Langsung ke konten utama

Kontroversi di Sekitar G30S/PKI

Oleh Sulastomo

SETELAH 36 tahun berlalu dan Pak Harto telah jatuh, kini banyak beredar berbagai teori dari kalangan kita sendiri tentang peristiwa G30S/PKI. Teori yang beredar kini tentu tidak sesuai teori yang selama ini kita kenal. Bila teori selama ini mengatakan, G30S/PKI adalah sebuah kudeta oleh PKI, maka teori yang kini beredar beraneka ragam. Dari peran CIA sampai ke peran TNI, dan Pak Harto.

Dr Soebandrio, mantan wakil perdana menteri dan yang dikenal dekat dengan Bung Karno, kepada Astaga.com mengatakan, peristiwa itu digambarkan sebagai "rekayasa" kelompok bayangan Soeharto dalam TNI/Angkatan Darat. Cerita-cerita yang beredar selama ini, kata Pak Ban (panggilan akrab Soebandrio) adalah tidak benar. Cerita-cerita itu hanya ingin membenarkan sebuah skenario, agar PKI bergerak lebih dahulu dan dengan cara itu, ada alasan untuk memukul PKI.

Bila kini ada cerita yang terbalik sama sekali dengan cerita-cerita yang selama ini beredar, dan secara khusus dilansir "lawan-lawan" Pak Harto, tentu akan membuat peristiwa G30S/PKI menjadi "buram". Akhirnya, kebenaran peristiwa itu tergantung perkembangan politik. Bila pendulum politik bergerak ke kiri, maka cerita yang benar adalah sesuai versinya. Bila bergerak ke kanan, maka versi yang lain yang akan dianggap benar. Sejarah, akhirnya akan tergantung kepada siapa yang berkuasa.

Saya terdorong untuk ikut menulis, dengan harapan syukur dapat sedikit ikut membuat klarifikasi. Selebihnya, tergantung selera politik kita sendiri, untuk mempercayai mana yang benar dan mana yang salah.

***

PERISTIWA G30S/PKI, sebagaimana kita ketahui, dimulai dengan penculikan pimpinan teras TNI/Angkatan Darat, Jenderal Ahmad Yani dan kawan-kawan tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Seluruhnya, terdiri tujuh orang. Di dalam proses penculikan itu, sebagian tertembak mati dan sebagian masih hidup. Baik yang mati maupun yang hidup, dibawa ke Lubang Buaya. Di sana, ternyata sedang berlangsung latihan militer para sukarelawan kaum komunis (PKI). Yang masih hidup lalu ditembak mati dan seluruh jenazah dimasukkan ke dalam sebuah sumur.

Setelah itu, keluarlah pengumuman melalui RRI Jakarta pada pukul 07.20 pagi. Pengumuman itu, antara lain (intinya) mengatakan, telah terjadi gerakan di dalam Angkatan Darat yang ditujukan kepada "Dewan Jenderal" yang bermaksud jahat terhadap Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Gerakan itu, yang dinamakan Gerakan 30 September juga bertujuan untuk menyelamatkan Presiden Soekarno. Selanjutnya, akan dibentuk "Dewan-Revolusi", baik di pusat maupun di daerah.

Pengumuman tentang "Dewan Revolusi", baru terjadi pukul 14.00. Dalam pengumuman itu, yang termaktub dalam Dekrit I, yang terpenting adalah, "Dewan-Revolusi" menjadi sumber segala kekuasaan dalam negara Republik Indonesia. Selanjutnya dikatakan, dengan jatuhnya kekuasaan negara ke Dewan Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner.

Dewan Revolusi diketuai Letnan Kolonel Untung, Ketua Gerakan 30 September. Susunan anggota Dewan Revolusi yang terdiri dari 4 orang, antara lain ada nama Dr Soebandrio dan Dr Leimena. Nama Bung Karno tidak ada. Demikian juga Chairul Saleh dan Adam Malik. Lainnya, mewakili golongan nasionalis, agama, dan komunis serta nama-nama dari lingkungan ABRI. Nama-nama anggota yang dicantumkan, ternyata kemudian ada yang mengatakan sebagai tidak tahu-menahu.

Interpretasi kejadian sebagaimana dikemukakan itu, tentu tergantung situasi politik, peran, dan posisi seseorang serta aspirasi politik yang dianutnya. Sebagai Ketua Umum PB HMI saat itu, sejak pengumuman pukul 07.20, saya sudah cenderung berpendapat peristiwa itu adalah sebuah kudeta. Ditambah pengumuman pada siang hari, keyakinan peristiwa itu sebagai kudeta makin besar.

Bagaimana bukan suatu kudeta (perebutan kekuasaan) bila pada akhirnya kabinet Dwikora yang dipimpin Bung Karno dinyatakan demisioner? Bahwa dalam proses itu ada intervensi asing, konflik kepentingan internal, termasuk dalam Angkatan Darat, bisa saja terjadi. Namun, kesan sebagai kudeta, pada hemat saya, amat sulit dielakkan. Siapa yang melakukan kudeta? Sebagian besar rakyat berpendapat, kudeta itu dilakukan PKI. Itulah sikap yang diambil HMI, kalangan umat beragama dan TNI/ABRI dan sebagian besar rakyat Indonesia.

Setelah itu, muncul berbagai teori. Terutama, dari kalangan luar negeri. Apa yang dikenal sebagai Cornell-paper menyatakan, ini adalah peristiwa intern Angkatan Darat. Beberapa waktu lalu, beredar dokumen CIA mengenai peranannya dalam menjatuhkan Bung Karno. Dokumen itu lalu ditarik, menjelang Megawati Soekarnoputri memimpin tampuk pemerintahan RI. Mungkinkah CIA terlibat?

Pada hemat saya, seandainya pun terlibat, adalah normal. Bahkan aneh, bila AS tidak berkepentingan dengan pemerintahan di Indonesia. Apalagi (saat itu), perang dingin sedang mencapai puncak. Peran Indonesia, tentu tidak dapat dianggap kecil. Apalagi, kebijakan luar negeri Bung Karno saat itu cenderung berlawanan dengan AS. Ucapan Bung Karno yang terkenal Go to hell with your aids, meski tidak dijelaskan, yang dituju adalah AS.

Bung Karno sendiri di dalam naskah Pelengkap Nawaksara (1967), sebagai pertanggungjawaban kepada MPRS mengatakan, G30S/PKI disebabkan tiga faktor, yaitu pimpinan PKI yang keblinger, subversi Nekolim dan kalangan kita sendiri yang tidak benar. Dari penilaian seperti itu, Bung Karno jelas melihat ada peran PKI, yaitu pimpinan PKI yang keblinger (tidak benar/salah). Subversi Nekolim, meski tidak ada alamat yang jelas, tidak tertutup kemungkinan CIA. Kalangan kita sendiri yang tidak benar? Tidak jelas siapa yang dimaksud. Karena itu, Bung Karno memerintahkan dibentuknya Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) untuk mengadili siapa saja yang terlibat di dalam gerakan itu. Karena alasan-alasan inilah Bung Karno belum atau tidak mau membubarkan PKI. Apalagi konstelasi politik internasional di waktu itu, yang masih menguntungkan PKI.

Ditambah dengan sikap kaum militer, khususnya TNI/Angkatan Darat saat itu, yang tentu memiliki informasi yang lengkap, termasuk pelaku G30S/PKI, maka vonis G30S/PKI sebagai kudeta PKI diyakini sebagai kebenaran sejarah. Mahmillub yang digelar setelah itu, juga lebih membuktikan teori keterlibatan PKI, Jenderal Soeharto, selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret, tanggal 12 Maret 1966 membubarkan PKI. Setelah itu, pada Sidang MPRS Juni 1966, dikukuhkan sebagai Ketetapan (Tap) MPRS No XXV/MPRS/1966. Vonis PKI sebagai pelaku kudeta G30S/PKI, dengan demikian dikukuhkan secara konstitusional. Inilah yang oleh beberapa kalangan, termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang saat itu (1965) tidak ada di Indonesia, diminta untuk dicabut. Apa implikasinya, apabila masalah itu hendak dibuka kembali?

***

DALAM kesaksian Pak Ban di Astaga.com, Pak Ban menyatakan, cerita yang beredar di sekitar peristiwa G30S/PKI adalah tidak benar. Misalnya, cerita Bung Karno sakit keras di awal Agustus (yang mendorong PKI mempercepat kudeta G30S/PKI) adalah tidak benar. Bung Karno hanya sakit masuk angin. Sebab, sebagai dokter, bersama Leimena (yang juga dokter), keduanya ikut memeriksa Bung Karno. Cerita bahwa Bung Karno diperiksa dokter dari RRC juga tidak benar. Dokter Cina itu, kata Pak Ban, meski benar didatangkan oleh DN Aidit (Ketua CC PKI), adalah seorang dokter Cina yang tinggal di Kebayoran. Sayang, beliau lupa namanya.

Oleh karena itu, menurut Pak Ban, Aidit tahu persis, Bung Karno tidak sedang dalam sakit keras dan karena itu dipertanyakan urgensi mempercepat gerakan kudeta. Terbunuhnya DN Aidit oleh TNI/Angkatan Darat, menurut Pak Ban juga dimaksudkan untuk menghilangkan bukti-bukti itu. Bahkan kesaksian Sjam atau Kamaruzzaman, kepala biro khusus PKI, di Mahmillub, yang membenarkan Bung Karno sakit keras dan karena itu ada urgensi mempercepat Gerakan 30 September, adalah rekayasa, karena Sjam/Kamaruzzaman, menurut Pak Ban adalah seorang perwira intelijen. Cerita-cerita itu, tidak lebih, sekadar untuk mencari pembenaran memukul PKI dan menuduh PKI sebagai dalang G30S/PKI. Begitu singkatnya kesaksian Pak Ban. Mana yang benar?

Sayang sekali, cerita versi Pak Ban itu baru sekarang keluar. Kalau karena alasan tidak dalam posisi yang kuat/berkuasa, itu pun masih bisa dipertanyakan. Sebab, Dr Soebandrio masih menjabat Waperdam I, sekitar enam bulan setelah G30S/PKI, yaitu dari 30 September 1965 sampai 12 Maret 1966. Sebagai Kepala Biro Pusat Inteligen (BPI), setidaknya beliau dapat menyampaikan informasi yang diperolehnya kepada Bung Karno sebagai presiden.

Kesan saya, hal itu tidak dilakukan. Demikian juga dalam pengadilan Mahmillub, cerita itu tidak disampaikan. Mungkin karena pertimbangan politis, atau pertimbangan (sebagaimana dikatakannya sendiri) karena dalam posisi yang lemah. Atau karena pertimbangan lain yang tidak saya ketahui.

Sayang sekali, semua itu keluar setelah saksi-saksi yang diperkirakan tahu, telah wafat semua. Leimena, DN Aidit, dan mungkin juga Nasoetion dan A. Yani.

Dokter Cina di Kebayoran? Sayang, tidak diketahui namanya. Dalam hal ini juga menimbulkan tanda-tanya, seorang Presiden RI telah dibohongi identitas dokter yang mengobatinya. Dikatakan dokter dari RRC, ternyata Cina dari Kebayoran. Bagaimana kaum sejarawan menilai bukti-bukti seperti itu? Dan lebih dari itu, sayang semua itu keluar setelah Pak Harto jatuh. Sehingga amat mudah diterima sebagai pembenaran sejarah.

Inilah nasib bangsa ini. Sejarah selalu diotak-atik dengan pertimbangan politis, karena pemimpinnya tidak ada keberanian mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah pada saat yang tepat.

<> Dokter Sulastomo, mantan Ketua Umum PB HMI 1963-1966, pemrakarsa Deklarasi "Jalan-Lurus".



Sumber: Kompas, 2 Oktober 2001



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan