Langsung ke konten utama

Maluku Tahun 1922 (1) Lagu Kebangsaan Marseillaise Dimainkan Orkes Suling Murid Sekolah Zending

Oleh: H ROSIHAN ANWAR

SALAH SATU perjalanan jurnalistik yang saya lakukan dan memberikan banyak pelajaran berharga untuk mengenal lebih akrab keadaan tanah air ialah kunjungan ke Maluku, khususnya ke daerah Ternate, Tidore, dan Bacan pada awal tahun 1948. Waktu itu Letnan Gubernur Jenderal Belanda Dr. H. J. van Mook telah membentuk apa yang dinamakannya Negara Indonesia Timur (NTT) dan Maluku. Saya wartawan Republikein yang pertama mengunjungi daerah NTT tersebut berkat perantaraan anggota parlemen NTT Arnold Mononutu yang bersikap pro Republik Indonesia. Dalam perjalanan itu saya berbicara dengan Sultan Ternate Mohammad Jabir Syah, Sultan Tidore Zainal Abidin Alting dan Sultan Bacan Mokhsin Kamarullah. Dengan menumpang kapal kecil dari Ternate saya sampai di Soa-Sio, ibukota kesultanan Tidore, di mana saya melihat sisa-sisa tembok sebuah benteng yang didirikan beberapa abad sebelumnya. Karena pengalaman ini dapatlah dimengerti mengapa dengan lebih daripada minat biasa saya membaca suatu deskripsi tentang keadaan di Tidore, Ternate, dan Bacan pada tahun 1921-1922 sebagaimana dituliskan oleh Dr. W. Ph. Coolhaas dengan judul "Ervaringen van een jonge bestuurambtenaar di de Molukken" (Pengalaman-pegalaman seorang pejabat pamong muda di Maluku) yang dimuat dalam buku "Besturen Overzee" (terbitan tahun 1977).

Prins dan Boki

SETELAH menyelesaikan studinya pada Universitas Leiden, Dr. W. Ph. Coolhaas yang lahir tahun 1899 dikirim pertama kali ke Hindia Belanda selaku pegawai administratif pada tahun 1921 dan ditempatkan di Ternate. Tahun berikutnya dia diangkat sebagai Aspiran Kontelir di Tidore, dan kemudian dia menjabat selaku Kontelir Bacan. Ketika Coolhaas yang berusia 22 tahun tiba di Ternate, maka di tempat itu tidak ada sultannya lagi, begitu juga di Tidore. Hanya di Bacan ada sultan yang sangat pro Belanda. Sebabnya ialah karena pada tahun 1915 Sultan Ternate dibuang oleh Belanda ke Pulau Jawa, setelah pada tahun 1914 sebagian penduduk Djailolo di Pulau Halmahera memberontak melawan pemerintah Hindia Belanda akibat dikenakannya pajak penghasilan terhadap rakyat. Dalam pemberontakan tersebut Kontelir Agerbeek dibunuh oleh rakyat. Belanda mencurigai Sultan Ternate terlibat dalam pemberontakan. Sultan itu menentang tindakan Belanda memadamkan pemberontakan tadi. Di Tidore sebagian rakyatnya menentang Sultan, dan ketika tahun 1905 Sultan wafat tanpa ada putera penggantinya, maka takhta dibiarkan kosong.

Di daerah kesultanan itu putera dan cucu Sultan dalam pergaulan sehari-hari disebut prins (bahasa Belanda untuk "pangeran") yang dilafalkan dengan ucapan "prens", sedangkan keluarga perempuan dipanggil dengan sebutan "boki". Sultan Tidore mempunyai nama Alting yang sesungguhnya sebuah nama Belanda dan ini ada sejarahnya. Pada abad ke-18 seorang pangeran Tidore diberi nama Alting pada waktu lahirnya karena Gubernur Jenderal Belanda yang memerintah di Batavia saat itu bernama Alting. Semenjak itu lekatlah nama Alting sebagai nama keluarga Sultan yang bersilih-ganti.

Coolhaas menceritakan tentang turne atau perjalanan inspeksi pertama yang dilakukannya. Dari Ternate dengan menumpang kapal api KPM dia berlayar ke Kau, sebuah kampung di Halmahera Utara, dan dari sana dengan berjalan kaki menembus daerah hutan dan pegunungan menuju ke arah Barat yang letaknya 60 km dalam jarak udara dari Kau. Meskipun perjalanan empat hari itu berat, namun dia menikmatinya. Dia tidak akan lupa pengalamannya menginap di malam pertama di sebuah kampung kecil di mana guru Ambon menyelenggarakan pertujukan orkes suling murid-muridnya. Yang sangat berkesan pada Coolhaas adalah lagu kebangsaan Prancis Marseillaise diperdengarkan di tengah rimba itu oleh orkes suling murid sekolah zending.

Tari Spanyol "Colonna"

SOA-SIO pada tahun 1922 adalah sebuah tempat yang tenang sekali. Siang hari hampir tidak tampak manusia di jalan, dan malam hari sama sekali tidak ada. Beberapa kali dalam sebulan keadaan tiba-tiba menjadi ramai, apabila suatu keluarga melepaskan nazar untuk kelahiran anak, kesembuhan dari penyakit, panen yang bagus, lantas menyapu semua jalan dan membuang sampah dari sana. Rakyat Tidore bersikap ramah terhadap orang asing. Karena itu Kontelir Coolhaas selalu diundang, jika ada pesta perkawinan atau selamatan sunatan. Selalu diadakan dansa pada kesempatan itu, dan Coolhaas dengan cepat belajar tari Spanyol "colonna". Ada empat jenis tarian demikian yang telah berakar di Pulau Tidore di zaman Spanyol, artinya sebelum tahun 1663. Laki-laki berdiri dalam barisan panjang di depan kaum wanita dan dengan langkah-langkah cukup sederhana harus dilaksanakan gerak-gerak yang sangat rumit dan pada semua itu harus dicegah jangan sampai menjamah orang lain.

Sekretaris Kontelir yang punya suara bagus kalau mengucapkan azan dari menara masjid biasa dipanggil dengan sebutan Pak Intje. Adapun kata Intje yang berasal dari bahasa Melayu encik berarti "tuan" di Maluku jika berbicara dengan orang Cina. Sekretaris itu disebut begitu, bukan lantaran dia memang sedikit ada mirip dengan orang Cina, melainkan karena ia rajin sekali, tidak kalah dari Cina.

Djogugu kesultanan Tidore yaitu semacam "rijksbestuurder" atau patih yang mengurus soal dalam negeri dan hukum, banyak menyerahkan tugasnya kepada sekretaris Pak Intje. Tetapi dalam suatu peristiwa politik djogugu itu sendiri yang bernama Prins Mohammed Alting langsung turun tangan. Di Ternate terdapat sebuah cabang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh orang Jawa dan Menado. Dari Ternate sering kali dikirim orang-orang PKI ke pulau-pulau lain di sekitarnya, antara lain ke Tidore. Mereka selalu bilang pemerintah Belanda akan pergi dan diganti dengan pemerintahan komunis. Siapa yang sekarang menjadi anggota komunis dan membayar iuran, akan terjamin masa depannya.

PKI Ditindak

PADA suatu pagi Prins Mohammed Alting membangunkan Kontelir Coolhaas dan mengajaknya pergi ke sebuah kampung yang terletak di lereng gunung. Dia memperoleh kabar penduduk kampung tersebut beberapa pekan sebelumnya menggabungkan diri ke dalam PKI yang dinilainya berbahaya itu. Prins Mohammed disertai oleh beberapa pengikutnya, dan Kontelir Coolhaas membawa serta seluruh kekuasaan bersenjatanya yang terdiri dari dua opas polisi bersenjata kelewang. Beberapa jam lamanya mereka mendaki gunung dan setibanya di kampung yang dimaksud, mereka disambut dengan hidangan air kelapa muda.

Kepala kampung mengumpulkan rakyatnya. Kontelir lalu berbicara mengunjukkan kepada mereka betapa kelirunya mereka masuk PKI. Akibat pidato itu setiap penduduk kampung tadi menyerahkan kembali kartu keanggotaannya dan mengatakan tidak mau lagi berurusan dengan PKI. Coolhaas tidak mengerti mengapa suksesnya begitu cepat. Apakah semua itu terjadi akibat kata-katanya, ataukah karena seorang terkemuka dari keluarga Sultan hadir pada peristiwa itu?

Daerah pemerintahan Kontelir Coolhaas tidak hanya terbatas pada Tidore saja, tetapi juga meliputi pulau-pulau lain seperi Makean, Mare, dan Moti. Di zaman Kompeni (VOC) yaitu sejak tahun 1652 rakyat Makean tiada lagi menanam rempah-rempah dan pala, karena dilarang oleh Belanda yang memusatkan penanaman pala hanya di pulau-pulau Ambon. Di beberapa kampung rakyatnya menanam tembakau, misalnya kampung Ngofagita di pantai Utara yang merupakan pusat penanaman tembakau. Tetapi rakyatnya tidak merokok akibat pengaruh Wahabi yang datang dari Mekah. Kaum Wahabi menganggap merokok suatu dosa. Coolhaas menceritakan bagaimana banyak rakyat Ngofagita melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Penduduk kampung itu hanya 900 jiwa, tetapi lebih dari 500 orang telah menjadi haji atau hajjah. Penduduk berdiam dalam rumah yang cukup baik. Mereka bersikap hemat dan makanan utama ialah pisang goreng. Uang yang didapat dari penjualan tembakau ditabung untuk dipakai sebagai biaya naik haji. (BERSAMBUNG). ***



Sumber: Pikiran Rakyat, 29 April 1985



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...