Langsung ke konten utama

Mengungkap Nasionalisme "Kolonel Pembangkang"

SALAH satu sisi menarik dari kajian sejarah adalah aspek dinamis dari interpretasi sejarawan. Seorang sejarawan memiliki kebebasan untuk memperlakukan fakta berdasarkan sudut pandangnya sendiri.

Di atas itu semua, kajian sejarah kontemporer umumnya ditulis dengan suatu misi yang sarat beban.

Pertama, keinginan untuk menempatkan sejarah sebagai ilmu yang bebas dari kepentingan dan konflik. Itu mengacu pada objektivitas.

Kedua, meluruskan sejarah dengan sumber dan interpretasi si pelaku. Ini sifatnya inward looking.

Demikian halnya dengan buku ini. Sebagai sebuah biografi, ia ingin menghadirkan sejarah menurut pelakunya sendiri.

Dalam penulisan sejarah Orde Baru, peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diberi stigma "pemberontakan"; sesuatu yang setidaknya hingga akhir tahun 1970-an menimbulkan perasaan traumatik dalam diri masyarakat Sumatera Barat. Perasaan rendah diri sebagai komunitas yang telah dikalahkan dan dengan sendirinya selalu dipojokkan. Mentor dari peristiwa itu, Ahmad Husein, dalam pelajaran di sekolah-sekolah dicap sebagai "pemberontak".

***

BUKU Perlawanan Seorang Pejuang; Biografi Kolonel Ahmad Husein yang sarat dengan misi ini terdiri dari dua belas bagian. Pada prolog dipaparkan bahwa biografi ini disusun untuk menjawab pertanyaan siapakah Ahmad Husein; pahlawan ataukah pemberontak? Dan segera ditutup dengan suatu harapan buku ini dapat menjadi salah satu jendela untuk memahami sejarah Sumatera Barat pada umumnya.

Bagian pertama, kedua, dan ketiga dari buku ini membicarakan sang tokoh dari riwayat masa kecil, remaja, hingga karier awalnya dalam militer. Ahmad Husein dilahirkan di Padang pada 1 April 1935 dalam lingkungan keluarga usahawan Muhammadiyah. Pada tahun 1943 di usia yang masih sangat muda (18 tahun), Husein bergabung dengan Gyugun.

Berkat kecerdasan dan keterampilannya, ia menjadi perwira termuda Gyugun di Sumatera Barat. Pada saat revolusi, Husein aktif merekrut anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menjadikan rumah orang tuanya sebagai markas sementara BKR.

Selanjutnya, perannya dalam perjuangan makin menonjol ketika ia menjadi Komandan Kompi Harimau Kuranji dan kemudian Batalyon I Padang Area. Pasukan Harimau Kuranji begitu populer karena keberaniannya di medan pertempuran menghadapi Inggris dan Belanda.

Bagian keempat dan kelima mengungkap meroketnya Divisi IX/Banteng sebagai kesatuan terbaik di Sumatera pada masa revolusi fisik. Pada pertengahan tahun 1947 terjadi reorganisasi tentara, Husein dipromosikan menjadi Komandan Resimen III/Harimau Kuranji yang membawahi tiga ribu pasukan.

Kekecewaan Ahmad Husein dan kawan-kawan bermula ketika Tentara Republik Indonesia (TRI) berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Konsekuensinya, terjadi efisiensi berupaya penyusutan jumlah anggota besar-besaran.

Husein sendiri merelakan dirinya turun pangkat dari Letkol ke Mayor. Pada masa agresi militer Belanda II, Husein bersama anak buahnya berhasil mengamankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari serangan Belanda. Kontak bersenjata menghadapi Belanda beberapa kali terjadi. Dalam pertempuran di Lubuak Selasih 11 Januari 1949, pasukan Husein memperoleh kemenangan.

Di sela-sela perjuangan itulah pada tahun 1951 Husein memasuki fase kedua kehidupannya dengan menyunting Desmaniar, putri Jaksa Idroes.

Bagian keenam dan seterusnya lebih banyak mengungkap Dewan Banteng dan keterlibatan Ahmad Husein dalam PRRI. Prakondisi Peristiwa PRRI yang terjadi sesungguhnya dapat dilacak ketika terjadinya polarisasi Jawa-luar Jawa, dalam realitas politik nasional waktu itu.

Hasil Pemilu 1955 menunjukkan bahwa hanya empat partai saja yang memiliki suara yang cukup signifikan, yakni PNI 22 persen, Masyumi 21 persen, NU 18 persen, dan PKI 16 persen.

Tiga partai ruling minorities, PNI, NU, dan PKI adalah partai yang memiliki basis massa yang kuat di Jawa. Sementara, Masyumi untuk sebagian besar memiliki banyak pendukung di luar Jawa.

Konfigurasi dan polarisasi politik Indonesia hasil Pemilu 1955 ini kelak dapat memberikan penjelasan ketika terjadi pergolakan daerah, di mana terjadi konflik politik--dan juga militer--antara pemerintah pusat di Jawa dengan daerah-daerah di Sumatera dan Sulawesi (PRRI/Permesta) (hlm 147).

Dewan Banteng adalah jembatan yang mengantarkan Husein masuk ke jajaran elite daerah yang memiliki akses ke tingkat nasional. Reuni eks Divisi Banteng beralih pada persoalan yang lebih luas. Peserta menuntut dilaksanakannya segera perbaikan-perbaikan yang progresif dan radikal di segala lapangan, terutama di dalam pimpinan negara dengan jaminan-jaminannya demi keutuhan Negara Republik Indonesia.

Ahmad Husein mengambil alih kekuasaan pemerintahan di Sumatera Tengah pada tanggal 20 Desember 1956. Tindakan Husein segera memancing daerah lain; Sumatera Utara, Sumatera Selata, Sulawesi, dan Kalimantan, untuk melakukan langkah serupa.

Tanggal 10 Februari 1958, Ahmad Husein atas nama Dewan Perjuangan mengeluarkan "Piagam Perjuangan" yang ditujukan kepada pemerintah pusat. Di dalamnya, ada limit waktu yang harus diperhatikan oleh pusat.

Setelah limit waktu yang diberikan terlewati, lima hari kemudian melalui siaran RRI Husein mengumumkan PRRI. Eksperimentasi Dewan Banteng dalam menjalankan roda pemerintahan secara darurat dalam beberapa hal meningkatkan perekonomian masyarakat.

Perlawanan Husein terhadap pemerintah pusat bukanlah untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan membentuk negara sendiri. Sebagaimana dilaporkan Kedutaan Besar Amerika di Jakarta kepada Departemen Luar Negeri di Washington, Husein mengatakan kepada Hatta, "Kami di Sumatera Tengah, akan berjuang terus untuk mencari Indonesia yang adil dan makmur. Kami akan membuktikan kepada mereka yang tidak percaya bahwa gerakan ini justru mendukung Negara Kesatuan Indonesia (hlm 209).

***

SESUNGGUHNYA yang terpenting dari biografi Ahmad Husein ini adalah bahwa nasionalisme bukanlah merupakan sikap membabi buta tanpa reserve. Nasionalisme dapat ditunjukkan melalui sikap kritis terhadap ketidakbenaran dan kesewenang-wenangan. Dalam bahasa yang lebih keras, pembangkangan Ahmad Husein terhadap pemerintah pusat merupakan kewajiban patriot manakala amanah telah diselewengkan pimpinan negara.

Pertanyaan yang sampai sekrang masih menggelayuti pikiran orang adalah: kalau begitu siapakah Ahmad Husein? Pahlawankah atau pemberontak?

Pertanyaan itu sungguh menarik karena berbicara tentang aspek normatif. Apalagi di tengah kuatnya daerah--sebagai konsekuensi otonomi daerah--menampilkan tokoh-tokoh lokalnya.

Dalam buku ini jawaban atas pertanyaan itu tidak dibaca secara eksplisit. Penulis menawarkan bacaan yang berdasarkan fakta. Soal interpretasi diserahkan pada diri masing-masing. Mendudukkan peran seseorang dalam bingkai sosial politik tertentu memang terkadang menyesatkan.

Buku ini menarik untuk dibaca karena ditulis dengan bahasa populer tanpa meninggalkan bobot keilmiahannya. Apalagi penggalian sumber informasi begitu ekstensif, dan penulisannya pun tidak tergesa-gesa: perlu waktu dua tahun, 1999-2001.

Sebagai sebuah biografi, buku ini menceritakan konflik-konflik psikologis yang dialami Husein. Di sini dapat kita lihat bahwa Husein bersetia dengan kawan-kawannya. Suatu ketika, setelah gerakan PRRI dilumpuhkan oleh pusat, dia dipanggil Presiden Soekarno yang akan membebaskan dan memberikannya jabatan. Husein menjawab, kalau dia dibebaskan seluruh teman-temannya harus juga dibebaskan (hlm 385).

Nilai yang dapat diambil dari sosok Husein adalah konsistensi dalam menegakkan nilai-nilai. Hal ini mengingatkan kita pada sosok Mohammad Natsir. Pada suatu ketika Buya Natsir ditanya orang tentang kegagalannya dalam politik riil, ia mengatakan, "Kita boleh kalah dalam pertempuran-pertempuran, tetapi tidak boleh kalah dalam peperangan".

Term "pertempuran" yang digunakan Mohammad Natsir itu bukanlah kontak senjata, melainkan suatu tahap perjuangan. Dalam satu dua tahap boleh kalah, tetapi pada akhirnya perjuangan mesti berhasil juga. Berjuang itu butuh seni dan kesabaran. Apalagi di alam yang kian demokratis ini.

(Iim Imadudin, staf Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang)



Sumber: Kompas, 22 September 2001




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Makam Imam Al-Bukhori

Menarik membaca tulisan Arbain Rambey berjudul "Uzbekistan di Pusaran Sejarah" ( Kompas , 20 Oktober 2019).  Berdasarkan kisah dari pemandu wisata di Tashkent, diceritakan peran Presiden Soekarno memperkenalkan Makam Imam Al-Bukhori di Samarkand yang nyaris terlupakan dalam sejarah. Kisah Soekarno dimulai ketika dalam kunjungan ke Moskwa minta diantar ke makam Imam Al-Bukhori. Menurut buku The Uncensored of Bung Karno, Misteri Kehidupan Sang Presiden  tulisan Abraham Panumbangan (2016, halaman 190-193), "Pada tahun 1961 pemimpin tertinggi partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khruschev mengundang Bung Karno ke Moskwa. Sebenarnya Kruschev ingin memperlihatkan pada Amerika bahwa Indonesia adalah negara di belakang Uni Soviet".  Karena sudah lama ingin berziarah ke makam Imam Al-Bukhori, Bung Karno mensyaratkan itu sebelum berangkat ke Soviet. Pontang-pantinglah pasukan elite Kruschev mencari makam Imam Al-Bukhori yang lah...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...