Langsung ke konten utama

3,5 Abad Penjajahan Belanda Berakhir di Kalijati, Subang

TANGGAL 8 Maret sebenarnya tak ada yang mesti kita peringati secara Nasional atau regional Jawa Barat. Mungkin hanya bagi para sejarawan tanggal itu mempunyai arti khusus. Tak banyak yang ingat sebenarnya 43 tahun yang silam tepatnya tahun 1942, di pangkalan udara Kalijati Kabupaten Subang terjadi peristiwa bersejarah, yakni berakhirnya 350 tahun penjajahan Hindia Belanda.

Saat itu dilakukan penandatanganan naskah penyerahan Indonesia dari tangan penjajah Belanda kepada Jepang yang sering diibaratkan sebagai lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya. Gedung bersejarah yang dipergunakan sebagai tempat peristiwa ini berlangsung sampai kini masih tetap lestari. Saksi bisu ini yang dulunya rumah seorang perwira sekolah penerbangan Hindia Belanda, sekarang digunakan sebagai tempat pertemuan (resepsi) TNI AU Pangkalan Udara Kalijati dengan nama "Wisma Budaya".

Kalijati yang terletak 15 kilometer dari ibukota Kabupaten Subang, Jawa Barat, sejak lama dikenal sebagai basis sekolah pendidikan penerbangan Angkatan Udara. Banyak perwira tinggi TNI AU lepasan "Kalijati" seperti Rusmin Nuryadin (Menperhub), Ashadi Tjahyadi (bekas KASAU dan sekarang Dubes RI di Bonn Jerman Barat), mencapai karir puncak dalam jenjang karirnya. Dan di sini pulalah benteng terakhir kekuasaan Hindia Belanda.

Pertahanan diperkuat

Drs Nono Haryono, dosen Sejarah STIA Kutawaringin Subang mencapai gelar kesarjanaannya di IKIP Bandung dengan skripsi tentang peristiwa sejarah ini. Sejarawan Kab. Subang ini mengungkapkan hasil penelitiannya kepada Suara Karya baru-baru ini. Kisah awal peristiwa ini adalah tahun 1941, ketika pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk mengadakan milisi Bumi Putera bagi persiapan menghadapi perang dengan Jepang. Upaya ini tak mendapat tanggapan dari rakyat akibat rentetan pengalaman pahit yang diderita akibat perlakukan semena-mena penjajah. Ajakan untuk menjadi anggota milisi ini ditolak masyarakat. Sehingga pemerintah Hindia Belanda selain menyiapkan angkatan perangnya, juga secara tergesa-gesa membentuk Stadswacht (penjaga kota) dan Landswacht (pengawal negara). Stadswacht bertugas melaksanakan penjagaan dan perlindungan terhadap kota-kota besar. Sedangkan Landswacht dibentuk di perkebunan-perkebunan yang terdiri dari personil perkebunan dengan tugas pokoknya mempertahankan perkebunan sebagai sumber keuangan penjajah Belanda.

Untuk pertahanan Kabupaten Subang sebagai lokasi perkebunan terbesar P & T Lands diserahkan kepada 2 batalyon Landswacht dan Stadswacht. Sementara pertahanan udara Kalijati sendiri diperkuat dengan penambahan sejumlah pesawat pemburu dan pembom. Menjelang pendaratan bala tentara Jepang di Pulau Jawa, diperbantukan pula pasukan artileri serangan udara Inggris.

Daerah-daerah yang menurut perhitungan akan menjadi tempat pendaratan tentara Jepang, terutama kota-kota pelabuhan pesisir utara Pulau Jawa, lebih diperkuat. Seperti di Eretan Kulon (Indramayu) ditempatkan seregu prajurit Mangkunegara (13 orang) dengan 2 tentara Belanda.

Armada Jepang yang merencanakan mendarat di Pulau Jawa telah meninggalkan Camranh Bay (sebelah Timur Indo Cina) tanggal 18 Februari 1942, membawa personil Markas Besar Tentara XVI Divisi ke-2 dan Resimen Infanteri ke-230.

Laut Jawa yang dipertahankan armada gabungan Australia, Inggris, Belanda, dan Amerika di bawah pimpinan Laksamana Muda Karel Van Doorman bertugas, menghadang serangan Jepang. Armada sekutu ini yang tak dilengkapi satuan kapal terbang, berada di garis depan. Kontak senjata terjadi tanggal 27 Februari 1942. Sebagian besar kapal-kapal armada ini hancur, sehingga Karel Van Doorman ikut tewas tenggelam. Nama ini mengingatkan pada nama kapal Belanda yang menenggelamkan KRI Macan Tutulnya almarhum Yos Sudarso.

Jepang pun bergerak cepat tanpa halangan lagi. Pada tanggal 1 Maret 1942, komandan armada pendaratan di Pulau Jawa, Admiral Takahashi, mendaratkan armada pendaratan serentak di 4 lokasi yang dianggap titik lemah pertahanan Hindia Belanda yakni Merak, Teluk Banten, Eretan Kulon, dan Kranggan. Komandan tentara pendudukan Jepang Letnan Jenderal Hitoshi Imamura beserta stafnya mendirikan markas besar di Batavia setelah kota ini ditinggalkan tentara Belanda.

Kalijati jatuh

Yang paling menentukan dalam sejarah ialah pasukan Jepang yang dipimpin Kolonel Shoji yang mendarat di Eretan Kulon. Tugas utama pasukan infanteri ini menggempur pangkalan Angkatan Udara Kalijati dan menduduki kota Subang untuk mencegat tentara Belanda yang mengundurkan diri dari Batavia ke Bandung. Pasukan Shoji yang terdiri dari dua batalyon infanteri dan beberapa kompi campuran ini dilengkapi pula pasukan bersepeda. Termasuk kereta tempurnya, kekuatan Resimen Shoji sekitar 3 ribu serdadu. Pasukan yang mengadakan pendaratan malam hari di Eretan Kulon, hari Minggu menjelang 1 Maret 1942, tak mendapat perlawanan sama sekali dari Belanda. Baru siang harinya terjadi pertempuran udara antara pesawat pemburu Belanda yang berpangkalan di Kalijati dengan pesawat tempur Jepang yang melindungi pendaratan ini. Namun pendaratan telah rampung.

Pasukan pelopor Jepang secara mendadak bermunculan di sekitar Kalijati dan Kota Subang. Penduduk yang menyaksikan mengatakan, pasukan pelopor ini terlihat diterjunkan dari pesawat terbang. Inilah yang menimbulkan kekacauan luar biasa pada tentara yang mempertahankan Kalijati termasuk Landswacht dan Stadswacht. Kepanikan itu semakin memuncak setelah beberapa pesawat Jepang membom pangkalan udara Kalijati. Kesatuan tentara Inggris yang mempertahankan pangkalan ini mengundurkan diri ke Bandung. Di tengah jalan mereka dihadang tentara Jepang yang telah memasuki kota Subang.

Pangkalan Udara Kalijati akhirnya jatuh ke tangan Jepang tanggal 2 Maret 1942 tanpa satu pun letusan peluru dari serdadu yang mempertahankannya, termasuk 24 buah pesawat pembom RAF (Angkatan Udara Inggris) yang lengkap berisi bom dan bahan bakar. Sementara Stadswacht dan Landswacht sebelumnya pernah bertempur, tapi terpukul mundur kemudian membubarkan diri dengan membuang senjata bedil milik mereka. Tempat itu sampai sekarang disebut Pasir Bedil (Bukit Bedil).

Rakyat hanya menonton tentara Jepang yang masuk ke daerah Subang. Sementara serdadu Jepang membunuhi setiap pegawai onderneming P & T Lands dan Juragan-juragan Kawasa.

Pertempuran untuk merebut kembali pangkalan udara Kalijati menelan korban cukup banyak. Mobil lapis baja Sekutu dan mayat tentaranya bergeletakan di jalan Subang-Kalijati.

Kolonel Shoji yang bermarkas di Pusat Perkebunan P & T Lands mengumpulkan pasukannya di Jalan Cagak, bersiap menuju Bandung dengan melalui Ciater yang dipertahankan Belanda.

Serangan terhadap 60 benteng pertahanan Belanda dilakukan tanggal 6 Maret 1942 setelah dihujani bom dari pesawat di pangkalan Kalijati.

Genjatan senjata

Jepang menjalankan taktik yang licik. Pasukan pelopornya tak menggunakan kendaraan, tetapi menyebar ke perkebunan teh yang menghijau. Meriam-meriam Belanda di kubu pertahanan Ciater yang dihunjamkan dari benteng beton ke arah jalan raya tak berguna sama sekali karena Jepang menggunakan senjata bayonet dan granat untuk pertempuran jarak dekat. Pertempuran Ciater ini menelan korban yang tak sedikit. Sisa tentara Belanda mengundurkan diri ke Bandung.

Pintu gerbang pertahanan Hindia Belanda yakni Bandung terbuka. Jepang pun memanfaatkan kemenangan ini dengan menusuk pertahanan Belanda di Lembang, Bandung Utara.

Tekanan Jepang terhadap pasukan KNIL tanggal 7 Maret ini membuat komandan Tentara Belanda Letjen Ter Poorten menghentikan tembak menembak dengan mengadakan perundingan. Sore hari 7 Maret itu seorang perwira KNIL membawa bendera putih menuju pos pertahanan Jepang untuk mengadakan kontak pendahuluan dengan Komandan Tentara Jepang. Gencatan senjata pun disetjui. Semula perundingan akan diadakan di markas besar Kolonel Shoji di Jalan Cagak tapi kemudian beralih ke Kalijati. Alasannya Letjen Imamura ingin memberikan tekanan psikologi kepada Belanda, berupa show of force pesawat terbang Jepang di Kalijati yang siap membombardir kota Bandung bila Hindia Belanda tak mau menyerah.

Sebelum berunding utusan Belanda baik sipil maupun militer termasuk Gubernur Jenderal Tjarda Van Strakerenbourgh dan Letjen Ter Poorten ditempatkan di salah satu kamar di markas Kalijati itu. Perundingan dadakan di sebuah rumah seorang perwira sekolah penerbangan Hindia Belanda.

Imamura marah

Imamura memulai dengan pertanyaan, "Apakah Gubernur Jenderal dan Panglima Tentara mempunyai wewenang untuk mengadakan perundingan?" Tjarda menjawab, "Saya tak mempunyai wewenang untuk berbicara sebagai Panglima Tentara."

"Bila Tuan tak dapat berbicara sebagai Panglima, untuk apa Tuan datang kemari?" tukas Imamura, mulai keras.

Dibalas Gubernur Jenderal Tjarda, "Karena Tuan meminta saya datang dan atas permintaan itu saya datang memenuhinya dengan harapan dapat membicarakan dengan Tuan tentang pemerintahan sipil di Pulau Jawa." Kemudian ia minta agar Imamura mengusir orang-orang yang berdiri di pintu yang diduganya juru potret atau wartawan.

Imamura menoleh kepada Panglima Ter Poorten.

"Apakah Tuan mau menyerah tanpa syarat?"

Ter Poorten menukas, "Saya hanya dapat menyampaikan kapitulasi Bandung saja."

Imamura marah, "Kapitulasi Bandung? Itu tak menarik perhatian kami." Berulang-ulang ia menanyakan tentang penyerahan Hindia Belanda, akan tetapi berulang-ulang pula Letjen Ter Poorten ngotot hanya mau berbicara tentang Kapitulasi Bandung, bukan seluruh Hindia Belanda. Akhirnya Imamura menegaskan: "Tak ada gunanya mengemukakan pertanyaan lagi. Bila Tuan-tuan tidak menyerah tanpa syarat, tak ada jalan lain selain pertempuran, Tuan akan dapat dengan segera sekarang juga kembali ke Bandung. Dan saya akan perintahkan pengawal Tuan sampai ke perbatasan terdepan. Tapi ingat pada saat Tuan melewati batas pertahanan kami itu, Bandung akan dihujani bom oleh pesawat-pesawat tempur kami yang telah siap itu. Walaupun begitu saya masih memberikan pertimbangan untuk permintaan terakhir saya. Untuk itu saya beri waktu sepuluh menit untuk berfikir."

Imamura berdiri lantas ke luar ruangan. Setelah lewat 10 menit batas waktu diberikan ia kembali masuk ruangan.

Akhirnya menyerah

Imamura tegas. "Saya tidak akan membicarakan soal pemerintahan sipil, karena nyatanya Tuan tidak mempunyai wewenang tertinggi untuk menjawab pertanyaan saya. Sejak saat ini saya larang Tuan berbicara," katanya kepada Gubernur Jenderal Tjarda.

"Saya akan ajukan pertanyaan hanya kepada Panglima Tentara. Kembali pada pertanyaan semula, apakah Tuan bersedia untuk menyerah tanpa syarat?"

Kontan saja Ter Poorten menjawab, "Saya menerima untuk seluruh Hindia Belanda." Sedangkan Gubernur Jenderal Tjarda menukas, "Karena saya tak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan seperti itu saya akan pergi." Ia meninggalkan tempat perundingan sambil masih tetap mengeluarkan kata terakhirnya," Saya harap Tuan Imamura mengusir juru potret itu."

Kemudian Letjen Poorten membubuhkan tanda tangannya pada piagam penyerahan seluruh kekuasaan dan wilayah Hindia Belanda kepada Jepang. Naskah ini dibuat oleh Jepang. Demikianlah tanggal 8 Maret 1942 berakhirlah riwayat 3,5 abad penjajahan Hindia Belanda. Kalijati di Kabupaten Subang menjadi saksi. (A. FAYSHAL ABBAS).



Sumber: Suara Karya, No. 12/April 1985



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan