Oleh : Djamal Marsudi
Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional.
Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan.
Tapi masyarakat sudah setengah lupa, apalagi generasi sekarang bahwa pada tanggal 23 Januari 1950, Kapten Westerling pernah mengganas pula di Kota Bandung sehingga puluhan anggota TNI dan masyarakat telah menjadi korban Westerling yang menamakan dirinya pimpinan tertinggi dari apa yang mereka namakan "Angkatan Perang Ratu Adil" (APRA) dan RAPI, yang anggota-anggotanya bekas serdadu KNIL dan KL yang tidak merasa senang kepada dirinya tidak dimasukkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Peristiwa ini sudah 30 tahun yang lalu, maka jelas generasi sekarang sudah banyak yang tidak mengetahuinya, karena peristiwa 23 JANUARI tidak/jarang diperingati seperti halnya 11 DESEMBER. Maka alangkah baiknya dua peristiwa ini agar sekaligus "DIPERINGATI BERSAMA" antara Bandung dan Sulawesi, karena Bandung juga mengalami pengorbanan yang tidak kecil, malahan Letnal Kolonel Lembong yang asalnya dari Sulawesi Utara juga menjadi korban di Bandung akibat keganasan Westerling.
Untuk mengetahui secara lengkap timbulnya peristiwa Westerling yang mengganas di Kota Bandung, maka secara kronologis dan mendetail beserta fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, karena sesudah meletusnya peristiwa Westerling, penulis sebagai petugas Departemen Penerangan Yogyakarta, yang secara khusus dikirim ke Bandung atas perintah Menteri Penerangan RI Yogyakarta kala itu. Kisahnya adalah sebagai berikut:
Pada tanggal 23 Januari 1950 sekitar jam 09.00 pagi gerombolan Westerling yang memakai simbol APRA di bawah pimpinan Kapten Westerling dari Kota Cimahi yang letaknya di sebelah barat Bandung, melakukan gerakan menuju Kota Bandung. Mereka memakai truk, jeep, sepeda motor, dan ada pula yang berjalan kaki dengan pakaian seragam KNIL/KL serta senjata lengkap yang jumlahnya kurang lebih 500 orang.
Di sepanjang jalan antara Cimahi-Bandung mereka mengadakan steling di gang-gang sambil mengadakan penembakan ke atas secara membabi buta, adakalanya mereka mengadakan penembakan ke rumah-rumah yang sekitarnya dicurigai ada anggota-anggota TNI, demikian pula terhadap pos-pos polisi sepanjang jalan raya, seperti di Cimindi, Cibeureum, dan beberapa tempat lainnya sambil melucuti anggota-anggota polisi RI.
Setelah memasuki Kota Bandung, mereka membikin huru hara sehingga menimbulkan panik dan ketakutan masyarakat, karena setiap ada anggota TNI yang berpapasan terus ditembak mati. Akhirnya toko-toko dan rumah-rumah ditutup dan jalanan menjadi sunyi.
Di Jalan Banceuy dalam Kota Bandung, seorang anggota TNI yang sedang mengendarai jeep tanpa senjata, dihentikan lalu disuruh turun dan angkat tangan. Tanpa ampun lagi lalu ditembak di tempat. Jenazahnya ditinggalkan begitu saja lalu mereka jalan terus ....
Di Jalan Braga dekat Apotek Ratkamp, sebuah mobil sedan ditahan, tiga orang penumpangnya disuruh turun, seorang penumpang yang berpangkat Letnan I/TNI tanda pangkatnya diambil, orangnya disuruh berdiri di pinggir jalan lalu tanpa ampun terus ditembak mati.
Di depan Hotel Preanger sebuah truk berisi 3 orang anggota TNI ditembaki, truk terpelanting karena melanggar tiang listrik hingga tumbang dan truknya terguling. Semua penumpangnya terhampar dengan truknya yang bergelimpangan.
Di Jalan Merdeka terjadi tembak-menembak selama 15 menit, karena tidak seimbang, maka 10 anggota TNI tewas dalam pertempuran, yang lainnya dapat mengundurkan diri dengan selamat.
Di prapatan Jalan Suniaraja - Braga, 7 anggota TNI, ada yang tidak bersenjata yang sedang mengendarai truk, tanpa ampun lagi truknya diberondong dari samping dan belakang, semuanya penumpang tewas dan berhamburan di tengah dan pinggir jalan.
Pertempuran yang paling hebat adalah di Kantor Staf Kwartir Divisi Siliwangi yang waktu itu masih bernama Jalan Oude Hospital Weg. Satu regu pengawal TNI yang terdiri dari 15 orang dipimpin Letkol Sutoko dengan tiba-tiba diserbu dan dikerubut oleh ratusan gerombolan APRA. Pertempuran seru berlangsung kurang lebih satu jam lamanya, perlawanan dilakukan sampai kehabisan peluru, dari 15 orang anggota TNI/AD hanya 3 orang yang selamat. Setelah gerombolan APRA dapat menduduki Staf Kwartir mereka membongkar brankas dan uang sejumlah F 150.000,- dirampok.
Selain para anggota TNI yang telah menjadi korban, ada beberapa puluh di kalangan masyarakat yang menjadi korban karena peluru nyasar dan memang sengaja ditembak, sebab pada waktu anggota gerombolan menanyakan kepada rakyat: Pilih Yogya atau pilih Negara Pasundan? Maka mereka ada yang menjawab pilih Republik Yogya, dan ditembaklah orang yang memilih Yogya.
Sehubungan dengan adanya tindakan gerombolan APRA melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang yang memilih Republik Yogya, maka jelaslah bahwa tindakan APRA menyerbu Kota Bandung mempunyai latar belakang politik, agar negara boneka Pasundan terus berdiri dan memakai APRA sebagai "TENTARA RESMINYA". Setengah lagi orang berpendapat bahwa demonstrasi APRA mengadakan penjagalan terhadap anggota TNI mempunyai maksud agar mereka diakui dan dimasukkan ke dalam integrasi APRIS yang pernah dituntut oleh mereka, tapi setelah masuk APRIS mereka hanya mau tinggal di daerah Bandung untuk melindungi "Negara Pasundan". Jelas tuntutan mereka ditolak oleh Pemerintah RI.
Bagi kalangan umum di Kota Bandung pada waktu itu sangat sulit untuk membedakan mana tentara resmi dan mana gerombolan Westerling, karena pakaian seragamnya hampir bersamaan. Adapun yang menarik perhatian umum pada waktu itu ialah kendaraan-kendaraan bermotor dari KNIL dan KL diberi tanda "SEGI TIGA KUNING" yang sebelumnya tidak pernah ada. Jelaslah bahwa simbol tersebut adalah simbolnya gerombolan APRA.
Pada waktu kurang lebih 30 truk penuh berisi serdadu-serdadu berpakaian KNIL dan KL memasuki Kota Bandung, masyarakat menganggap soal yang biasa. Tapi setelah mereka memasuki Jalan Braga lalu mengadakan tembakan secara membabi buta, barulah rakyat sadar bahwa yang masuk kota adalah gerombolan, tapi gerombolan apa mereka belum jelas. Tapi setelah dilihat di baju lehernya bertuliskan APRA, barulah jelas bahwa gerombolan itu adalah APRA.
Tentang tewasnya Letkol Lembong dengan ajudannya, kisahnya adalah sebagai berikut: Waktu terdengar rentetan-rentetan tembakan dari gerombolan Westerling, mereka berdua masih di rumah. Lalu mereka berdua menuju ke Staf Kwartir dengan mobil dinasnya, tapi mereka tidak menyangka sama sekali bahwa di Staf Kwartir sudah diduduki oleh gerombolan. Pada waktu mobil sampai di halaman Staf Kwartir terus diberondong oleh senjata otomatis pihak gerombolan, akhirnya Lembong dan ajudannya tewas di dekat mobil, muka dan badannya hancur.
Menurut catatan penulis para anggota TNI yang tewas pada waktu itu di antaranya ialah:
1. Letkol Lembong A. G., 2. Mayor Ir. Djokosoetikno, 3. Mayor Sacharin, 4. Kapten Dudung, 5. Letnan I Dadi Surjatman, 6. Letnan I Seno Sain, 7. Letnan I R.M. Siegfried Susono, 8. Letnan I Leo Kailola (Ajudan Letkol Lembong), 9. Letnan II Affandi, 10. Letnan II R.A. Effendi, 11. Letnan II Suroso, .... 14. Letnan II Sanjoto Mangundiwirjo, 15. Letnan II R. Sudjono, 16. Letnan Muda Surhara, 17. Sersan Mayor Juana, 18. Sersan Mayor Surnapi, 19. Sersan Mayor Burhanuddin, 20. Sersan Endi, 21. Sersan Sutardjo, 22. Sersan Didi Kartapradja, 23. Sersan Harun, 24. Sersan Rachmat, 25. Kopral Karno, 26. Prajurit I Sadiat, 27. Prajurit I Mahinsatja, 28. Prajurit I Achiria, 29. Prajurit I Tatang Kandi, 30. Prajurit I Tatang Handi, 31. Prajurit I Sadikin, 32. Prajurit I Sukria, 33. Prajurit II Supardi, 34. Prajurit II Achmad, 35. Prajurit II Nunung Sutisna, 36. Prajurit II Hadna, 37. Prajurit II Djumario, 38. Prajurit II Lili, 39. Prajurit II Suleman, 40. Prajurit II Apandi, 41. Prajurit II Nana, 42. Prajurit II Tjitojo, 43. Prajurit II Nono, 44. Prajurit II Suardi, 45. Prajurit II Wonda, 46. Prajurit II Rukman, 47. Prajurit II Sunarso, 48. Prajurit II Didi, 49. Prajurit II Ako, 50. Prajurit II Hapid, 51. Prajurit II Endang Ajo, 52. Prajurit II A. Gani, 53. Prajurit II A. Madjid, 54. Prajurit II Sudjono, 55. Prajurit II Supardi, 56. Prajurit II Darmo, 57. Prajurit II Sarta, 58. Prajurit II Suhada, 59. Prajurit II Moh. Saleh, 60. Prajurit II Sukardi, 61. Prajurit II Rukman Effendi.
Selain prajurit-prajurit tersebut di atas, masih ada 18 prajurit yang pada waktu itu belum diketahui nama-namanya karena mereka tidak mempunyai atau tidak membawa TANDA ANGGOTA/KARTU PENGENAL, sebab pada waktu diperiksa di kantong bajunya tidak ada. Jadi jumlah yang gugur di pagi hari tanggal 23 Januari 1950 para Anggota TNI/AD berjumlah 61 orang ditambah 18 yang namanya belum diketahui: Jumlah semua 79 orang. Jelaslah bahwa jumlah korban di kalangan TNI sungguh-sungguh besar.
Kalau di Sulawesi Selatan pihak yang berwajib sudah membuat tugu peringatan kekejaman Westerling, maka alangkah baiknya kalau pihak yang berwajib di Bandung juga membuat peringatan yang serupa. Sehingga tidak membuat kekecewaan bagi para keluarga yang ditinggalkan.
Sebagai bahan pelengkap, maka di bawah ini penulis akan membuat KOMUNIKE yang dikeluarkan oleh KEMENTERIAN PERTAHANAN yang sekarang namanya Departemen Pertahanan dan Keamanan, yang pada waktu itu dikeluarkan tanggal 24 Januari 1950, jadi satu hari setelah timbulnya peristiwa Westerling di Bandung. Adapun isi Komunike tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sebelum penyerahan kedaulatan, oleh pihak Republik Indonesia telah berkali-kali diminta perhatian pihak Belanda, baik perhatian wakil tinggi Mahkota maupun perhatian anggota Kabinet Belanda yang mengunjungi Indonesia, terhadap suatu gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh orang-orang Belanda dan menurut keterangan-keterangan pada waktu itu disampaikan kepada pihak Belanda mempunyai pengaruh juga di kalangan Tentara Belanda.
2. Pihak Belanda tidak pernah mengambil tindakan, malah umum mengetahui bahwa gerakan itu semakin hari semakin kuat. Semuanya terjadi di bawah pimpinan orang-orang Belanda yang pada waktu pemerintahan Belanda formeel masih bertanggung jawab di negeri ini.
3. Sesudah penyerahan kedaulatan pertanggungan jawab terhadap keamanan di Indonesia terletak di tangan Pemerintah RIS tapi pertanggungan jawab terhadap tindakan-tindakan anggota-anggota KL. KNIL dll masih tetap di tangan Pemerintah Belanda.
4. Berdasarkan hal-hal yang tersebut di atas telah berkali-kali diminta perhatian Wakil Kerajaan Belanda dan Pimpinan Tentara Belanda di Indonesia terhadap gerakan-gerakan ilegal yang dipimpin oleh orang-orang Belanda di negeri ini. Terutama diminta perhatian terhadap kemungkinan bahwa anggota-anggota Tentara Belanda akan turut serta dalam gerakan ini. Dalam keterangan pemerintah telah dinyatakan kepercayaan bahwa anggota-anggota Tentara Belanda akan bertindak sesuai dengan pendirian pemerintah Belanda dan pimpinan Tentara Belanda.
5. Penempatan pasukan-pasukan RIS di Bandung didasarkan atas kepercayaan ini. Kejadian-kejadian yang menimbulkan banyak korban membuktikan bahwa kepercayaan ini terlalu optimistis.
6. Kejadian-kejadian di Bandung dengan singkat adalah sebagai berikut:
a. Pada tanggal 22 - 1 - '50 oleh Divisi Siliwangi diperoleh laporan bahwa pasukan-pasukan bersenjata di bawah pimpinan orang-orang Belanda Bolle van Beelden dan Vermeulen, keduanya anggota polisi yang menjalankan desersi, bergerak di sekitar Cililin. Pasukan itu sebagian besar terdiri dari anggota-anggota polisi yang menjalankan desersi dan anggota-anggota tentara Belanda dari kesatuan regiment Stoottroepen.
b. Pada tanggal 22 - 1 - '50 hal-hal ini terutama bahwa anggota-anggota Tentara Belanda turut serta dalam gerakan ini, diberitahukan kepada Chef Staf Divisi Belanda di Bandung. Antara lain diminta agar pasukan Belanda di Konsigneer.
c. Pada pukul 21.30 diberitahukan kepada Divisi Belanda di Bandung bahwa 2 seksi Regiment Stoattroepen memblokir jalan antara Cimahi - Padalarang.
d. Tanggal 23 - 1 - '50 jam 04.30 diterima laporan dari Divisi Belanda di Bandung bahwa pasukan-pasukan bersenjata, sebagian terdiri dari anggota-anggota Tentara Belanda, bergerak ke Bandung, dan bahwa 2 peleton bergerak ke Jakarta dengan memakai truk.
e. Tanggal 23 - 1 - '50 jam 04.30 telah mulai pertempuran di Cimahi dan selanjutnya di jalan Cimahi - Bandung. Pasukan-pasukan liar terdiri atas kurang lebih 800 orang dengan persenjataan lengkap dan modern dan mempergunakan juga alat-alat pengangkutan.
Setidak-tidaknya 300 orang di antaranya adalah terang anggota Tentara Belanda.
f. Pada pukul 08.00 diadakan perundingan antara Chef Staf Divisi Siliwangi dan Komandan Divisi Belanda di Bandung. Perundingan ini dihadiri oleh peninjau-peninjau 3 orang militer dari UNCI. Dalam perundingan ini pihak Belanda menerangkan: TIDAK DAPAT MENGADAKAN TINDAKAN-TINDAKAN TERHADAP ANGGOTA-ANGGOTA BELANDA YANG SEDANG MENGADAKAN PEMBERONTAKAN (muiterij).
g. Pasukan-pasukan TNI di kota tidak pernah memperhitungkan kemungkinan bahwa jumlah yang besar dari Tentara Belanda akan bersama-sama bertindak dengan pasukan liar, apalagi setelah keadaan di Jawa Barat telah berkali-kali dibicarakan dengan Wakil Pemerintah Belanda dan Pimpinan Tentara Belanda. Oleh sebab itu pasukan-pasukan TNI terperanjat apalagi setelah jelas bahwa pimpinan tentara Belanda tidak bersedia untuk mengambil tindakan terhadap anggota-anggota Tentara Belanda.
h. Keadaan sangat kacau oleh karena gerombolan liar dan pasukan Belanda yang tidak turut serta dengan gerakan ini, bersimpang siur.
Gerombolan bersenjata tersebut yang di antaranya banyak anggota Tentara Belanda, dengan tidak terganggu melalui posten Belanda dan tank-tank Belanda.
i. Setelah terjadi pertempuran-pertempuran maka pada kira-kira jam 11.00 terdapat keadaan yang agak tetap (statis).
j. Kira-kira pada waktu itu di Jakarta, bertempat di kantor Perdana Menteri R.I.S. diadakan perundingan antara Perdana Menteri RIS dan Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia.
Berdasarkan hal yang diakui oleh pihak Belanda, anggota-anggota Tentara Belanda turut serta dalam gerakan ini, maka diputuskan untuk mengadakan tindakan bersama.
k. Pada pukul 12.00 General Engels menyampaikan usul dari gerombolan-gerombolan bersenjata kepada Letkol Erie Sudewo untuk mengadakan perundingan dengan TNI. Usul ini ditolak oleh Letkol Erie Sudewo.
l. Pukul 12.00 General van Langen tiba dari Jakarta. Tindakan-tindakan bersama yang telah disetujui antara Perdana Menteri RIS dan Komisaris Tinggi Belanda tidak dirundingkan.
m. Kira-kira jam 17.00 gerombolan-gerombolan bersenjata meninggalkan Kota Bandung ke arah utara.
n. Jam 18.00 keadaan biasa kembali di Bandung.
Selanjutnya dalam penutupnya, KOMUNIKE tersebut mengatakan, usaha untuk mengembalikan keadaan yang damai dan harmonis di Jawa Barat akan diteruskan dengan segala kemampuan yang ada pada alat-alat Negara.
Sumber: KORPRI, ca November 1980
Komentar
Posting Komentar