Langsung ke konten utama

Minggu Ini 40 Tahun Lalu: Teriakan "Merdeka" oleh Tentara Jepang Mengecoh Banyak Pemuda Pejuang

  • Lolos dari Maut Karena Tertindih Mayat Teman Sendiri
Markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) itu terletak di kaki sebuah bukit kecil, yang oleh warga Kota Semarang dikenal sebagai kompleks mugas, menghadap utara ke arah Jalan Pandanaran. Di situlah pemuda-pemuda kita bergabung. Mereka pada umumnya berasal dari bekas tentara PETA (Pembela Tanah Air) yang telah mendapat latihan kemiliteran dari pasukan Jepang sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Di antara mereka adalah Abidin, berpangkat Budanco (setingkat Sersan). Sebelum bergabung dengan rekan-rekannya di markas BKR Semarang, Budanco Abidin bermarkas di Desa Dayakan, Weleri, Kendal, yakni di markas Daini Daidan (Batalyon II) Peta. Setelah ia bersama rekan-rekannya semarkas dilucuti Jepang gara-gara pemberontakan Supriyadi di Blitar (Jatim) sekitar 1943, ia kembali ke rumahnya di Semarang, dengan memperoleh bekal pakaian, uang, dan lain-lain, kecuali senjata. Selama kurang lebih dua tahun, Abidin sebagai pemuda pejuang hanya berkeliaran tak menentu, seperti halnya rekan-rekan seperjuangannya yang lain.

Suasana tidak menentu itu kemudian berakhir, setelah gema Proklamasi Kemerdekaan berkumandang di seluruh tanah air, 17 Agustus 1945. Di Semarang, Proklamasi itu disambut oleh pemuda-pemuda pejuang kita, termasuk Abidin dengan semangat yang kian meletup-letup. Seperti dengan sendirinya, ia kemudian bergabung kembali dengan rekan-rekannya bekas anggota Peta, menyatu dalam wadah BKR, dan bermarkas di kompleks Mugas Semarang itu.

Berburu senjata.

Hari-hari pertama setelah bergabung di markas BKR, kegiatan pemuda-pemuda pejuang itu adalah berupaya memperkuat barisan pertahanan untuk mendukung Proklamasi Kemerdekaan yang waktu itu masih dibayang-bayangi pasukan penjajah Jepang. Hal pertama yang mereka pikirkan adalah bagaimana agar setiap anggota BKR bisa memperoleh senjata, paling sedikit sepucuk setiap orang. Berbarengan dengan itu mereka mendesak tokoh-tokoh Republik di Semarang segera ambil alih kekuasaan Jepang. Mereka juga berusaha agar perusahaan-perusahaan vital di Semarang yang waktu itu masih ditongkrongi Jepang, satu demi satu diambil alih orang-orang Republik.

Hal-hal tersebut, mereka lakukan dengan cara "baik-baikan". Secara berkelompok, pemuda-pemuda kita mendatangi kantor-kantor perusahaan dan meminta kepada orang-orang Jepang yang masih ada di sana meninggalkan tempat. Ada yang berhasil secara mulus, tetapi tak sedikit yang harus mengadakan perlawanan. Abidin sendiri, bersama kelompok kecilnya mengaku terpaksa membunuh seorang Jepang di sebuah kantor perusahaan di depan gereja Blenduk, di pusat kota, karena orang Jepang itu mencabut senjata waktu diajak "baik-baikan".

Sementara kelompok-kelompok yang lain beroperasi di kantor-kantor sipil, kelompok-kelompok satunya lagi mendatangi markas-markas pasukan Jepang, antara lain di Mrican dan Jatingaleh, untuk secara terang-terangan meminta senjata-senjata dari tangan mereka. Di dalam kelompok ini antara lain terdapat Cudanco (setingkat Letnan I) Djuwahir, seorang anggota BKR, juga bekas Peta, yang jago gulat dan sumo.

Hasil yang mereka peroleh lumayan juga. Kecuali senjata, mereka terpaksa menggiring sejumlah orang Jepang ke kamp-kamp tawanan. Mereka lakukan ini sekadar mengurangi kerepotan--bila sewaktu-waktu kelak BKR terpaksa melakukan gerakan militer untuk mengusir penjajah Jepang itu dari bumi Semarang.

Tetapi orang-orang Jepang itu ternyata tidak bodoh. Mereka memang memberikan senjata kepada anak-anak BKR, tetapi hampir sebagian besar terdiri dari senjata-senjata rusak, yang mereka rampas dari Belanda, seperti Karabijn 77, Tomygun, MK I. Sedangkan senjata-senjata yang masih baru, tetap mereka kuasai. Cudanco Djuwahir sendiri mengakui, di antara senjata-senjata yang diberikan Jepang kepada anak-anak BKR waktu itu, ada yang sering macet bila ditembakkan, dan ada lagi yang pelurunya sudah melenceng dalam jarak 10 meter.

Kejutan Minggu Malam.

Setelah operasi berburu senjata dirasa cukup, Abidin bersama teman-temannya mendapat tugas baru, yakni menjaga sekitar 500 tawanan. Mereka ini terdiri dari tentara-tentara Jepang yang telah dilucuti lalu ditempatkan di bekas Sekolah Pelayaran, yang sekarang dikenal sebagai daerah Jalan Erlangga, Semarang. Karena sebagian besar tawanan tersebut terdiri dari Veteran Perang Dunia ke-II, yang cukup berpengalaman dan terkenal jago-jago dalam pertempuran, maka untuk menjaga mereka ditempatkanlah kekuatan satu peleton sekali tugas, terdiri dari 4 regu dengan kekuatan 12 orang tiap regu, lengkap dengan senjata berat dan ringan.

Penjagaan semakin diperkuat juga disebabkan adanya suara-suara bernada protes yang sering mereka lontarkan kepada para petugas jaga. Para tawanan itu sering berteriak-teriak bahwa makanan yang diberikan tidak memenuhi syarat, dan mereka merasa diperlakukan tidak layak oleh pemuda-pemuda kita.

Minggu malam, 14 Oktober 1945, Abidin kebetulan mendapat giliran tugas jaga. Seperti biasa, sekitar jam 22.00, ketika akan dilakukan pergantian jaga, diadakan "tenko" (appel) malam. Yang paling penting dalam setiap appel pergantian jaga, harus dilakukan pengecekan terhadap jumlah tawanan. Untuk itu, mereka dibariskan satu-satu, dan para petugas jaga menghitung mereka dengan cermat. Dari satu peleton petugas, yang tidak ikut menghitung hanya 4 orang, karena mereka harus tetap berada di pos penjagaan dengan persenjataan berat.

Saat itulah tiba-tiba terdengar aba-aba "siang serang" dari salah seorang tawanan, yang kemudian secara serentak disambut oleh rekan-rekannya dengan gerakan menyerang terhadap para petugas jaga. Tawanan-tawanan Jepang itu seperti kesetanan menyerang secara membabi-buta dengan menggunakan senjata apa saja: potongan bambu, kayu, besi, dan benda-benda keras lain yang bisa diambil dari barak tempat mereka ditawan.

Serangan yang sangat mendadak dan seretak itu membuat anak-anak BKR kalang-kabut, sehingga sebagian besar senjata mereka berhasil dirampas oleh tawanan. Begitu senjata anak-anak BKR beralih ke tangan mereka, rentetan tembakan pun segera menyalak di Minggu malam itu. Abidin dan kawan-kawannya terpaksa lari terpontang-panting. Mereka harus segera kembali ke markas untuk meminta bantuan. Lepas tengah malam, ketika Abidin tiba di markasnya, ternyata ia hanya mendapatkan dirinya sendiri bersama 2 temannya yang masih hidup.

Kemarahan masyarakat kota Semarang semakin menjadi-jadi tatkala mengetahui persediaan air minum di Jalan Wungkal telah diracuni tentara Jepang. Peracunan air minum itu dilakukan tentara Jepang sekitar pukul 18.00 tanggal 14 Oktober 1945.

Pemeriksaan oleh seorang dokter menunjukkan bahwa air yang mengalir ke rumah penduduk dari sumber tersebut benar mengandung racun. Guna membuktikan kebenaran pernyataan dokter tadi, drs Kariadi (dokter muda) mencoba melakukan penelitian atas air itu di laboratoriumnya. Namun, di luar dugaan, mobil yang ditumpanginya dicegat dan drs Kariadi bersama supirnya ditembak mati oleh tentara Jepang.

Kejadian-kejadian ini nampaknya sebagai api penyulut timbulnya Pertempuran Lima Hari di kota Semarang.

Tertindih Mayat Teman-teman

Peristiwa pemberontakan tawanan Jepang yang telah merenggut puluhan nyawa pemuda-pemuda di Minggu malam 14 Oktober 1945 itu membuat suasana kota Semarang menjadi hingar-bingar, nyaris tak terkendali. Markas BKR terpaksa dikosongkan. Pemuda-pemuda kita yang tergabung di sana, pagi-pagi buta keesokan harinya, 15 Oktober 1945, mengambil langkah mundur, menyeberang ke utara Jalan Pandanaran, dan membuat pertahanan kira-kira 200 meter dari markas semula.

Namun, gerakan pasukan Jepang ternyata lebih gesit, dan kuat dalam persenjataan. Tawanan Jepang yang telah berhasil melepaskan diri itu segera melapor dan bergabung ke induk-induk pasukan mereka yang bermarkas di belahan selatan kota Semarang (Mrican dan Jatingaleh). Mereka itulah yang kemudian melakukan serangan ke markas-markas BKR, dengan membuat pos-pos darurat di atas bukit Mugas, persis di belakang markas BKR. Karena mengetahui anak-anak BKR telah meninggalkan markas, pasukan Jepang itu pun terus mengejar mereka ke arah utara. Tembak-menembak pun tak terhindarkan, sehingga korban dari kedua belah pihak berjatuhan.

Mungkin karena kantuk dan lelah sejak malamnya, dalam kemelut pagi buta di seberang Jalan Pandanaran itu, Abidin tertangkap bersama 12 orang temannya. Mereka diikat dengan kabel telepon bergandengan tangan satu dengan yang lain, dan digiring ke pos darurat pasukan Jepang di atas bukit Mugas. Abidin sendiri yang berada pada posisi tengah di antara teman-temannya, sudah pasrah. Ia sudah ikhlas mati, seandainya Tuhan memang menghendaki demikian.

Dalam kegelapan, rentengan Abidin Cs kemudian ditempatkan di sebuah gundukan tanah, dan ia mendengar dengan telinganya sendiri, bahwa Jepang-Jepang itu akan segera menghabisi dirinya bersama ke-12 teman seperjuangannya. Dari jarak tak lebih dari 10 meter, Abidin mendengar senjata-senjata mulai dikokang. Dan ketika rentetan tembakan terdengar beruntun, dengan kecepatan yang tak bisa dilukiskan, Abidin menjatuhkan diri diikuti secara refleks oleh teman-teman di kanan-kirinya. Ia memejamkan mata, dan sambil menahan napas, ia diam bagaikan mayat. Ia tak berani, dan tak mau membuat gerakan betapapun kecilnya. Hampir tiga jam ia berlaku demikian. Ia baru berani membuka mata, ketika merasakan tetesan-tetesan mengaliri punggungnya. Pelan tapi terasa makin membasah. Ia menengok ke atas. Hari sudah di rembang siang. Dan ia baru merasakan, betapa tubuhnya tertindih berat oleh teman-temannya yang telah menjadi mayat. Tetesan-tetesan itu ternyata darah teman-temannya sendiri. Suasana sunyi, dan tak terdengar adanya gerakan sesuatu pun. Pasukan Jepang, agaknya telah lama meninggalkan dirinya yang dikira telah menjadi mayat bersama teman-temannya. Pelan-pelan ia bangkit sambil melepaskan diri dari himpitan mayat-mayat temannya. Ia menarik napas. Gejolak dendam terasa membara, mengalahkan rasa duka akibat kehilangan teman-temannya. Abidin pun segera meninggalkan tempat itu seorang diri, mencari teman-temannya yang lain, yang berpencar di seluruh kota.

Merahnya darah Jepang

Dari bukit Mugas, Abidin berjalan sambil menyelinap ke sana kemari, menuju kampung Pindrikan Baru, di belahan utara kota. Di sana, ia tahu ada markas kecil yang selalu digunakan teman-temannya sebagai tempat persembunyian. Setelah beristirahat sejenak sambil mengisi perut, ia mengajak 6 orang temannya melakukan operasi ke arah selatan (daerah Bulu), sekaligus ingin mengintip keadaan teman-teman yang tertangkap dan diangkut ke markas Kenpetai di seberang stasiun trem Bulu (sekarang sudah tak ada).

Karena penjagaan di markas Kenpetai cukup kuat, Abidin dan teman-teman mengambil jalan memutar, lewat Lemah Gempal, kemudian menyusuri kali kecil menuju ke arah samping markas Kenpetai. Dari sini, dengan bertiarap di balik tanggul, mereka mengintip ke balik pagar markas Kenpetai. Kebetulan di sana sedang dilakukan "kesibukan rutin": algojo-algojo Kenpetai melakukan pembantaian keji. Dengan mata kepala sendiri, Abidin dan teman-temannya melihat teman-teman seperjuangannya yang tertangkap dibariskan satu-persatu, seperti antrean, sementara di depan mereka sebuah kursi rotan siap menunggu. Dengan mata tertutup dan tangan terikat, satu demi satu pemuda-pemuda kita didudukkan di kursi tersebut. Kepalanya didongakkan menyandar pagar, untuk kemudian pedang samurai memenggalnya. Kepala pemuda-pemuda kita itu langsung terjatuh ke kali kecil yang mengalir ke utara. Tubuh-tubuh pemuda yang tak berkepala itu pun segera didorong mengikuti kepalanya yang telah lebih dulu dibawa arus kali.

Karena banyaknya kepala dan tubuh pemuda yang dibuang ke kali tersebut, aliran kali itu menjadi mampet, tersumbat sampah mayat-mayat pejuang kita.

Melihat kebuasan pasukan Kenpetai itu, kelompok Abidin bertambah menggelegak perasaan dendamnya. Apalagi, ia juga menyaksikan, betapa Jepang-Jepang itu menggunakan darah para pemuda untuk membuat bundaran merah di kain-kain putih sebagai bendera negeri Sakura.

Dari Bulu, Abidin bersama 6 orang temannya menuju ke utara lagi, ke arah stasiun Poncol. Mereka bermaksud menghubungi teman-teman lain di sektor utara. Perjalanan ke sektor utara itu, ternyata telah membuat Abidin Cs bisa melampiaskan sedikit rasa dendam kesumat mereka. Persis di dekat Benteng Pendem, di belakang stasiun Poncol, mereka memergoki sebuah truk berisi 14 tentara Jepang. Mereka ini, ternyata baru saja melakukan pembersihan di Benteng Pendem, dan membunuh puluhan gelandangan yang ditampung di sana, yang oleh tentara Jepang dikira anggota BKR.

Dengan semangat menyala-nyala, Abidin Cs segera menyergap truk buatan tentara Jepang itu, dan melucutinya. Ke-14 tentara Sakura itu dibawa ke sebuah tempat pembuangan sampah, dan di sana dendam itu dilampiaskan sepuas-puasnya. Jepang-Jepang mereka bantai dengan memasukkan bambu runcing ke tubuh-tubuh mereka. Ujung bambu runcing itu dibalut dengan secarik kain putih, sehingga begitu dicabut, menjadi memerah darah. Kain yang sudah merah oleh darah Jepang itu kemudian disatukan dengan kain putih, dan jadilah bendera merah-putih, dengan merahnya darah tentara Jepang.

Ibarat Ikan Air

Dari markas BKR jejak-jejak berdarah kemudian digoreskan ke arah utara, membelok ke barat, kemudian ke utara lagi. Untuk mempertahankan Kemerdekaan yang telah diproklamasikan 17 Agustus 1945, agaknya tak bisa diartikan lain oleh pemuda-pemuda pejuang waktu itu, kecuali dengan berjuang secara fisik, dan sewaktu-waktu siap mengucurkan darah menyambung nyawa.

Pemuda-pemuda kita memang tidak perlu memikirkan hal-hal lain, sebab makan, minum, dan obat-obat itu telah dicukupi oleh rakyat penduduk kota Semarang dari segala lapisan. Semuanya itu telah disediakan dengan sukarela oleh penduduk di depan rumah masing-masing. Kecuali itu, para penduduk dengan kesadaran mereka sendiri telah membantu para pejuang kita dengan membuat barikade di kampung-kampung untuk mencegah masuknya mobil-mobil Jepang. Barikade itu mereka buat dari apa saja. Tidak sedikit penduduk mengorbankan perabotan rumah-tangga seperti tempat tidur, lemari, meja-kursi dan lain-lain untuk dijadikan barikade.

Hubungan sesuka-seduka antara pemuda-pemuda pejuang dengan warga kota Semarang dalam pertempuran lima hari itulah agaknya kemudian menjelma ibarat ikan dan air yang patut dilestarikan di waktu-waktu mendatang dalam hubungan antara ABRI dengan rakyat di seluruh negara ini.

Kelicikan Jepang

Suasana hirik-pikuknya pertempuran lima hari di Semarang yang selalu diwarnai dengan semangat untuk merdeka, agaknya telah dimanfaatkan secara licik oleh tentara Jepang yang hampir kewalahan menghadapi kegilaan pemuda-pemuda kita yang tak kenal menyerah dan selalu siap mati.

Setiap kali Jepang-Jepang itu bergerak ke kota, mereka selalu meneriakkan kata-kata "Merdeka" dan "Merdeka", dan hal itu senantiasa berhasil memancing pemuda-pemuda pejuang kita untuk keluar dari kubu-kubu persembunyian karena mengira mereka adalah teman-teman seperjuangan atau bala bantuan yang datang dari sektor lain. Akibatnya, seperti dituturkan oleh Letkol. (Pur) Djuwahir, salah seorang tokoh pelaku pertempuran 5 hari di Semarang banyak pemuda-pemuda kita mati konyol. Sodanco Joko Supardi, salah seorang pejuang yang gagah berani dalam pertempuran 5 hari di Semarang juga telah menjadi korban konyol itu.

Hampir semua pelaku pertempuran 5 hari mengenal betul pemuda Joko Supardi yang berperawakan pendek, kehitam-hitaman, karena ia mempunyai kebiasaan kegila-gilaan, yakni sering bertempur dengan menaiki sepeda motor. Pada hari-hari awal pertempuran ia memang cukup banyak menjatuhkan korban di pihak musuh. Tak sedikit tentara Jepang yang tersapu oleh berondongan stegun Joko Supardi yang ditembakkan dari atas sepeda motornya.

Tapi di hari ketiga, dalam suatu pertempuran di daerah Bojong, karena ia tidak mengindahkan saran rekan-rekannya, Joko Soepardi akhirnya terjungkal dari atas sepeda motor kesayangannya, dan gugur oleh sambaran peluru tentara Jepang.

Senjata di atas pohon

Di sektor timur, pertempuran tak kalah serunya. Giuhai Djumadi, sekarang Kapten (pur). yang bermarkas di sekitar Pandean lamper, menuturkan bahwa di malam 14 Oktober 1945, ia bersama teman-teman memang mendengar serentetan tembakan, tetapi tidak jelas dari mana datangnya. Bersama rekan-rekan sepasukan, yang tak semuanya dari Peta, terpaksa mereka bergerak mundur ke arah lebih ke timur, karena melihat gerakan-gerakan tentara Jepang dengan persenjataan yang cukup kuat. Setelah bertemu dengan pejuang-pejuang yang berasal dari Moro Demak, dan merasa kekuatan telah bertambah, mereka kemudian maju lagi untuk menghadapi tentara Jepang yang turun dari markasnya di Mrican dan Jatingaleh.

Pada mulanya mereka tidak tahu Jepang-Jepang itu bersembunyi entah di mana, karena dari atas pohon-pohon terdengar berondongan senjata. Ternyata, dengan akal liciknya, tentara-tentara Jepang itu telah menempatkan senjata-senjata mereka di atas pohon. Dan picu-picu senjata itu diikat dengan tali yang bisa ditarik dari bawah. Oleh karenanya, ketika pemuda-pemuda kita membalas tembakan ke arah atas pohon, tidak menemukan sasaran. 

Kekonyolan-kekonyolan semacam itu memang merupakan bagian dari dinamika dan romantika perjuangan pemuda-pemuda kita waktu itu. Kelicikan Jepang tersebut memang cukup mengejutkan.

Pertempuran 5 hari di Semarang, kecuali bersisi diplomasi, khususnya dari pihak atas, dari lapisan bawah memang bersisi lain, sisi yang penuh jejak-jejak berdarah.

(MMD/RR/SMB).-



Sumber: Suara Karya, 13 Oktober 1985



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan