Langsung ke konten utama

Maluku Tahun 1922 (2) Sultan Bacan Gadaikan Kebun Kelapa Buat Bayar Hutang pada Orang Cina

Oleh: H. ROSIHAN ANWAR

KETIKA mengunjungi daerah TTB (Ternate, Tidore, Bacan) bulan April 1948, saya tidak melihat ada pengusaha swasta Belanda di sana. Akan tetapi pada tahun 1922, tatkala Dr W Ph Coolhaas menjadi Kontelir Bacan, di tempat itu terdapat beberapa orang Eropah dari Batjan - maatschappij. Perusahaan ini didirikan tahun 1881 oleh Jonkheer Elout van Soeterwoude yang mendapat hak monopoli dari pemerintah Hindia Belanda menggarap semua logam galian, hutan, lahan liar, dan persemaian mutiara di daerah itu untuk masa 75 tahun. Pendiri Batjan - maatschappij mengira Bacan akan menjadi "Deli kedua", tetapi harapan itu tidak terwujud. Lahan di Bacan jelek adanya, emas tidak banyak tersimpan dalam tanahnya. Penduduk Bacan tidak mau bekerja sebagai kuli di onderneming, sehingga harus didatangkan tenaga kuli dari pulau Jawa yang memakan banyak ongkos.

Sultan Punya Empat Isteri

DIBANDINGKAN dengan Soa Sio, ibu kota Tidore, maka tempat tugasnya yang baru yaitu Labuha, ibukota Bacan, jauh lebih baik bagi Kontelir Coolhaas. Sebab di Labuha ada beberapa orang Eropah, rumah kediamannya lebih besar, dia punya motorboot untuk keperluan turne ke berbagai pulau dari gugusan Bacan. Kapal KPM dengan membawa pos singgah teratur satu kali sebulan di Labuha, satu datang dari jurusan Amboina, satu dari jurusan Ternate. Juga ada beberapa toko Cina di mana dapat dibeli barang yang dibutuhkan, sedangkan di Tidore dulu, Coolhaas harus mendatangkan semua barang keperluannya dari Ternate.

Tetapi hubungan Kontelir dengan Sultan tidak begitu menyenangkan ketimbang di Tidore. Sebab Sultan Bacan lebih kaku dalam pergaulan, dan penduduk Bacan tidaklah begitu terbuka. Memang, dia setia kepada pemerintah Hindia Belanda dan dia bersedia menandatangani "Perjanjian Pendek" atau "Korte Verklaring", jadi turut sama perintah dan petunjuk Gubernur Jenderal. Tetapi untuk urusan pemerintahan, Sultan Bacan hanya sekali sebulan bertemu dengan Kontelir Coolhaas, itu pun biasanya untuk membicarakan urusan keuangannya. Gaji Sultan Bacan 1000 Guldens sebulan. Tapi tanggungannya besar. Isterinya empat orang, dan dua dari yang empat itu termasuk kelompok enam wanita yang dapat dipertukarkannya. Artinya jika satu dari isterinya hamil dan melahirkan anak, maka isteri tersebut diceraikannya, lalu diambilnya isteri baru dari kelompok yang enam tadi. Pokoknya, isteri secara resmi tetap empat, tetapi suplai untuk yang baru selalu luas. Jumlah anaknya pun lusinan. Sultan Bacan seorang Muslim yang saleh, dan gelarnya selaku "amiruddin", artinya kepala agama, diperlakukannya secara serius, kata Kontelir Coolhaas.

Sultan Bacan tidak pandai mengatur keuangannya sehingga dia banyak berutang pada seorang Cina. Kebun kelapanya yang bagus digadaikannya kepada Cina itu, penghasilan kebun digunakan untuk membayar utang plus rente. Kontelir Coolhaas kebetulan mendengar hal ini, yang berhasil memperoleh pinjaman tannpa bunga dari kas landschap, lalu mengelola kebun untuk Sultan. Dalam waktu dua tahun lunaslah utang kepada kas landschap. Sultan begitu gembira telah dibebaskan dari Cina tadi dan sejak itu hubungannya jadi baik dengan Kontelir. 

Minat Membaca Sedikit

SEKADAR gambaran tentang masyarakat Maluku lebih dari 60 tahun yang silam tampil dari tulisan Coolhaas dalam buku "Besturen Overzee" (1977). Kontelir ini termasuk orang yang suka memajukan pendidikan rakyat. Ia menggalakkan pembangunan sekolah rakyat sebanyak mungkin yaitu "volksschool" di mana murid berusia 5 hingga 12 tahun dapat belajar selama tiga tahun dalam mata pelajaran membaca, menulis, berhitung, menyanyi dan meniup suling. Tetapi dalam praktek ternyata betapa di luar Labuha tidak tersedia bahan bacaan, sehingga setelah beberapa waktu murid-murid tadi lupa membaca dan menulis. Untuk menjaga jangan sampai hilang keterampilan membaca itu, maka Kontelir Coolhaas berusaha mendorong minat membaca dengan jalan berlangganan pada majalah bulanan dalam bahasa Melayu yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di Betawi. Isi majalah tersebut terlalu tinggi, kecuali bagi kepala kampung dan para guru sekolah rakyat. Di sekolah sambungan atau "vervolgschool" di Labuha ada bibliotik kecil dengan buku-buku keluaran Balai Pustaka di mana orang dapat meminjam buku dengan bayaran satu sen seminggu. Ternyata bibliotik itu tidak banyak dipergunakan orang.

Pada suatu malam, kata Kontelir Coolhaas, djogugu datang mengunjunginya di rumah, dan ini hanya terjadi apabila ada sesuatu yang tidak boleh diberitahukan kepada umum atau apabila djogugu diutus oleh Sultan. Djogugu bercerita di seberang sungai di mana terletak kampung Amassing tinggal seorang laki-laki yang hidup bersama dengan puterinya sendiri. Ini suatu perbuatan sumbang, berzinah. Bertentangan dengan alam, dan orang percaya alam itu akan membalas dendam dengan menimbulkan gempa bumi, banjir musim kering atau epidemi penyakit menular. Djogugu kuatir, sebelum pecah bencana alam, laki-laki tadi akan "disingkirkan" oleh penduduk kampung, tegasnya dibunuh. Kontelir lantas memanggil laki-laki yang berzinah dengan anaknya sendiri dan mengusulkan supaya pindah saja ke daerah lain. Kontelir bersedia memberi ongkos perjalanan. Laki-laki itu segera setuju dan keesokan harinya berlayar ke tempat lain. Penduduk Bacan menjadi lega. Dan Sultan spesial datang kepada Kontelir menyampaikan rasa terima kasihnya.

Bentrok dengan Roh Halus

SEBUAH cerita lain ialah tentang seorang pria tua yang dalam keadaan gugup datang ke kantor Kontelir. Pagi itu pria tersebut menyeberangi selat laut dan di pulau dia pergi mencari hasil hutan. Setelah berjalan setengah jam lamanya, tiba-tiba tiga orang laki-laki bersenjata parang mengejarnya. Pria tua itu melarikan diri, tetapi terus dikejar juga. Ia membalikkan dirinya dan dengan parangnya sendiri menewaskan seorang pengejarnya. Ia lari lagi, tetapi masih dikejar. Pendek kata, ketiga laki-laki yang tampangnya garang itu ditewaskannya. Bagi Kontelir Coolhaas tidak ada jalan lain. Ia harus mengecek sendiri di tempat kejadian apakah betul cerita pria tadi. Berangkatlah dia dengan dua orang agen polisi dan beberapa orang lain ke tempat yang ditunjukkan oleh pria tua. Dia mau mencari mayat ketiga lelaki yang telah ditewaskan, tetapi sia-sia belaka. Tidak ada mayat. Kontelir dan pria tua kembali ke Labuha. Apakah sebenarnya yang terjadi?

Kontelir pada suatu kali menceritakan kisah pria tua tadi kepada seorang kepala kampung bernama Meng bin Mohammed. Kontelir bilang pria tua tersebut berkhayal dia telah dikejar oleh tiga orang laki-laki garang. Kepala kampung marah mendengar ucapan Kontelir. Dia berkata: "Apa, tuan, berani tuan bilang dia itu berkhayal?" Meng menyangkal semua itu khayalan belaka. Meng sendiri dengan mata kepalanya pernah melihat "orang kerdil", semacam roh-roh halus yang ada di hutan. Pada hematnya pria tua tadi telah bentrokan dengan roh halus.

Kira-kira 60 km dari gugusan Bacan terletak gugusan pulau Obi yang juga masuk ke dalam resort kekuasaan Kontelir Bacan. Sudah dalam tahun 1682 Kompeni Belanda (VOC) membeli pulau Obi dari Sultan Bacan, sehingga gugusan itu merupakan daerah yang langsung diperintah oleh Hindia Belanda, bukan daerah kesultanan. Pulau Obi Besar hampir belum didiami orang pada tahun 1900. Sejak itu ada pemukiman di situ, karena lahannya subur dan pohon kelapa bertumbuh bagus. Beberapa orang Cina malahan datang ke pulau itu membeli kelapa. Sejak tahun 1914 diadakan pemerintahan militer di Halmahera, maka orang Alfur yang punya kesalahan mencoba mengelakkan diri dari pemerintahan tersebut dengan jalan menyingkir ke pulau Obi dan menetap di sana di tempat yang sejauh mungkin dari kepala distrik. Kebanyakan yang datang itu bukan orang Galela yang agak tenang sifatnya, melainkan orang Tobelo yang terkenal dulu sebagai perompak dan merajalela di perairan sebelah Timur Indonesia. Baru dengan munculnya kapal api dapatlah dihentikan perompakan orang Tobelo. Nah, ke Obi yang ada pemukim Tobelo itu, pada suatu kali Kontelir Coolhaas mengadakan perjalanan turne, melakukan inspeksi. ***

(BERSAMBUNG)



Sumber: Pikiran Rakyat, 30 April 1985



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...