Kisahnya, usai berkeliling Eropa memperdalam ilmu lukisnya, pria berkumis melintang bernama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman itu kembali ke Hindia Belanda. Raden Saleh kemudian membeli sebidang tanah yang luas di daerah Cikini. Mulai dari pinggir Kali Ciliwung hingga ke barat. Di tanah itu dibangunlah sebuah rumah dengan beberapa paviliun. Syahdan setelah mempersunting seorang gadis asal Bogor, Raden Saleh hijrah ke kota hujan itu.
Namun sebelum pindah Raden Saleh mewakafkan sebidang tanahnya untuk dibangun masjid dan menjual rumah termasuk seluruh tanah miliknya--tidak termasuk tanah masjid yang ada di belakang kompleks rumah. Masjid yang dibangun atas andil Raden Saleh itu hanyalah masjid berbentuk sederhana. Berdinding bilik dengan bentuk seperti rumah panggung.
Pembeli rumah dan tanah itu adalah seorang tuan tanah kaya kondang keturunan Arab di daerah itu, ber-fam Alatas. Dulu sebelum menjadi Jalan Raden Saleh, wilayah Cikini disebut orang sebagai Alatas Land. Mengira bahwa tanah wakaf itu adalah bagian dari tanah yang dibeli oleh orang tuanya, salah seorang pemegang hak waris tanah itu, Sayid Salim Ismail Salam bin Alwi Alatas, menjual kembali tanah itu kepada Koningen Emma Stichting (Yayasan Ratu Emma).
Yayasan misionaris milik orang Belanda itu bergerak di bidang pelayanan sosial, agama, dan pelayanan kesehatan. Merekalah yang membangun Rumah Sakit Cikini sekarang. Sebagai organisasi penyebar agama, tentu saja mereka merasa gerah dengan keberadaan sebuah masjid di dekat mereka. Meski sebenarnya tanah masjid itu bukan termasuk tanah milik mereka. Yayasan bersikeras ingin merobohkan masjid. Atas aksi itu jamaah masjid bereaksi dan memutuskan untuk memindahkan masjid ke lokasi lain.
Tahun 1890 tercatat sebagai tahun ketika masjid itu dipindahkan secara gotong-royong dengan diusung beramai-ramai oleh masyarakat sekitar. Tanah yang dipilih sebagai lokasi baru adalah tanah milik Sayid Ismail Salam bin Alwi Alatas yang lain--lokasi masjid sekarang. Kemudian hingga tahun 1923, rupanya pihak Koningen Emma Stichting masih merasa gerah dengan keberadaan masjid yang beberapa ratus meter saja jaraknya dari tempat mereka. Mereka menuntut agar masjid itu dipindahkan ke lokasi yang lebih jauh.
Namun, kontan saja keinginan itu dibalas dengan reaksi keras dari masyarakat Islam Betawi di sekitar Cikini. Disebutkan aksi penentangan itu disokong pula oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti HOS Cokroaminoto, H. Agus Salim, KH. Mas Mansyur dan Abi Koesno Cokro Soeyono. Bukannya dipindahkan, atas saran tokoh-tokoh tadi, tahun 1924 masjid justru dipugar dengan arsitektur yang lebih megah. Menurut penuturan, pembangunan itu dimaksudkan agar masjid setara dengan gereja-gereja yang ada ketika itu. Hilangnya kesan kumuh dan miskin itulah yang diinginkan H. Agus Salim cs. Tahun 1935 pembangunan seluruh masjid selesai, dan diberi nama sebagai Masjid Al Makmur. Dan sejak itu masjid dengan atap bersusun dua itu dijadikan sebagai pusat segala aktivitas umat Islam masa itu. Tapi tahun 1964, keberadaan masjid ini kembali mendapat gugatan. Kali itu, ketenangan beribadah kaum muslimin di sekitar Masjid Al Makmur diganggu oleh Kementerian Agraria RI yang menerbitkan SK hak milik atas nama Dewan Gereja Indonesia (DGI).
Dalam sertifikat itu disebutkan bahwa tanah di sekitar masjid--termasuk tanah yang di atasnya dibangun masjid itu, diklaim milik DGI. Padahal di tahun yang sama, Masjid Al Makmur telah berbadan hukum berbentuk Yayasan Masjid Al Makmur bernomor akta notaris 13, tertanggal 8 Juli 1964 dengan notaris Adasiah Harahap. Tahun 1991 atas andil Gubernur KDKI Wiyogo Atmodarminto--setelah sebelumnya tahun '89-'90 diupayakan jalan damai dibantu Walikota Jak-Pus Abdul Munir, sertifikat tanah 'aspal' milik DGI tidak diakui. Dengan demikian masjid dinyatakan sah milik Yayasan Masjid Al Makmur. Dua tahun kemudian, 1993, Masjid Al Makmur ditetapkan sebagai Bangunan Bersejarah dan dilindungi oleh UU Monumen Sejarah.
(pesantren.net/M-1)
Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal
Komentar
Posting Komentar