Langsung ke konten utama

Masjid Jami Al-Islam Petamburan (1770)

Daerah Tanah Abang zaman baheula dan sekarang tak jauh beda. Dilihat dari komposisi penduduk mau pun aktivitas perekonomiannya sama sekali tak berubah jauh. Sejak awal abad ke-17 hingga kini, di Tanah Abang berkumpul masyarakat dari berbagai macam suku dan bangsa. Ada Arab, Cina, India, Jawa, dan pendatang dari Borneo, serta Sumatra. 

Di tempat inilah kemudian terjadi kawin campur dan akulturasi serta interaksi sosial dengan segala plus-minusnya. Sedang dari segi aktivitas ekonomi, juga tak ada perubahan. Cap sebagai pusat perdagangan tetap melekat sampai sekarang. Alkisah pada akhir abad ke-18 masehi, datanglah seorang bangsawan ulama dari Minangkabau, Sumbar. Ia bergelar Sultan Raja Burhanuddin Syekh Al-Masri. Kedatangannya ke daerah Tanah Abang bermaksud untuk sekadar melongok pusat perdagangan di Batavia yang kesohor hingga ke Minang itu. Sultan Raja Burhanuddin ingin menyaksikan sendiri, mengapa pasar itu mampu menyedot minat pedagang-pedagang dari kampungnya.

Sultan Raja Burhanuddin kemudian menyimpulkan bahwa para pedagang dari kampungnya saat itu jauh dari agama. Mereka, karena kesibukan dagangnya, sering kali lupa menunaikan sholat dan tak pernah tersentuh dakwah. Letak masjid yang cukup jauh dari pasar membuat mereka enggan datang ke masjid. Sejak itu Sultan Raja Burhanuddin langsung berinisiatif mendirikan masjid yang cukup mudah dijangkau dari lokasi pasar dan pemukiman masyarakat pedagang di Tanah Abang. Dengan dibantu oleh berbagai pihak, berdirilah kemudian di tahun 1770 Masjid Jami Al-Islam--yang karena perkembangan wilayah kini berada di Jalan KS Tubun 61, Petamburan, Jakarta Pusat. Dalam perjalanan tahun-tahun berikutnya, Masjid Jami Al-Islam kemudian dipimpin oleh seorang ulama asal Hadramaut, Yaman Selatan berjuluk Habib Usman. Dalam melancarkan dakwahnya Habib Usman banyak dibantu dua orang kepercayaannya, yakni Haji Saidi dan Haji Muala yang asli Betawi Petamburan. Hingga tahun '20-an, dari tiga orang ulama Petamburan itu yang tersisa kemudian hanya tinggal Haji Muala. Sejak itu aktivitas dakwah di wilayah Petamburan dilakukan sendirian oleh Haji Muala yang juga menjabat sebagai Kepala Takmir Masjid Jami Al-Islam. Tahun 1925 mendahului ikrar penggunaan bahasa Indonesia pada "Sumpah Pemuda" 1928, Haji Muala sudah merintis pemakaian bahasa Melayu dalam khotbah Jum'at di Masjid Jami Al-Islam.

Terobosan baru Haji Muala itu sempat dikecam sesama ulama tradisional di Petamburan. Maklum, di masa itu di seluruh Batavia (Betawi) semua masjid menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar khotbah Jum'at. Meski dicap sebagai masjid yang melakukan bid'ah, Haji Muala bergeming. Yang terpikir di benaknya ketika itu hanyalah bagaimana caranya agar dakwah Islam bisa cepat diterima oleh alam pikiran masyarakat Melayu. Polemik panjang antara Haji Muala dengan para ulama itu terdengar sampai ke kuping Pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya Haji Muala digiring ke Kantor Polisi Belanda untuk dimintai keterangan. Walaupun dilarang Haji Muala tetapi saja dengan keputusannya. Anehnya, banyak masjid di sekitar Tanah Abang hingga seluruh wilayah Betawi beringsut-ingsut mengikuti jejak Masjid Jami Al-Islam menerapkan bahasa Melayu. Sikap nasionalis yang ditunjukkan Haji Muala tidak berhenti sampai di situ. Masjid yang memiliki model jendela lengkung di berandanya ini dijadikan sebagai basis perjuangan--biasa disebut sebagai tempat Kaum Republiken, melawan Belanda. Di masjid inilah para jampang di Petamburan dan Tanah Abang sering berkumpul membicarakan pergerakan. (pesantren.net/M-1)

 

Sumber: Tidak diketahui, Tanpa tanggal 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...