Langsung ke konten utama

Masjid Al-Makmur Cikini (1840)


Masjid Al Makmur yang terletak di jalan Raden Saleh No. 30 Jakarta Pusat, dan didirikan tahun 1840 ini diduga kuat dibangun atas andil almarhum Raden Saleh yang ketika itu tengah membangun rumah di daerah Cikini. Lokasi rumah dan tanah masjid itu kini adalah areal kompleks RS Cikini, yang dahulu disebut Koningen Emma Hospital, milik Koningen Emma Stichting (Yayasan Ratu Emma).

Kisahnya, usai berkeliling Eropa memperdalam ilmu lukisnya, pria berkumis melintang bernama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman itu kembali ke Hindia Belanda. Raden Saleh kemudian membeli sebidang tanah yang luas di daerah Cikini. Mulai dari pinggir Kali Ciliwung hingga ke barat. Di tanah itu dibangunlah sebuah rumah dengan beberapa paviliun. Syahdan setelah mempersunting seorang gadis asal Bogor, Raden Saleh hijrah ke kota hujan itu.

Namun sebelum pindah Raden Saleh mewakafkan sebidang tanahnya untuk dibangun masjid dan menjual rumah termasuk seluruh tanah miliknya--tidak termasuk tanah masjid yang ada di belakang kompleks rumah. Masjid yang dibangun atas andil Raden Saleh itu hanyalah masjid berbentuk sederhana. Berdinding bilik dengan bentuk seperti rumah panggung.

Pembeli rumah dan tanah itu adalah seorang tuan tanah kaya kondang keturunan Arab di daerah itu, ber-fam Alatas. Dulu sebelum menjadi Jalan Raden Saleh, wilayah Cikini disebut orang sebagai Alatas Land. Mengira bahwa tanah wakaf itu adalah bagian dari tanah yang dibeli oleh orang tuanya, salah seorang pemegang hak waris tanah itu, Sayid Salim Ismail Salam bin Alwi Alatas, menjual kembali tanah itu kepada Koningen Emma Stichting (Yayasan Ratu Emma).

Yayasan misionaris milik orang Belanda itu bergerak di bidang pelayanan sosial, agama, dan pelayanan kesehatan. Merekalah yang membangun Rumah Sakit Cikini sekarang. Sebagai organisasi penyebar agama, tentu saja mereka merasa gerah dengan keberadaan sebuah masjid di dekat mereka. Meski sebenarnya tanah masjid itu bukan termasuk tanah milik mereka. Yayasan bersikeras ingin merobohkan masjid. Atas aksi itu jamaah masjid bereaksi dan memutuskan untuk memindahkan masjid ke lokasi lain.

Tahun 1890 tercatat sebagai tahun ketika masjid itu dipindahkan secara gotong-royong dengan diusung beramai-ramai oleh masyarakat sekitar. Tanah yang dipilih sebagai lokasi baru adalah tanah milik Sayid Ismail Salam bin Alwi Alatas yang lain--lokasi masjid sekarang. Kemudian hingga tahun 1923, rupanya pihak Koningen Emma Stichting masih merasa gerah dengan keberadaan masjid yang beberapa ratus meter saja jaraknya dari tempat mereka. Mereka menuntut agar masjid itu dipindahkan ke lokasi yang lebih jauh.

Namun, kontan saja keinginan itu dibalas dengan reaksi keras dari masyarakat Islam Betawi di sekitar Cikini. Disebutkan aksi penentangan itu disokong pula oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti HOS Cokroaminoto, H. Agus Salim, KH. Mas Mansyur dan Abi Koesno Cokro Soeyono. Bukannya dipindahkan, atas saran tokoh-tokoh tadi, tahun 1924 masjid justru dipugar dengan arsitektur yang lebih megah. Menurut penuturan, pembangunan itu dimaksudkan agar masjid setara dengan gereja-gereja yang ada ketika itu. Hilangnya kesan kumuh dan miskin itulah yang diinginkan H. Agus Salim cs. Tahun 1935 pembangunan seluruh masjid selesai, dan diberi nama sebagai Masjid Al Makmur. Dan sejak itu masjid dengan atap bersusun dua itu dijadikan sebagai pusat segala aktivitas umat Islam masa itu. Tapi tahun 1964, keberadaan masjid ini kembali mendapat gugatan. Kali itu, ketenangan beribadah kaum muslimin di sekitar Masjid Al Makmur diganggu oleh Kementerian Agraria RI yang menerbitkan SK hak milik atas nama Dewan Gereja Indonesia (DGI).

Dalam sertifikat itu disebutkan bahwa tanah di sekitar masjid--termasuk tanah yang di atasnya dibangun masjid itu, diklaim milik DGI. Padahal di tahun yang sama, Masjid Al Makmur telah berbadan hukum berbentuk Yayasan Masjid Al Makmur bernomor akta notaris 13, tertanggal 8 Juli 1964 dengan notaris Adasiah Harahap. Tahun 1991 atas andil Gubernur KDKI Wiyogo Atmodarminto--setelah sebelumnya tahun '89-'90 diupayakan jalan damai dibantu Walikota Jak-Pus Abdul Munir, sertifikat tanah 'aspal' milik DGI tidak diakui. Dengan demikian masjid dinyatakan sah milik Yayasan Masjid Al Makmur. Dua tahun kemudian, 1993, Masjid Al Makmur ditetapkan sebagai Bangunan Bersejarah dan dilindungi oleh UU Monumen Sejarah.

(pesantren.net/M-1)


Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal

 


Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan