolong bangsa Jawa dan sekarang kamilah yang datang menolong ...."

Setelah pemerintah Hindia Belanda ditaklukkan dalam waktu delapan hari, dan lima minggu militer Jepang berkuasa, dibentuklah pemerintahan sipil dengan dilengkapi sebuah departemen, yang dikenal dengan nama Barisan Propaganda, Sendenbu. Mengingat perannya yang teramat penting, dari pusat sampai di tingkat Karesidenan, beranggotakan juru penerang sampai dengan kendaraan yang dilengkapi pengeras suara berukuran besar.

Sebelum perang, mobil penerangan semacam itu dipakai untuk mempromosikan permen Extra Strong cap Semar dengan iringan kecapi dan nyanyian Meneer Muda.

Hampir seluruh desa di Jawa Barat dari Banten, Sukabumi, Karawang, Tasik, Ciamis, sampai Cirebon, menjadi lahan propaganda dagang tersebut.

Sendenbu juga memakainya sampai ke desa, termasuk pada saat mengajak rakyat untuk bekerja sama menciptakan "Kemakmuran Bersama" dengan semangat persatuan Asia Timur Raya. Pada tahun 1944, mobil tersebut dipakai juga untuk membujuk para petani Indramayu yang memberontak, agar keluar dari persembunyiannya dan dapat ditangkapi Kenpeitai (Gestapo-nya Jepang).

Sendenbu juga menyelenggarakan pertandingan main bola dan lomba nyanyi. Bahkan membuat pasar malam Rakutenci, untuk meninabobokan rakyat yang sengsara.

Pada hari perayaan Tencosetsu (hari ulang tahun Kaisar) tanggal 29 April 1942, Jepang mendirikan gerakan 3A yang dipimpin Mr. Sjamsudin dari Parindra. Sebuah gerakan yang disemangati "Asia untuk Bangsa Asia" dan bersemboyankan Dai Nippon Cahaya Asia, Dai Nippon Pemimpin Asia dan Dai Nippon Pelindung Asia.

Semangat kebersamaan ini, secara periodik diulas harian Asia Raya yang juga didirikan Hitosi Shimitzu. Di dalam harian itulah, Saudara Tua mulai mengobral janji kosongnya.

Belum satu tahun memerintah, militer Jepang membentuk wadah kegiatan berkesenian, Keimin Bunka Sido-sho. Namun menurut pemusik Kusbini yang disampaikan kepada Harjadi Suadi, pendirian wadah itu sebenarnya "dipacu" oleh sebuah kegiatan Malam Kesenian yang diselenggarakan di Gedung Kesenian Jakarta yaitu sebuah pagelaran besar sandiwara yang diselingi tarian dan nyanyian dengan dukungan sejumlah seniman terkemuka seperti Anjar Asmara, Kusbini, Sudjojono, Basuki Resobowo, dan lain-lain.

Kecuali Hitosi Shimitzu yang mempunyai pendapat lain, semua pembesar Jepang yang menyaksikannya memberikan sambutan hangat, khususnya bagi tari Bali dan keroncong dengan Bengawan Solo-nya.

Kegiatan yang dilindungi Bung Karno ini dianggap sebagai usaha untuk menghimpun kekuatan nasional yang berbahaya. Oleh karena itu, Malam Kesenian yang rencananya akan digelar ke berbagai tempat secara periodik, dilarang untuk dilanjutkan.

Pembentukan Keimin Bunka Sido-sho juga sebenarnya bagi kepentingan propaganda. Jepang berhasrat untuk memperalat para seniman muda Indonesia, atau setidaknya dapat mengawasi kegiatan mereka.

Kedua, untuk membelokkan kebencian terhadap kenyataan yang diperbuat Jepang yang menyengsarakan rakyat, degan menyibukkan ke dalam pelatihan di bidang seni rupa, tari, musik, dan sandiwara. Apalagi seniman otodidak Indonesia sangat menggandrungi "akademi" kesenian sejak zaman Kolonial.

Sejak berkuasa di tahun 1942, Jepang membentuk Komisi Menyelidiki Adat Istiadat dan Tata Negara, yang seolah-olah akan "memberi" kemerdekaan. Tetapi setelah satu tahun Empat Serangkai memasukkannya ke dalam gerakan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang didirikan pada tanggal 16 April 1943, pemerintah Jepang malah mencurigai dan membubarkannya.

Sebagai gantinya, dibentuklah gerakan baru Jawa Hokokai yang ditunjang oleh empat kegiatan, di antaranya terdapat kegiatan Propaganda dan kegiatan Usaha Budaya. Namun kegiatan yang juga berisi pelatihan bagi para seniman ini, ternyata tidak mampu dikendalikan dan tidak menguntungkan kegiatan propaganda.

Kekuatan massa Islam, juga tidak terlepas dari incaran strategi mereka di antaranya dengan mendatangkan Haji Muniam Inada dari Tokio yang ditugasi untuk mendirikan Majelis Islam ala Indonesia (MIAI).

Katanya, bala tentara Dai Nippon sangat bersimpati terhadap umat Islam, asal saja bersedia bekerja sama dan mendukung peperangan. Begitu juga masalah klenik, ramalan, dan ketakhayulan yang dipercayai sebagian orang Indonesia, tidak terlewatkan dari sasaran propaganda. Termasuk Ramalan Joyoboyo yang dijadikan isi pamflet pendaratannya, seperti yang telah dipaparkan di depan.

Mengangkat harga diri dengan merendahkan lawan

Untuk memperlihatkan kebesaran rasnya, kaum fasis Jepang berhasrat sekali untuk mengubur habis tanda-tanda, lambang-lambang, kebiasaan hidup dan semua yang berbau budaya Barat, dari muka bumi Asia. Termasuk nama-nama orang, nama-nama jalan, serta pemakaian istilah dalam bahasa Belanda.

Sebagai gantinya dicarikan padanan atau sama sekali yang baru dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jepang. Juga tidak sedikit patung dan tugu peringatan yang dirobohkan di antaranya patung Jan Pieters Zoon Coen dan Pastor Ter Braak di Jakarta.

Lagu-lagu yang membenci dan merendahkan Sekutu, diciptakan dan diajarkan kepada pelajar Sekolah Rakyat sampai Sekolah Menengah. Yang paling disenangi mereka yaitu lagu "Hancurkanlah Musuh Kita", serta lagu-lagu mars Jepang seperti Cikara dan Miyoto, yang tersebar sampai ke perdesaan.

Sementara itu, poster dengan semboyan anti Sekutu seperti: Inggris Dilinggis, Amerika Diseterika, Belanda Disiksa, dan lain-lain, banyak terpampang di dalam pasar malam Rakutenci.

Pada tanggal 8 November tahun 1944, pemuda-pemudi di Jakarta mengadakan pawai besar-besaran yang diakhiri dengan membakar gambar van der Plass, Churchill, dan Roosevelt di lapangan Banteng. Mereka bersorak sorai, tenggelam dalam kegembiraan.

Semua "Bule" diinternir, kecuali orang Jerman dan Itali. Tetapi yang paling menderita akibat ulah rasialisme kaum militer Jepang ini, para wanita dan gadis Indo Belanda. Mereka dalam kehidupan yang sangat dihinakan.

Menurut P. S. Gerbrandy, kurang lebih 200.000 orang Bule menjadi korban interniran, sedangkan menurut data yang kurang akurat, orang Indonsia yang menjadi kurban keganasan fasis Jepang ini sebanyak 4.000.000 orang!

Akibat strategi militer yang menyengsarakan

Pemerintah militer Jepang yang hanya bertujuan untuk memenangkan peperangannya, tidak pernah bersungguh-sungguh untuk memenuhi janji yang pernah dikemukakannya. Pembentukan Komisi Menyelidiki Adat Istiadat dan Tata Negara, gerakan 3A, Keimin Bunka Sido-sho, gerakan Putera, sampai dengan gerakan Jawa Hookokai, hanyalah sebuah "sandiwara" untuk memanfaatkan potensinya yaitu untuk memeras tenaga orang muda Indonesia yang dijadikan romusha, keibodan, heiho, dan jugun ianfu.

Di tengah peperangan yang melumpuhkan sektor perekonomian, Jepang "terpaksa" merampas hampir semua pangan rakyat demi logistik militernya: padi, hasil bumi dan ternak. Akibatnya, seluruh bangsa ini jadi sengsara, dan penyakit merajalela. Rakyat yang tampil kurus kering, menderita busung lapar, disentri, malaria, dan penyakit kulit di antaranya frambusia patek yang hinggap dari kepala, lutut, sampai kaki. Pakaian pun berganti karung goni, bagor, atau lembaran karet untuk perlak bayi.

Mereka juga mencabuti pagar besi rumah dan tiang-tiang gedung. Katanya untuk bahan senjata. Tetapi lok kereta api dan mas berlian juga diangkuti truk bak tertutup pada malam hari, di tengah pemadaman listrik dan penerangan kota. Sementara ini sirine kushu keiho (bahaya udara) dibunyikan, dan semua penduduk harus memasuki perlindungan!

Akibat kekejaman yang dilakukannya selama tiga setengah tahun berkuasa, tentara Jepang yang menyerah tanggal 14 Agustus 1945 kepada sekutu, berkumpul di tempat-tempat yang aman. Mereka takut adanya balas dendam dari rakyat yang baru bangkit.

Di sejumlah kota, segelintir militer Jepang ini memang ada yang melakukan desersi dari kesatuannya untuk membantu para pejuang. Bahkan tidak sedikit senjata mereka yang diserahkan ke tangan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) secara damai. Seperti yang dilakukan Jepang kepada Daidanco Sudirman di Banyumas, dan pada 7 Oktober di Yogyakarta.

Namun penyerahan senjata di Surabaya pada 2 Oktober, baru dilakukan sesudah Jepang menyerah dalam pertempuran. Sedangkan di saat sejumlah siswa Akademi Militer Tangerang melucuti senjata mereka di Serpong, banyak juga kurban yang berjatuhan, sampai-sampai menewaskan direkturnya, Mayor Daan Mogot.

Yang paling menyedihkan lagi, yaitu pertempuran lima hari di Semarang yang meletus 15 Oktober 1945. Dalam keadaan tidak seimbang, 2000 pasukan marinir dan Kidobutai bersenjata lengkap, telah berhadapan dengan TKR. Setelah 2000 rakyat tidak berdosa dan 100 tentara Jepang berjatuhan, pertempuran dapat dihentikan pasukan Sekutu.

Namun di samping itu, ada juga yang melalui pencurian dari gudang-gudang senjata!

Film baru yang patut dipertanyakan

Cerita kepahlawanan tentara Jepang di dalam film MaRuJiKa khususnya, sungguh merendahkan peristiwa penting di dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia.

Jika Marai No Tora dipersiapkan bagi propaganda untuk memenangkan perang, mungkinkah MaRuJiKa dipersiapkan untuk "pemutihan" dosa kejahatan perangnya dalam ulang tahun ke-50 di tahun 2002 y.a.d.?

Seluruh generasi pasca perang dunia II yang masih bisa bersaksi, sampai dengan generasi reformasi, sudah memaklumi kekejaman balatentara Dai Nippon dan sepak terjangnya yang menyengsarakan rakyat di masa lampau.

Demikian pula masalah yang ramai mengenai jugun ianfu dengan rakyat Filipina, Korea, dan Indonesia atau masalah "pemutihan" sejarah Jepang yang menimbulkan protes keras dan demonstrasi rakyat Cina serta Korea, sampai menimbulkan insiden bendera di kedutaan besar Jepang.

Oleh karena itu, pembuatan film MaRuJiKa yang berbau propaganda untuk disuguhkan kepada bangsa "Asia Timur Raja" umumnya dan bangsa Indonesia khususnya di zaman keterpurukan berkepanjangan, sungguh menimbulkan berbagai tanda tanya yang patut untuk dicurigai.***

- Kaboel Suadi, pengamat sejarah seni rupa. Tinggal di Bandung.



Sumber: Pikiran Rakyat, ... 2001



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan